Di negeri yang terdiri dari belasan ribu pulau dan ratusan bahasa serta etnis ini sederet panjang stereotipe tentang suku dan etnis dapat dijejer. Barangkali sama panjangnya dengan luas garis pantai negeri yang dulunya bernama ‘Nusantara’ ini.

"Jangan kawin sama orang Padang. Pelit!"

"Wah, Betawi ya? Kontrakannya banyak dong! Makanya orangnya pemalas!"

"Dia orang Sunda tuh. Pasti nanti dikawinin muda!"

"Orang Batak dia. Jangan-jangan copet lagi!"

"Ah, Cina lu! Mata duitan!"

Stereotip memang susah ditepiskan. Hijab nyaris diidentikkan dengan busana perempuan muslim, padahal perempuan dari berbagai tradisi iman juga terbiasa mengenakan busana tertutup serupa. Ketika melihat pria muda bercelana cingkrang, orang bisa jadi segera mengira ia orang muslim fanatik, tetapi siapa tahu ia fans garis keras Michael Jakson? Ketika ada orang atau partai mendukung politisi idola kita, tak ayal kita membaptisnya sebagai orang dan partai yang baik. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Stereotip adalah sebentuk kemalasan berpikir. Enggan mencari informasi lebih jauh. Tergesa mengambil kesimpulan secara gampangan. Berangkat dari prasangka subjektif yang cenderung keliru dan menganggap pandangan tertentu sudah final. 

Salah satu persoalan utama bangsa ini yang disoroti Karlina Supelli dalam Pidato Kebudayaan pada 2013 yang bertajuk Kebudayaan dan Kegagapan Kita. Menurut Karlina, sebagian anggota masyarakat sudah merasa hebat dengan berkomentar pendek melalui media sosial. "Ada problem yang sangat serius, tapi ditanggapi dengan cara yang sekadar komentar-komentar pendek, tidak ada kedalaman," katanya. 

Memang, mendiskusikan multikulturalisme di masyarakat multikultur seperti Indonesia bukan hal mudah. Namun penulis memiliki optimisme yang tinggi bahwa “Akar Rumput” negeri ini masih bisa dipupuk dan dibiarkan tumbuh dengan indahnya. Merujuk pada kata ‘akar rumput’, berasal dari kata dasar akar. Arti dari akar rumput dapat masuk ke dalam jenis kiasan. Jadi, akar rumput berarti sesuatu yang lemah, yang mudah terombang-ambing. Dan analogi yang penulis buat adalah potret rasa kebhinekaan di Indonesia yang mudah terombang-ambing.

Frasa ini (bhineka) berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam". Merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.

Jika ditilik kebelakang, kebhinekaan menjadi bola panas yang mengundang polemik. Konflik kebhinekaan sendiri bukan hanya dalam frame nasional, lintas suku, agama, ras, antara golongan saja. Melainkan “antara saya, anda, dan SARA” yang memicu terjadi konflik dan gejolak. Kenapa kalimat diatas berasosiasi dikarenakan konflik akan muncul ketika seseorang dihadapkan pada tembok perbedaan yang tinggi akibat dari runtuhnya rasa toleransi.

Dalam ajaran Agama Hindusendiri masih menjujung tinggi nilai-nilai perdamaian dan toleransi yang tinggi sehingga Bali yang notabene penganut Agama Hindu terbesar di Indonesia menjadi Pulau Perdamaian. Hal ini tidak luput dari ketekunan masyarakat Hindu di Bali memelihara konsep ajaran Tat Tvam Asi dalam hubungan sosialnya.

Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku. Di dalam bahasa Sansekerta, kata tat berasal dari suku kata tad yang berarti itu atau dia. Kata tvam berasal dari suku kata yusmad yang berarti kamu dan asi berasal dari urat kata as(a) yang berarti adalah. Jadi secara sederhana kata Tat Twam Asi bisa diartikan kamu adalah dia atau dia adalah kamu.

Konsep ini masih memaku dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Bali merupakan suatu contoh yang hidup atau kongkret tidak hanya sekedar menganggap sebagai filosofi yang diawang-awang tetapi dalam pelaksanaannya juga sudah diwujudkan secara konsisten. Yang tidak terlepas dari pengejawantahan konsep budaya leluhur Tat Tvam Asi yang menuntun masyarakat Bali hingga kini.

