(APAKAH) SAYA ORANG BALI (?)

A SELF REFLECTION

 

Tulisan ini tidak lebih dari edisi curhat. Termuntahkan dari gejolak emosi yang membatu. Ditulis ketika merenung jauh dari tanah kelahiran. Sebelum jauh, izinkan saya meminta maaf kepada semua pihak yang mungkin tersinggung atas apa yang tertuang dalam tulisan ini.

 

Nama saya Ratih.

Secara fisik saya tergolong tidak tinggi, kulit tidak seberapa terang, rambut panjang dan tebal, mata besar dan bibir merah yang ter-default untuk tersenyum. Dalam sekali pandang, rasanya semua orang yang saya temui (dan bersedia membagi testimoni detik-detik pertemuannya dengan saya) akan mengimani bahwa saya orang Bali. Pandangan dilanjutkan perkenalan.

Kalau kenalannya di Bali, tidak pernah ada yang menyangsikan ke-Bali-an saya. Tidak perlu ditanya lebih lanjut asal-usulnya. Paling banter: “saking napi, gek?”, “Denpasar,” jawab saya secara standar. Yang bertanya puas. Kadang bertanya lebih lanjut, “Denpasar napi?”. Dan saya akan menyebutkan kelurahan tempat tinggal saya di wilayah Denpasar Barat.

Kalau kenalannya dengan di luar Bali (dan di luar Indonesia), orang biasanya bertanya asal juga. Saya jawab Bali dan selesai. Yang bertanya puas, tebakan mereka terkonfirmasi. “Pantesan, baru lihat pertama saja sudah mengira kamu dari Bali. Kamu seperti apa yang digambarkan orang-orang tentang gadis Bali.” Demikian contoh testimoni seorang kenalan.

Pandangan tentang “orang Bali” yang melekat pada diri saya akan terganggu stabilitasnya ketika masalah Ketuhanan saya dipertanyakan. Orang Bali kok di pergelangan tangannya tidak pernah ada benang tridatu? Kok tidak pernah upload foto sembahyang pakai kebaya? Kok tidak pernah ada bija di keningnya? Sisa bunga di belakang telinganya? Kok matur piuning di kampus kemarin tidak hadir? Bukan vegetarian, tapi kok menolak makan daging babi? Eh, sebentar … kok cara sembahyangnya beda?

Kemudian saya harus menjelaskan bahwa saya tidak beragama Hindu, sebagaimana mayoritas masyarakat Bali. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan bagaimana saya terlahir dari persilangan Bali dan non-Bali. Bagaimana orang tua saya bertemu. Bagaimana saya lahir dan besar di Bali.

Respons berikutnya tidak terlalu enak didengar. Rata-rata menyebut saya bukan orang Bali asli, sebagian menyebut saya orang Bali KW. Sederhananya, saya dicap sebagai orang Bali kelas 2. Bukan berdarah murni. Orang Bali Kelas 2.

Saya tersenyum. Saya lahir dan besar di Bali. Tumbuh dalam lingkungan kebudayaan Bali. Hidup menjadi orang Bali. Tapi tidak beragama Hindu.

Selama hampir 23 tahun lebih 11 bulan menjadi seorang gadis Bali kelas 2, saya sudah biasa mendengar hal-hal semacam ini. Saya kadang protes, meskipun Indonesia menganut sistem patrilinier, yang berdasarkan pada garis keturunan ayah, saya tidak bisa mengaku-ngaku sebagai orang dari daerah kelahiran ayah saya. Not because I think it doesn’t good, but I have no confidence to say that because I simply know nothing about that culture. Meskipun demikian, selebihnya saya diam. Sambil mengeluarkan senyum termanis dengan mata berkaca-kaca. Dalam hati menjerit, lift up your chin princess! If not, the crown falls!

Hal lain yang juga bikin sedih sering terjadi ketika saya sedang tidak di Bali. Sedang study misalnya. Ketika berkenalan dengan orang baru dan ada teman saya yang lebih dahulu mengetahui identitas orang Bali kelas 2 saya. Orang yang saya ajak kenalan masih terkesima melihat sosok gadis Bali dihadapannya (setelah kami berkenalan seperti biasa and (s)he figures out that I come from Bali) dan teman saya dengan senang hati akan membuyarkan senyum manisnya dengan menjelaskan bahwa, “but her father comes from other place and she isn’t Hindu, by the way”. Thank you, mate.

Yang tidak kalah ngenesnya, tentu kalau teman yang sudah bertahun-tahun saya kenal berniat memuji setiap kali melihat saya mementaskan tari Bali, menggunakan bahasa Bali maupun sekedar memakai kebaya. “Kamu cocok jadi orang Bali.” Saya paham mereka tidak berniat buruk, but hold a second, am I not a Balinese?

