Bali identik dengan sebuah yadnya yang memiliki unsur seni di setiap aspeknya, baik dalam bentuk upakara maupun upacara yang di selenggarakan di Bali. Bali juga memiliki banyak keseniaan dan keunikan yang selalu dilatar belakangi dengan sejarah, hampir seluruh pertujukan seni Bali memiliki sejarah tersendiri hingga terwujudnya suatu pementasan, bahkan hingga saat ini setiap pementasan di Bali masih mempercayai adanya taksu yang di angap sebagai roh yang dapat menjiwai kita sesuai dengan kesenian yang kita bawakan dan juga dipercaya dapat menyukseskan suatu pementasan.
Maka dari itu setiap yadnya di Bali selalu ada hubungannya dengan kesenian yang di latar belakangi oleh cerita uniknya contohnya adalah yadnya odalan maupun dewa yadnya lainnya identik dengan pementasan topeng sidhakarya. Lalu apa hubungan dewa yadnya dengan pementasan topeng sidhakarya dan mengapa kesenian itu di pentaskan?
Tentu saja seperti yang kita ketahui bahwa topeng sidhakarya ialah simbolis brahmana keling yang memiliki pengaruh besar dalam yadnya nangluk merana pada masa pemerintahan dalem waturenggong. Beliau berasal dari Daerah Keling, Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman / pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Empu Beradah.
Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari Keling maka beliau disebut “Brahmana Keling”. Dalam Perjalanan beliau dari tanah Jawa ke Bali sampailah beliau di suatu desa pesisir pantai yaitu Desa Muncar. Di sini beliau sejenak beristirahat sambil menikmati keindahan panorama selat Bali, yang menambat hati beliau akan keindahan alam laut dan pegunungan Pulau Bali.
Tak dinyana sebelumnya di hadapan beliau tiba-tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis). Sang Ayah bercerita panjang tentang keberadaannya di Nusa Bali, bahwa di Bali sekarang ini di Kerajaan Gelgel yang menjadi Raja adalah Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang mendampingi Dalem Waturenggong sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan Upacara (Karya Eka Dasa Rudra di Pura Besakih).
Mendengar Sang Ayah bercerita demikian, lalu pertemuan Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Desa Muncar sudah selesai sekaligus merupakan pertemuan yang terakhir. Sang Ayah melanjutkan perjalanan menuju ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan Brahmana Keling selanjutnya menuju pulau Bali menuju di Keraton Gelgel.
Tentang perjalanan Brahmana Keling menuju Bali lanjut ke Keraton Gelgel tidaklah ada yang tahu apakah beliau menggunakan apa, jejak-jejak perjalanan beliau di mana, kemana, dan sebagainya adalah misteri.
Singkat cerita sampailah di Keraton Gelgel, namun sayang sesampainya Brahmana Keling di Gelgel Keraton dalam keadaan sepi, beliau lalu diterima oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di Keraton. Dalam keadaan yang lesu, lusuh dan pakaian yang serba kumel dan kotor Brahmana Keling menjawab, bahwa beliau bermaksud menemui saudaranya tidak lain adalah Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha.
Karena Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha tidak ada di Keraton maka pemuka masyarakat yang menyapa tersebut mempersilahkan Brahmana Keling menuju Pura Besakih, sebab Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha ada disana sedang sibuk dengan para pengiringnya mempersiapkan pengadaan upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Selanjutnya Sang Brahmana meneruskan perjalanan menuju Pura Besakih.
Sesampainya di pelataran pura, lagi beliau disapa oleh masyarakat para pengayang yang ada, di pura. Brahmana Keling menjawab sama, bahwa beliau ingin menemui saudaranya Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang katanya sedang ada di Pura. Masyarakat tadi pun belum berani menghadap Dalem karena ia beranggapan bahwa orang yang datang dalam keadaan begini tidak mungkin saudara Sang Prabu maupun Dang Hyang Nirartha, bahkan masyarakat sangat tersinggung dengan pengakuan sang Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalem junjungannya seolah-olah derajat Sang Prabu dengan Dang Hyang Nirartha disamakan dengan dirinya yang dalam keadaan compang-camping selayaknya seorang pengemis.