Wujud pengimplementasian dari konsep ini salah satunya adalah tradisi megibung. Nilai-nilai Tat tvam asi, etika dan estetika merupakan nadi dari tradisi ini. Dalam magibung ini ada aturan yang mesti diperhatikan, bukan sekadar makan bersama.

Mengapa?

Dilansir dari EurakAlert, sebuah penelitian di Cornell University menemukan bahwa performa dan produktivitas sebuah kelompok menjadi meningkat ketika mereka makan secara bersama-sama. Penelitian tersebut dilakukan dengan membandingkan kelompok pemadam kebakaran yang makan bersama-sama dengan pemadam kebakaran yang makan sendiri. Hasilnya makan bersama dapat meningkatkan performa dan produktivitas kelompok tersebut.

Hasil tersebut didapat setelah penelitian dilakukan selama 15 bulan. Dilakukan survei dan wawancara terhadap lebih dari 50 kantor pemadam kebakaran. Setelah itu peneliti meminta 395 supervisor dari kantor tersebut memberikan penilaian terhadap performa anak buah mereka. Terdapat pertanyaan mengenai seberapa sering kelompok pemadam tersebut makan bersama dalam satu minggu. Ternyata didapat bahwa kelompok yang lebih sering makan bersama ternyata memiliki performa yang lebih baik.

Kevin Kniffin selaku peneliti menyebutkan bahwa makan bersama dapat menyebabkan kedekatan pada sebuah kelompok. Di lihat dari perspektif evolusi kebudayaan manusia, makan bersama juga merupakan salah satu hal yang merekatkan banyak orang secara sosial. Ternyata tradisi dan perilaku tersebut juga dapat berlaku pada tata kehidungan bermasyarakat dewasa ini. Dengan makan bersama maka sebuah kelompok akan dapat bertukar pendapat serta membicarakan berbagai hal baik yang berhubungan dengan persepsi.

Untuk itulah menulis memilih judul Via Vallen in Megibung : Sinergi ‘Merawat Akar Rumput’ dalam Lingkaran Kekeluargaan. Dalam menyusun judul penulis menyingkat Revitalisasi Nilai-nilai Tat Tvam Asi, Budaya Leluhur, Etika dan Estetika menjadi ‘Via Vallen’.

Megibung berasal dari kata gibung yang diberi awalan me-. Gibung artinya kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang, yakni saling berbagi antara satu orang dengan yang lainnya. Tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ketut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Di Kabupaten Karangasem pernah dilaksanakan acara megibung massal di Taman Ujung Amlapura pada penghujung tahun 2010, diikuti oleh berbagai kalangan dan meraih rekor muri.

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Karangasem I Putu Arnawa menceritakan, magibung ini menurutnya berasal dari kata mabagi buung (maunya dibagi tapi dibatalkan). Makna magibung ini  adalah kebersamaan, meningkatkan persatuan dan kesatuan.Dalam tradisi magibung, nasi ditaruh di atas nampan atau wadah lain dengan alas daun atau sekarang bisa pakai kertas pembungkus nasi. Gundukan nasi ditaruh di atas nampan dengan lauk pauk ditempatkan khusus, terpisah dengan nasi. Satu porsi gibungan lengkap dengan lauk pauknya disebut sela. Satu sela ini, biasanya disantap bersama 5-8 orang. Satu sela disantap delapan orang ini juga ada maknanya. Yakni simbol Dewata Nawa Sanga atau penguasa sembilan penjuru arah mata angin. Termasuk satu di tengah-tengah, yakni  gibungan. 

Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urap.

Posisi duduk dibentuk melingkar dengan gibungan berada di tengah-tengah. Duduk melingkar memiliki filosofi tersendiri, lingkaran dapat mewakili kekekalan dan bersifat melindungi, kadang dilambangkan dengan matahari atau pembatasan dalam kurva yang melambangkan pertahanan, menjaga hal-hal yang ada di dalam dan menunjukkan suatu komunitas, integritas dan kesempurnaan. Lingkaran juga dapat memberi arahan, persahabatan, cinta, hubungan dan kesatuan.