Sepertinya ada yang salah dengan menjadi orang Bali dan menjadi bukan orang Hindu di saat yang bersamaan. Identitas ke-bali-an saya digugat.

Hari ini bertepatan dengan perayaan Nyepi. Seumur hidup di Bali (kecuali dua tahun belakangan karena harus melanjutkan menuntut ilmu ke seberang benua dan seberang pulau), saya sudah terbiasa dengan catur brata penyepian, meskipun sama seperti kebanyakan teman-teman yang saya kenal brata-nya masih sebatas tidak bepergian ke luar rumah dan tidak menyalakan lampu. Tapi kali ini karena saya lagi jadi anak rantau, tidak menyalakan lampunya absen dulu deh. Teman-teman saya saja sudah cukup heran karena saya menolak bepergian dengan alasan Nyepi. “Kamu kan tidak merayakan Nyepi, kenapa kamu harus mematuhi aturan itu bahkan ketika kamu tidak di Bali?” Iya, apa hak saya yang hanya orang Bali kelas 2 ini untuk merayakan Nyepi?

Jadi baiklah, mari saya merayakan esensi Nyepi saja untuk diri saya sendiri. Self-reflection. Biarkan saya memanfaatkan momentum ini untuk merefleksi jati diri saya sebagai orang Bali kelas 2.

Walaupun banyak yang menolak identitas Bali saya, toh kalau saya dijajarkan bersama dengan para gadis Bali lainnya tidak akan terlihat bedanya. Walaupun dibilang KW, toh pernah (dan akan selalu mencoba) melestarikan budaya Bali lebih daripada yang mungkin dilakukan orang Bali yang dianggap lebih “murni”. Walaupun tidak ikut sembahyang dan menyebut Tuhan dengan cara yang sama seperti mayoritas orang Bali, toh bisa menjelaskan esensi perayaan-perayaan yang bersifat adat maupun keagamaan kepada orang luar Bali yang menanyakan.

Maka dari itu, perlukah saya merasa sedih dikatakan orang kelas 2?

Again, angkat dagumu princess, nanti mahkotamu jatuh :))

Dengan asumsi bahwa mungkin benar saya bukan orang Bali yang coba ditanamkan orang-orang sekitar, saya pernah mencoba mengingkari jati diri saya ketika saya masih labil. Saya malu tiap kali identitas saya “terbongkar”. Bukan orang Bali kok ngayah nari di pura? Kok fasih sekali ngomong Bali? Kok cocok payas Bali? Jadi saya sempat vakum dan berusaha tidak terlihat seperti orang Bali.

Akhirnya setelah cukup dewasa untuk menebalkan kuping, menebalkan muka dan menebalkan hati- atau lebih tepatnya ketika tidak bisa lagi membohongi nurani, saya mencoba berdiri dan mengangkat mahkota saya yang oleng. Saya menari lagi. Saya menggunakan bahasa Bali lagi. Walau masih sering diingatkan bahwa saya bukan “orang Bali asli”, saya selalu tetap memperkenalkan diri saya sebagai orang Bali. Yang masih setia menjelaskan tradisi dan kebudayaan Bali yang saya tahu dan pelajari. Walaupun ketika yang bertanya bertemu dengan orang Bali “yang lebih murni”, mereka akan menanyakan kembali apa yang sudah mereka tanyakan kepada saya. Sekedar mengetes, apakah saya benar, apakah saya asal menjawab. Yang kalau jawaban saya benar, saya akan mendengar sesuatu seperti, “eh ternyata bener kata kamu, si ini juga bilang kayak gitu”. Dan saya hanya bisa tersenyum sambil mengatupkan bibir dengan getir. Saya kan memang tidak sekedar sok tahu atau niat bohongi kamu waktu saya menjelaskan kebudayaan saya.

Tapi setelah dipikir-pikir toh memang banyak orang Indonesia paling suka mengklasifikasi sesamanya. Sudah sama-sama orang Indonesia, dirunut lagi suku bangsanya, sudah sama sukunya dicari tahu dulu agamanya. Sudah sama agamanya, masih harus dibedakan lagi golongannya.

Jadi daripada saya merugikan diri saya dengan mengubur identitas saya sebagai orang Bali, lebih baik saya memperbaiki kualitas diri sehingga Bali enggan menolak saya.

Dalam hal ini kelihatannya saya patut mencontoh Gubernur DKI Jakarta, Pak Ahok. Orang Indonesia yang berasal dari suku Tionghoa. Yang selalu dibilang Cina dan diragukan nasionalismenya. Tapi toh beliau berdiri tegak menjaga martabatnya. Sebagai orang Indonesia.

* * *

 

mulai ditulis menjelang sandikala,

tahun baru caka 1937