UTRECHT INDONESIAN DAY,
MENJAWAB KERINDUAN PADA TANAH AIR
(Oleh: Ratih Ayu Apsari)
“Kami pesimis. Sudah berulang kali ada wacana untuk membatalkan saja rencana ini. Kita kurang SDM. Jauh di negeri orang. Rasanya cita-cita kami terlalu tinggi.” - (Chysanti, ketua panitia 2014)
Hampir setahun sudah Utrecht Indonesian Day (UID) 2014 berlalu, tapi euforianya masih membekas dalam setiap tutur yang disampaikan mantan panitia pelaksananya. Pada dasarnya UID adalah suatu perhelatan budaya yang diselenggarakan oleh mahasiswa dan orang Indonesia yang bermukim di provinsi Utrecht, Belanda. Kegiatan ini terlaksana atas dorongan rasa rindu yang mendalam pada acara-acara bernuansa budaya yang lama absen dari pandangan setelah tidak lagi berpijak di Bumi Pertiwi. UID pertama kali dilaksanakan pada tahun 2012 dengan dimotori oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Utrecht (PPI Utrecht). Pada tahun 2013, kegiatan ini tidak terlaksana dan baru pada 2014 UID kembali menggema. Dengan mengusung tema “Dari Sabang Sampai Merauke”, acara ini ditargetkan mampu menarik perhatian tidak hanya orang Indonesia, tetapi juga orang Belanda dan orang asing lainnya yang berada di sana.
Jauh dari tanah air ternyata tidak mengikis semangat panitia UID untuk menampilkan yang terbaik atas nama bangsa. Meskipun awalnya ragu, tapi kegiatan yang dilaksanakan pada 13 September setahun yang lalu itu tergolong sukses dan mencapai tujuan yang diharapkan. “Jadi UID ini memang kami mundurkan pelaksanannya. Rencana awal kan Juli, terus mundur sampai September. Panitia ada yang di reshuffle karena sudah harus balik ke Indonesia. Sebenarnya kami juga tidak menyangka hasilnya bisa se-istimewa itu. Benar-benar deh, terima kasih banyak buat semua teman-teman panitia.” kenang Chysanti Arumsari Sinwan yang didaulat sebagai ketua panitia UID tahun 2014.
Panitia UID 2014 berfoto bersama selesai kegiatan (sumber: dokumentasi UID 2014/PPI Utrecht)
Kecemasan ketua panitia UID 2014 yang saat ini telah menyelesaikan studinya dan kembali ke tanah air, memang beralasan. Mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi ke Belanda, khususnya Utrecht, memang memiliki beberapa kendala utama untuk bisa berpartisipasi dalam kegiatan semacam ini. Pertama, tuntutan pendidikan yang tinggi yang menyebabkan sulitnya membagi waktu antara belajar dan berorganisasi. Kedua, tidak semua mahasiswa asal Indonesia mau berpartisipasi walaupun memiliki waktu dan kesempatan. Senada dengan Chysa, begitu sapaan akrab Chysanti, Neshya Maya Putri, mantan ketua PPI Utrecht masa bakti 2013/2014, turut mengutarakan unek-uneknya. “Jadi, yang diperlukan memang tiga hal: niat, waktu dan kesempatan. Kita tidak bisa memaksa, kita dekati itu pasti. Pendekatannya personal, kita juga promosi event terus di media sosial, dengan harapan semakin banyak mahasiswa maupun warga asli Indonesia yang berkeinginan membantu.”
Chysa dan Neshya (sumber: dokumentasi UID 2014/PPI Utrecht)
Kendala lain yang harus dihadapi adalah masalah pendanaan. Meskipun mendapat bantuan dari KBRI di Belanda dan beberapa sponsor, mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional dan lain-lain menyebabkan panitia memutar otak. “Pemasukan kami tambah juga dari tiket masuk. Nah ini untung rugi. Kalau pengunjung tidak sesuai yang diharapkan, bisa defisit kas PPI.” kenang Wisnuningtyas Wirani yang bertugas sebagai bendahara.
Ibarat sedang melempar dua buah dadu dan berharap mendapat dua belas bintik sempurna, panitia membulatkan tekad untuk merealisasikan pertunjukan budaya Indonesia di Utrecht. “Kami coba hubungi ketua-ketua PPI kota di Belanda, minta anggotanya untuk tampil. Dengan janji, kalau nanti mereka ada acara kami siap menyumbang acara juga” ucap Neshya sambil tertawa kecil. “Waktu itu kami gak berharap yang muluk-muluk, yang penting UID bisa terlaksana, pengunjung senang dan panitia puas.” sambungnya lagi.