Tetapi Brahmana Keling bersikeras dan karena suatu sebab rakyat tidak dapat menghalanginya, serta tidak ada yang melihat beliau menuju ke dalam. Akhimya mungkin karena saking payahnya beliau dalam perjalanan panjang Brahmana Keling langsung menuju Pelinggih Surya Chandra, di atas sanalah beliau duduk berstirahat sejenak, untuk melepas penatnya.
Tak berselang beberapa lama datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas Pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya hati beliau serta merta dengan muka yang merah padam. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang itu yang telah berani duduk di atas sana. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi dilarang masuk, lebih-lebih ia mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha yang sangat ingin bertemu dengan Sang Prabu. Tetapi entah mengapa orang itu tidak disangkanya sudah ada di atas Pelinggih Surya Chandra, rakyat dan prajuritnya serta semua yang ada disana sangat terkejut dan keheranan.
Mendengar apa yang dilaporkan oleh para prajurit dan para pengayah, bertambah murkanya Sang Prabu, seketika itu dengan suara yang bergetar keras memerintahkan para prajurit, pengayah dan rakyat untuk segera menyeret keluar orang yang disangka gila itu. Serta merta prajurit dan masyarakat mengusir Brahmana Keling dengan suara sorak sorai, karena saking mulianya hati Brahmana Keling sebab sama sekali beliau tidak mengadakan perlawanan apa-apa akhirnya beliau mengalah karena perintah keras Sang Prabu yang sudah tidak mengakuinya lagi sebagai saudara.
Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Pura Besakih pada saat pengusiran dirinya Beliau lalu mengucapkan Kutuk Pastu yang isinya,
"Wastu tats astu karya yang dilaksanakan di Pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama) membuat kehancuran (ngrubeda) di seluruhjagat (bumi) Bali ".
Begitu suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyambar di siang bolong semua masyarakat menyaksikan dengan menganga, terpaku tak berkutit sedikitpun, lalu Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih menuju barat daya.
Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di (Desa Sidakarya sekarang) dan di sini Beliau membuat pesanggrahan pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmana. Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih tidak berselang beberapa hari suasana sejagat Bali terutama Kraton Gelgel dan sekitarnya mulai menampakkan situasi yang tidak mengenankan. Seperti ucapan Sang Brahmana, semua tanaman pohon pohonan yang berguna bagi pelaksanaan penunjang karya seperti : kelapa, pisang, padi, sayuran dan sebagainya semua layu, buah berguguran, wabah / hama seperti : ulat, tikus dan lain-lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman-tanaman para petani, bumi seketika kering kerontang, wabah penyakit merajalela menyerang penduduk keadaan sangat mengerikan (gerubug) antara pengayah bertengkar tanpa sebab dan semuanya dalam keadaan kacau balau.
Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan semadi di Pura Besakih. Beliau mendapat pewisik petunjuk dari Ida Betara yang bersthana di Pura Besakih, bahwa Beliau telah berdosa mengusir saudaranya sendiri secara hina dan untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala hanya Brahmana Keling lah yang mampu melakukan hal itu. Setelah mendapatkan petunjuk (pawisik).
Esok harinya langsung Ida Dalem memanggil Perdana Menterinya termasuk para punggawa untuk mengadakan sidang. Dalam sidang tanpa agenda tersebut memutuskan agar secepatnya menjemput Brahmana Keling yang pernah diusinya. Karena beliaulah yang dapat mengembalikan situasi kekeringan seperti ini serta beliau sekarang ada di Badanda Negara.
