Wacana pembangunan sirkuit F1 di Bali memang bukan barang baru.  Dari penelusuran saya, sejak akhir tahun 2012, media sudah mulai mengendus isu ini. Kala itu tempat yang disasar adalah Teluk Benoa.  Lama tenggelam, akhir bulan lalu, rencana pembangunan lapangan balap jet darat ini kembali mengemuka. Pemicunya adalah kedatangan Tinton Soeprapto, pemilik PT Sarana Sirkuitindo Utama, ke Jembarana. Mantan pebalap ini ingin mendirikan sirkuit F1 di Pekutatan, Jembrana.

Rencananya, sirkuit ini akan dibangun di lahan pemerintah provinsi seluas 100 hektar, dari 1.180 hektar yang tersedia. Pemprov sendiri, via Wakil Gubernur I Ketut Sudikerta telah memberikan lampu hijau.

“Saya dilapori Bupati Jembrana, Pak Tinton membutuhkan lahan seluas 100 hektar. Dari sisi itu, saya telah mencek bahwa aset Kabupaten Jembrana ada 1300 hektar. Nah, kalau hanya dimanfaatkan sekitar 100 hektar saya rasa tidak ada masalah,” ujar Sudikerta seperti dikutip sportnews.com.

Terlebih, menurut Sudikerta, tanah seluas 1.300 hektar itu, sesuai master plan, memang direncanakan sebagai kawasan destinasi baru pariwisata di Bali. Sebagai langkah awal, tahun depan, akan dimulai pembangunan jalan tol sepanjang 76 km.

Rencana pembangunan sirkuit ini juga sudah sampai ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Seperti diberitakan bisnis.com,  Hengky Manurung, Kasubdit Investasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, membenarkan rencana pembangunan sirkuit F1 tersebut.  Walaupun ia  masih enggan menyebutkan lokasi dan waktu pembangunan sirkuit tersebut.

Pertanyaannya sekarang adalah: pantaskah Bali dijadikan sebagai tempat sirkuit F1? Memakai kacamata ekonomi, tentunya, sangat pantas. Bisa dibayangkan, puluhan bahkan mungkin ratusan ribu wisatawan baru akan berdatangan ke Pulau Bali, khusus hanya untuk menyaksikan serunya lomba jet darat ini. Perputaran uang yang beredar selama pagelaran bisa mencapai ratusan milyar. Menggiurkan bukan?

Bisa dipastikan, pertumbuhan ekonomi Jembrana akan meningkat pesat dibuatnya. Lowongan kerja baru akan bertumbuh seiring dengan pembangunan sarana dan prasarana sirkuit. Belum lagi trickle down effect yang menyertainya.

Sekadar ilustrasi, GP F1 Singapura, pada tahun 2012 diperkirakan menghasilkan pendapatan lebih dari 113,5 juta dollar AS atau setara dengan 1,2 trilyun rupiah yang bersumber dari lebih dari 40 ribu wisatawan yang datang selama perhelatan dilakukan. Menggiurkan, memang.

Bagi Bali sendiri, keberadaan sirkuit ini akan kian mengharumkan nama Bali di seluruh dunia. Setiap tahun, mata dunia akan tertuju ke Bali. Perlahan tapi pasti, Bali pada akhirnya tidak hanya akan dikenal sebagai tempat wisata dengan kekayaan budaya dan alamnya, tapi juga wisata olah raga, dengan putaran duit hinggal trilyunan rupiah per tahunnya. Mimpi yang memabukkan bukan?

Namun, apakah mimpi itu yang kita butuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mengharumkan nama Bali di seantreo jagad?

Pada hemat saya, lupakan saja mimpi Sirkuit F1 itu. Tanpa itu pun pertumbuhan ekonomi Bali bisa melebihi rata-rata nasional. Yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana menjadikan Bali menjadi destinasi wisata yang tetap menarik bagi wisatawan lokal maupun asing dengan kekayaan adat dan budaya serta alam yang dimilikinya.

Saya setuju dengan Cok Rat ketika beliau diminta tanggapannya tentang kemungkinan pembangunan sirkuit ini. Seperti dikutip dari Bali Times, beliau berujar:  “It must be reviewed deeply and there should be local people involvement. Don’t let the investment alienate Balinese people. It is said could make people wealthy but in fact people with low capital will lose.”

