Kalau kita ibaratkan, pendidikan itu seperti mata air. Ia adalah sumber kehidupan dari peradaban. Dari mata air segar pegunungan itu, aliran air akan melewati sungai-sungai, mengisi waduk dan subak. Ia akan memberi hidup pada manusia, pada tanaman dan pertanian, hingga nanti bermuara di samudera.

Tugas kitalah untuk menjaga mata air itu agar tetap bersih, bebas dari kepentingan. Jangan sampai mata air dikotori, apalagi sengaja diracuni. Bisa habis kehidupan di sepanjang sungai, mati sampai ikan dan nelayan di muara pantai.

Masalahnya, apakah mata air pendidikan kita sudah terjaga?

Entahlah!

* * *

Sampai detik ini aku masih yakin. Terlepas dari segala kekurangan yang mengiringi perjalanannya, aku yakin bahwa Ujian Nasional berangkat dengan niat dan komitmen yang baik dari pemerintah, khusunya Kementerian Pendidikan Nasional. Perlu ada sebuah standar yang gunanya mengukur, bagaimana sih keadaan mata air pendidikan kita.

Rakyat Indonesia menitipkan amanat untuk mendidik bangsa pada Kemendiknas, maka Kemendiknas wajib mempertanggungjawabkan kembali apa-apa saja yang telah mereka lakukan. Perlu diukur seberapa efektif kebijakan pendidikannya, tenaga pendidik juga perlu diukur sejauh mana efektivitas pengajaran yang telah mereka berikan pada siswa. Dua hal penting: program pendidikan dari pemerintah dan proses pengajaran dari pendidik. Bukankah logika mudah akan berkata, bahwa semakin efektifnya kedua hal itu, maka semakin tinggi pula angka kelulusan?

Nah, dari semangat itu lahirlah 'Ujian Nasional' yang berperan menjadi sebuah standar. Lewat standar itu, banyak hal menyangkut pendidikan dapat dievaluasi, umpamanya:

Menteri Pendidikan Nasional bisa bergumam, "Ternyata Bali mencapai persentase kelulusan lebih tinggi dari Nusa Tenggara Timur. Kebijakan apa yang salah? Atau sarana dan tenaga pendidik kurang, mungkin? Baiklah, akan kami jadikan dasar perbaikan tahun depan."

"Coba panggil semua kepala sekolah," cetus Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten A, "SMANSA lulus 100%, bagus. Ia bisa membagi ilmu dan metode mereka pada kepala sekolah yang lain."

Anggota DPR dari Propinsi X mengetahui persentase kelulusan di dapilnya lebih rendah dari Yogyakarta. Ia bisa menjalankan fungsi pengawasannya, "Ini sebagai pengingat untuk Kemendiknas, bahwa kualitas dan fasilitas pendidikan kita belum merata. Dan harus diratakan!"

... masih banyak contoh lain. Silakan sebut sendiri.

Dengan begini, Ujian Nasional berwujud "Malaikat Cantik". Ia menjadi cermin yang memperlihatkan bagaimana sih wajah pendidikan negara kita.

Jadi UN bukan semata evaluasi pada siswa. Ia adalah evaluasi atas penyelenggara pendidikan.

Itulah seharusnya wajah Ujian Nasional sekarang. Cantik! Sayangnya, masih banyak yang memandang UN dengan wajahnya yang terdahulu. Ya, beberapa tahun lalu, wajah Ujian Nasional bukanlah "Malaikat Cantik", melainkan "Setan Kejam"! Buktinya, televisi selalu menyiarkan kegiatan wajib dalam menghadapi UN, dimana mendadak banyak digelar doa bersama, bukannya belajar bersama. Mirip ngusir setan, kan?

undefined

"... UN bukan lagi Ujian Nasional, tapi Ujian Kehidupan."