Singkat cerita berangkatlah rombongan penjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara, pertama-tama menuju Keraton Tegeh Kori di Badung untuk meminta petunjuk lebih lanjut akhirnya menuju Badanda Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung = Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Badanda Negara bertemulah dengan Brahmana Keling lalu rombongan menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangannya menghadap Sang Brahmana. Sesuai dengan perintah Ida Dalem memohon agar Ida Brahmana Keling bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin.
Begitu mendengar cerita dan permohonan utusan Dalem Waturenggong, Ida Brahmana Keling sudah mengerti dan menanggapi semuanya, selanjutnya mempersilahkan kepada utusan rombongan Dalem segera berangkat duluan, Brahmana Keling akan menyusul. Perjalanan kembali Brahmana Keling ke Puri Gelgel lanjut Basakih tidak ada yang tahu. Beliau sudah ada duluan dengan rombongan penjemputnya di hadapan Dalem Waturenggong di Pura Besakih. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih barulah beliau disambut selayaknya tamu kebesaran dan diperlakukan dengan sangat sopan hormat dan ramah.
Dalam percakapan beliau berdua yang disaksikan juga oleh Dang Hyang Nirartha, pada dasarnya bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan kekeringan, kegeringan, keamanan dan kenyamanan jagat Bali seperti sedia kala maka Dalem Waturenggong berjanji dan bersedia mengakui memang benar Brahmana Keling saudara Dalem Waturenggong.
Mendengar sabda Ida Dalem sedemikian Brahmana Keling dengan senang hati menyanggupinya, seketika itu pula tanpa prasarana, sesajen apapun beliau hening sejenak mengucapkan mantra-mantra dan dengan kekuatan batin yang luar biasa terbuktilah keadaan jagat bali dan keratin gelgel kembali sediakala dan yadnya dapat di lanjutkan. Berkat jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam/bumi yang melimpah ruah sebagai sarana prasarana suksesnya pelaksanaan karya, sehingga karya dapat berjalan dengan aman, nyaman dan sukses / berhasil sidakarya sesuai dengan harapan Ida Dalem Waturenggong.
Oleh karenanya Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat inilah Brahmana Keling mabiseka Dalem Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan sebagaimana mestinya. Saking gembiranya Ida Dalem karena karya yang dilaksanakan betul-betul berhasil (Sidakarya), selain gelar Dalem yang dianugrahkan, atas nasihat dan anjuran Dang Hyang Nirartha (disamping itu mungkin karena, sabda Hyang Pramawisesa) Dalem Waturenggong di Pura Besakih dihadapan para Menteri / Patih / Para Arya di kiri kanan Dalem Waturenggong duduk Dang Hyang Nirartha dan Dalem Sidakarya, bersabda :
- Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan karya wajib (wenang) nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di Pesraman Dalem Sidakarya, supaya karya menjadi Sidakarya (Pemuput karya), yang terletak di pesisir selatan Jagat Badung (= di Desa Sidakarya sekarang).
- Pada setiap upakara wajib disebarkan sarana serba sidakarya seperti : Sayut Sidakarya untuk dibanten (sesajen) dan jejaitan, Tipat Sidakarya untuk boga (makanan / kesejahteraan), Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan).Tujuannya supaya semua penunjang pelaksanaan karya serba sidakarya = berhasil.
- Demi sempurnanya pelaksanaan karya wajib mementaskan Wali Topeng Sidakarya. (Tirta Sidakarya sebaiknya diiringi Topeng Sidakarya dari Sidakarya).
- Wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya. Itulah lebih kurang isi sabda Dalem Waturenggong pada saat itu yang sampai sekarang ini dan seterusnya wajib dipatuhi oleh umat Hindu sejagat.
Cerita pendek itulah yang melatar belakangi pementasan topeng sidhakarya pada setiap yadnya di Bali,inilah yang menunjukan bahwa yadnya di bali selalu berhubungan dengan seni dan history (sejarah). Inilah keunikan pulau bali yang kaya akan budaya,tradisi,serta adat isitiadatnya yang diwariskan secara turun temurun.
Komentar