Ya, pembangunan di Bali yang hanya semata-mata mempertimbangkan gelimang dollar telah menjadi boomerang. Ambil contoh Serangan. Di pulau kecil ini terdapat Pura Sakenan, tempat upacara Pujawali dilakukan setiap enam bulan sekali pada Sabtu Kliwon, Wuku Kuningan.

Sebuah catatan dari Gde Aryantha Soethama  dalam kumpulan tulisannya berjudul Bolak Balik Bali (2006) cukup mampu mengatasi terjadinya perubahan kultural yang terjadi di sana.

“Setiap hari Kuningan, Pura Sakenan di Pulau Serangan pasti padat pengunjung. Mereka datang dengan hati bening, ngaturang bakti, mohon keselamatan, kesentausaan, dan pengampunan. Berhari-hari sebelum piodalan itu tiba, umat yang hendak tangkil ke Pura Sakenan khusus mempersiapkan diri, sebab Sakenan merupakan peristiwa khusuk yang dinanti-nanti.

Para bendega, nakhoda perahu, yang berasal dari Serangan, juga menunggu-nunggu hari menggemberikan itu. Mereka akan dapat uang berlipat-lipat dibanding hari biasa, karena ribuan penumpang silih berganti akan memadati perahu mereka. Umat diayun-ayun oleh riak air payau di sela pohon bakau, sebelum membelah Selat Badung. Menjelang merapat di dermaga Serangan, umat menikmati keindahan alam, keunikan ciptaan Tuhan, dengan kepuasan jiwa. Ke Pura Sakenan pun menjadi perjalanan spiritual tak terlupakan. Dan selalu ingin mengulang ketika Kuningan datang.

Itu dulu, kini tidak lagi begitu. Untuk sampai ke Pura Sakenan sekarang begitu mudah, tak usah menunggu antre perahu. Umat bisa naik motor dan mobil sampai ke pelataran pura. Sudah ada jembatan yang menghubungkan daratan Bali dengan Pulau Serangan. Pergi ngaturang bakti ke Sakenan tak lagi sebuah perjalanan indah, bukan jejak langkah spiritual, bukan tirta yatra. Banyak umat mengeluh sejak pulau itu disulap jadi kawasan wisata, karena hotel, vila, cottage, rumah makan, akan bertebaran di sana. Pulau Serangan bukan lagi kawasan suci, tapi untuk memanjakan diri dengan aneka hiburan duniawi.”

Coba simak pula yang terjadi dengan Nusa Dua, Tanah Lot dan sebagainya. Perubahan sosio-kultural terjadi di mana-mana,bukan demi kebaikan Bali, tapi demi mempertebal pundi-pundi para pemegang kapital dan penguasa.

Anak Agung Gde Agung, dalam disertasinya berjudul  Bali Endangered Paradise? Tri Hita Karana and the Conservation of the Island:  Biocultural Diversity mencatat terjadinya degradasi sosio-kultural ini secara kuantitatif—pendekatan baru dalam bidang antropologi yang menjadikannya  satu dari sembilan tokoh di dunia yang menorehkan tanda tangan di prasasti Universitas Leiden dalam kurun waktu 450 tahun sejarah lembaga tersohor itu.

Dengan mendasarkan diri pada konsep Tri Hita Karana, Raja Gianyar ini menyimpulkan bahwa sebagian besar kebudayaan Bali susah menuju tahap erosi. Aspek hubungan manusia dengan alam terjadi erosi parah, sekitar 60 persen, antara manusia dengan manusia telah rusak antara 40-45 persen, tetapi hubungan dengan Tuhan masih kuat, antara 90-95 persen.

Itu catatan beliau pada tahun 2009. Telah lima tahun berselang. Erosi ini hampir bisa dipastikan kian menjadi bila dikuantifikasikan kembali. Pertimbangan sederhana saja. Rezim yang berkuasa di Bali sekarang masih lebih menekankan “budaya pariwisata” dari pada “pariwisata budaya”.

Erosi ini akan terus menggila, bila nantinya Sirkuit F1 jadi dibangun di Pekutatan, Jembrana. Sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan gelimang dollar, tentunya.

Menurut hemat saya, lebih baik Sirkuit F1 itu dibangun di Lombok saja, toh pemerintah sana telah menyatakan kesiapannya. Di satu sisi ini untuk pemerataan pertumbuhan, di sisi lain, Bali tidak lagi-lagi tercemari gurita kapatilasme yang tidak mengindahkan kelestarian sosio-kultural masyarakatnya. (*)