Leony Alvionita (Onik), itu namanya. Gadis imut yang duduk di kelas III SMPN I Tabanan itu nekad bunuh diri di pagi hari, Selasa lalu (6/5/2014) di kamarnya sepulang ujian nasional (UN) hari kedua.

Membaca berita di koran-koran ada beberapa versi tentang kronologi dan asal muasal tragedi. Namun fakta-fakta yang ada menunjukkan satu hal, Onik memilih mengakhiri hidupnya karena merasa telah gagal duluan melewati tes ujian nasional. Kesigapan keluarganya untuk segera melarikan Onik ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Tabanan tidak juga bisa menyelamatkan nyawanya. Di usianya yang masih sangat muda, ia harus menghadap Sang Khalik.

Peristiwa mengenaskan ini sontak menjadi perhatian khalayak ramai. Media lokal maupun nasional memberitakannya. Ucapan belasungkawa datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Leony telah menjadi martir baru rezim Ujian Nasional yang tidak memihak kepentingan siswa.

Saya pribadi cukup kaget dengan tanggapan dari Kepala Sekolah SMPN 1 Tabanan, tempat Onik sekolah, yang sama sekali tidak ada kesan membela siswanya. Ketika ditanya apakah sulitnya soal-soal UN menjadi penyebab Onik nekat mengakhiri hidupnya, dengan enteng Sang Kepala Sekolah, Dewa Nyoman Sarjana, menjawab:  “Tidak juga, saya kira soal-soal UN masih standar."

Dengan kata lain, Sarjana ingin mengatakan bahwa siswa dengan kemampuan biasa-bisa saja pasti bisa menjawab soal-soal UN. Dengan kata lain, ketika Onik merasa tidak mampu mengerjakan soal Matematika yang ada di UN, ia termasuk kategori siswa dengan kecerdasan kurang.

Tolak Ujian Nasional

Leony bukanlah korban pertama UN. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat pada tahun 2004-2007 saja, 16 orang siswa memilih mengakhiri hidupnya karena UN.

“Ini merupakan potret kekerasan dalam pendidikan,” tegas Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal FSGI, seperti dikutip Republika.

Tapi, pemerintah tetap tak bergeming. Ujian Nasional dari tahun ke tahun tetap dilakukan. Bila ada keluhan, melulu dilihat sebagai ekses belaka. Bahkan ketika korban sudah berjatuhan.

Di media sosial, beberapa waktu lalu, ramai pembicaraan tentang surat terbuka yang dilayangkan Nurmillaty, seorang siswi SMA Khadijah, Surabaya yang baru saja menyelesaikan UN SMA di sekolahnya. Nurmillaty dengan lugas menyatakan betapa sulitnya soal-soal UN tersebut, soal-soal yang tidak sepantasnya ditanyakan kepada pelajar SMA.

Gugatan yang malah dijawab dengan nada mencibir oleh M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. "Dari tulisannya, logika menulis, pilihan kata, sepertinya mustahil itu ditulis oleh pelajar SMA” ujarnya  tanpa rasa bersalah.

Bagi saya pribadi, Ujian Nasional sudah sepantasnya tidak dijadikan jadi acuan kelulusan. Kualias pendidikan di setiap daerah tidak sama. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, mulai dari kualitas pendidik hingga kemampuan anak menyerap materi belajar.

Bagaimana kulkulers? Setujukah? Bila setuju, mari kita beramai-ramai menandatangani petisi penghapusan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan. Silahkan klik link berikut untuk berpartisipasi. Agar ke depan, tidak ada lagi “leony-leony baru” yang menjadi martir rezim Ujian Nasional. (*)