Dalam tradisi ini nilai estetika juga diperhatikan dimana posisi tempat duduk juga diatur. Misalnya, mereka yang usianya paling tua, dituakan atau tokoh, duduknya di sebelah utara atau paling timur. Mereka yang dituakan ini, biasa sebagai pepara atau yang menuangkan  lauk pauk.  Magibung ini tentu saja  ada komandonya.  Tidak  boleh begitu duduk langsung makan. Harus menunggu aba-aba dahulu. Begitu juga dengan lauk pauk yang disajikan, tidak boleh mengambil seenaknya. Sudah ditentukan mana yang harus dimakan duluan. Biasanya paling awal itu adalah lawar don blimbing (sejenis olahan sayuran) yang rasanya pahit. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ini harus dimakan duluan, maknanya bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Namun ada juga sumber menyebutkan bahwa makan yang pahit dulu supaya  lidah terbiasa dari yang pahit hingga yang enak-enak. Karena kalau yang enak-enak dimakan terlebih dulu, tidak menutup kemungkinan makanan lain akan dibiarkan begitu saja. Setelah semua selesai, baru bisa bangun bersama-sama. Kalau sudah semua selesai, baru diperbolehkan beranjak dari tempat duduk. Secara etika tidak baik apabila yang lain masih makan kita sudah bangun, Kalau pun sudah ada yang selesai krama diharapkan untuk diam terlebih dahulu.

Begitu halnya dengan nilai etika tadi saat megibung tidak boleh bicara, ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan, harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang atau sekarang menggunakan kertas yang telah disediakan di masing-masing orang. 

Megibung mengandung pendidikan moral bernilai tinggi seperti pendidikan etika, estetika, tata tertib, sopan santun, kesabaran, memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan, salingmenghargai. Betapa tidak, apabila ada diantaranya yang mendahului cuci tangan, mendahului makan atau bangun tanpa mempedulikan yang lain, sudah dianggap tidak mengenal etika dan sopan santun. Demikian pula dari segi kebersamaan, kekeluargaan dan saling menghargai, hal ini akan dapat terpupuk dengan baik. Dalam satu terdiri dari 8 orang yang bukan saudara, kadangkala tidak saling mengenal bahkan dengan orang yang berbeda strata sosial, suku, ras, agama, bahkan golongan. Hal ini mungkin terjadi karena sama-sama menghadi satu undangan seseorang yang melaksanakan satu upacara atau agama. Perkenalanpun terjadi bahkan dilanjutkan dengan saling memaparkan pengalaman masing-masing secara sepintas sebagai basa-basi. Betapa tinggi nilai filosofi dan pendidikan budi pekerti yang dikandung dalam acara atau tradisi magibung tersebut. Megibung mengajarkan kita bukan sekadar menimati hidangan yang tersedia melainkan bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalkan kita tidak boleh makan dengan seenak kita, makan dengan porsi yang lebih banyak dari orang lain dan aturan-aturan yang menyangkut etika lainnya yang bisa saja kurang berkenan di hari orang lain. Karena apabila orang lain melakukan hal yang sama kepada kita barang tentu kitapun bersikap sama demikian.

”Kehidupan itu sendiri bukan hanya penuh dengan sukacita dan kehangatan dan kenyamanan melainkan juga dengan dukacita dan air mata. Namun, tidak soal kita bahagia atau sedih, kita perlu makan. Orang yang bahagia maupun yang sedih bisa dibuat gembira dengan hidangan yang lezat.”​—Laurie Colwin

Alasan lain kenapa revitalisasi toleransi itu keharusan ialah karena semua manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai ketergantungan terhadap orang lain mendambakan kedamaian, tanpa toleransi tidak mungkin ada kedamaian. Semua kita mendambakan kemaslahatan, tanpa toleransi tidak akan ada kemaslahatan. Semua kita menginginkan kemajuan, tanpa toleransi kemajuan tidak akan tercapai. 

Untuk itu pentingnya relevansi nilai-nilai Tat Tvam Asi menjadi sebuah mindset serta mempedomani nilai-nilai budaya leluhur salah satunya melalui tradisi megibung yang sarat akan etika dan estetika yang dapat menyatukan kebhinnekaan sebagai sebuah pelangi nusantara yang teramat indah.

 

Oleh:

I KOMANG AGUS ADITYA PARAMATHA

 

Daftar Pustaka :

Sears, Freadman, Peplau. 1985. Psikologi Sosial. Jilid 2 edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Sudarsana, I. K. (2018). Pengantar Pendidikan Agama Hindu.

http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20070207134430

https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/01/14/40249/tradisi-megibung-belajar-etika-dan-estetika-di-karangasem

https://www.viva.co.id/arsip/672605-menilik-tradisi-unik-megibung-di-bali