Pada akhirnya ZIMICH Theater Stefanus, Utrecht, menjadi saksi bisu bagaimana semangat cinta tanah air dapat mengatasi masalah-masalah yang muncul selama persiapan. Meskipun pagi itu dibuka dengan hujan rintik-rintik, panitia pelaksana sama sekali tak gentar. Sejak pagi panggung dipersiapkan. Stand bazaar dibuka. Ruang pameran ditata. Gamelan tradisional berkumandang silih berganti. Gadis-gadis manis berbalut kebaya dan pemuda-pemuda gagah berkostum batik tampak memadati gedung yang berlokasi di Braziliedreef 2. Pancaran senyum menghiasi wajah-wajah yang sibuk dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Pukul 12.00 lokasi siap. Tiga acara utama yang terdiri atas pameran lukisan, foto pernikahan adat daerah dan benda-benda khas nusantara; bazaar makanan; dan lokakarya membuat layang-layang dan aksesoris, serta pelatihan tari ganrang bulo dan poco-poco siap digelar. Empat setengah jam kemudian, panggung hiburan utama pun dibuka dengan sambutan dari Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda saat itu, Retno L.P. Marsudi. Sampai pukul delapan malam, pengunjung yang berasal dari berbagai daerah di Belanda dimanjakan oleh atraksi menarik khas tanah air. Topeng dari Jawa Barat, angkung, kesenian tari dan musik dari Karo, pembacaan puisi, tari kreasi dari Maluku, tari Golek dari Jogja, dan tari Belibis, Cendrawasih serta Topeng dari Bali. Di akhir acara suguhan poco-poco yang ditampilkan sebagian panitia pelaksana pun menggoyang panggung hiburan, membuat pengunjung antusias untuk menyaksikan UID di tahun-tahun berikutnya.
Beberapa Kegiatan dalam UID 2014 (sumber: Dokumentasi UID/PPI Utrecht)
“UID itu unik, kita bilang mau memperkenalkan budaya bangsa, tapi di sisi lain, justru kita yang banyak belajar,” aku Rudi Hartono yang diamini Muhammad Husnul Khuluq, koordinator pameran dan lokakarya UID 2014. “Saya gak nyangka tari ganrang bulo yang pernah saya pelajari waktu masih kecil bisa membuat saya jadi instruktur di sini. Agak gak PD sih awalnya,” lanjut Husnul yang memang memiliki tugas tambahan untuk menjadi pelatih dalam lokakarya tari yang berasal dari Sulawesi Selatan tersebut.
Salah seorang panitia acara yang menolak disebutkan namanya memaparkan tingginya animo masyarakat untuk menyaksikan UID 2014 terkait dengan maraknya promosi yang dilakukan. “Kami selalu ajak anak-anak PPI buat share brosur UID di sosial media, kampus, tempat kerja, dan di lingkungan rumah masing-masing. Kami juga kerja sama dengan radio PPI dunia buat menyiarkan berita tentang UID ini. Yang paling penting, H-3 acara kami mengadakan pre-event di beberapa pusat aktivitas di Utrecht. Jadi kami nari di jalanan gitu, setelah meminta ijin ke pemerintah Utrecht.” ujar gadis asal Bali yang baru saja menyelesaikan master di bidang pendidikan matematika ini sambil tersenyum.
Berkaca dari kesuksesan UID 2014, tahun ini pun PPI Utrecht akan menyelenggarakan UID 2015 di tanggal yang sama, 13 September 2015.
UID 2015 (sumber: PPI Utrecht)
Masih dengan semangat persatuan yang sama, UID yang tahun ini diketuai oleh Saran Ervinda, digadang-gadang mampu memberikan persembahan yang mewakili eksistensi duta bangsa di negeri orang untuk mengharumkan nama Indonesia. Oke deh, PPI Utrecht. Semoga sukses acaranya. Kita tunggu kabar baiknya dari Utrecht ya!
Tulisan ini dibuat pada 11 September 2015, diikutsertakan pada Festival Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana
(sayangnya tidak menang :')))) Haha)
Komentar