 

Beberapa tahun lalu, UN adalah satu-satunya indikator kelulusan siswa. Bayangkan seorang anak SMP di pelosok Indonesia yang hidup tanpa jalan aspal apalagi toko buku, berangkat ke sekolah jauhnya belasan kilometer, dan sepulang sekolah masih harus menggembala babi. Entah bagaimana caranya belajar. Sementara ia harus memperoleh nilai sama dengan seorang anak Jakarta yang kaya literatur, internet, dan diiringi bimbel-bimbel. Kalau nilai UN-nya tidak minimal sama, ya si penggembala babi tidak lulus SMP.

Kejam memang, untuk sebuah negara yang pembangunannya belum merata, tapi syarat lulus-tidaknya seorang siswa sudah disama-ratakan.

Tapi itu dulu.

Tingginya angka ketidaklulusan di tahun-tahun itu akhirnya menjadi bahan intospeksi bagi pemerintah. Diputuskanlah bahwa UN bukan lagi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Lega, harusnya! Keputusan pemerintah ini menjawab keresahan guru, dan keresahan semua orang yang galau, takut tidak lulus sekolah gara-gara tidak lulus setan kejam bernama UN.

Nah! Kini UN bukan lagi palu tunggal yang memvonis kelulusan siswa. Ia kini adalah cermin yang menampilkan wajah pendidikan kita. Semoga kita bukan manusia-manusia tidak jujur, yang membelah cermin karena menampilkan wajah kita yang buruk.

Masalah selesai? Tunggu dulu.

Masih hal lain yang mengancam mata air. Masalah itu bernama... lagi-lagiPolitik dan pencitraan! 

Kita kini tengah menganut sistem politik baru: 'Politik Narsis' namanya. Pemegang kekuasaan politik adalah mereka yang punya citra baik, meski belum baik pokoknya harus kelihatan baik dulu. Caranya? Entah dengan menebar senyuman di sepanjang jalan lewat baliho raksasa, pura-pura menjadi kernet metromini via reality show biar merakyat, sampai memanipulasi data agar kelihatan indah.

Yah... hal yang terakhir terjadi. Benar-benar terjadi.

Bupati A yang membuat program 'pendidikan gratis' tak mau programnya diejek koran karena banyak yang tidak lulus. Bupati B apalagi, ia tak mau disentil rakyat macam, "Sudah bayar, kok yang ndak lulusnya lebih banyak dari kabupaten A yang sekolahnya gratis!" Sementara Gubernur C ingin angka kelulusan di wilayahnya tertinggi di Indonesia. Kepala dinas yang takut ditendang dari jabatannya balik menekan kepala sekolah. Kepala sekolah bersama guru-guru akhirnya malah jadi 'tim sukses' UN. Kasak-kusuk di kalangan siswa sering kita dengar, bahwa jawaban UN banyak berseliweran.

Benarkah itu terjadi? Tanya diri kita, seberapa sering siswa kemampuan 'menengah' takjub dengan nilai UN-nya sendiri yang mendadak tertinggi di kabupaten, sementara siswa yang biasanya berprestasi malah nilai UN-nya biasa saja?

* * *

Menghapus Ujian Nasional kupikir adalah tindakan yang emosional. Toh lulus sekolah kini tak lagi semata diukur dari nilai UN, tapi juga berdasarkan keputusan sekolah yang bersangkutan sebagai pihak yang paling tahu keadaan siswa. 

Ujian Nasional hanyalah sebuah kertas. Kitalah yang menentukan kertas itu akan jadi setan atau malaikat. Jangan sampai sesuatu yang diamanatkan untuk menjadi 'pengendali mutu' pendidikan malah berubah jadi dagelan, drama pura-pura skala nasional cuma agar kelihatan bagus dan 'biar ndak malu-maluin'.

Semoga saja itu tidak benar.

Bila itu benar, berarti sadar atau tidak, kita sedang berusaha mencongkel alat pengukur kejernihan mata air kita (karena takut pada kenyataan airnya tak jernih?) sekaligus sedang menabur racun pada pada mata air kita sendiri.

Semoga Tuhan mengampuni kita yang penuh kemunafikan ini.