Hewan yang paling berpotensi untuk menghancurkan dirinya sendiri adalah katak. Seperti pada peribahasa “bagai katak dalam tempurung”, sang katak yang bersuara besar itu ribut dan bernyanyi seenaknya, namun dia tak sadar, dia hanya dalam tempurung kecilnya.
Manusia adalah contoh nyata dari sang katak. Atau sebut saja kumpulan manusia yang bersifat seperti katak. Seringnya mereka yang menganggap dirinya mampu dan memiliki segalanya, malah menjadi katak yang sombong. Berbicara seenaknya, ‘twit’ kalimat yang dianggapnya benar, atau komentar disana-sini dengan pemahamannya yang masih dangkal. Kasihan.
Jika kita belajar dari leluhur, mereka mengajarkan banyak hal tentang nilai kebijaksanaan, “makin berisi makin merunduk bagai padi” misalnya, atau ungkapan “semakin banyak kita tahu, maka kita sadar bahwa ternyata hanya sedikit yang baru kita tahu”. Kenapa tidak banyak orang yang memahami hal ini? Mungkin karena lebih enak jadi katak daripada padi.
Persaingan dalam kehidupan ini adalah hukum mutlak. Bahkan sebelum lahir, kita yang masih sel sperma bersaing dengan ratusan juta 'calon anak' lainnya, mungkin ada yang terpleset saat hampir menyentuh sel telur, lalu tersalip oleh kita, yang akhirnya menang dan lahir. Kemudian bersaing lagi. Menang dan kemudian bersaing lagi.
Persaingan juga memberi warna dan semangat dalam mencapai sesuatu. Persaingan ketat adalah indikator. Indikasi dari seberapa penting hal tersebut diinginkan dan memiliki nilai. Makin tinggi nilainya makin ketat persaingannya. Dengan semakin ketatnya persaingan, individu pasti mengoptimalkan usahanya, berlatih lebih keras jika diperlukan, berpikir lebih keras jika dibutuhkan.
Lalu muncul bibit setipe ‘katak’, dia juga mengoptimalkan usahanya, namun dengan cara berbeda. Allih-alih memperbaiki dirinya, dia malah mengubah pola persaingan, menyenggol sana-sini. Dalam persaingan khususnya di masa ini, suap-menyuap dan sogok-menyogok adalah hal lumrah, rahasia tapi umum tahu. Dihina dan dihindari di iklan-iklan layanan masyarakat, tapi dicari saat butuh jalan singkat. Lingkungan itu peka akan kode sekongkol, mereka ‘kooperatif’ menyembunyikan dan melakukan pekerjaan sampingannya. Semua dimanajemen baik, dari pintu belakang hingga pintu depan. Senyum merekah seiring merekahnya nominal di kantong. Kamu pernah jadi katak? Kalau saya? Pernah, pernah jadi korban.
Mari singkirkan katak sejenak, jangan beri ruang lebih untuk katak pada tulisan ini. Nanti malah mengarah jadi artikel pada NatGeo Wild (penulis berusaha melucu). Kompetisi adalah nama lain dari persaingan, sama-sama berjuang untuk suatu hal yang mereka yakini. Hal menarik dari keduanya adalah lingkupnya. Yang tadinya lawan kemudian jadi kawan baik. Yang sebelumnya kawan, malah menjadi lawan. Weird, but that’s how competition roll.
Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) misalnya, yang tadinya saling jatuhkan di tingkat nasional. Kemudian bahu membahu di level SEA GAMES. Intinya adalah bagaiamana kecenderungan kita hanya melihat ruang kecil kita saja, tanpa berpikir luas sejenak dan menerka apa esensi dari semuanya. Kompetisi dan persaingan memang punya banyak hal aneh, punya warna dari putih dan merahnya semangat, hingga hitamnya perilaku katak. Loh, lagi-lagi katak.
Bagaimana di Bali?
Bukan, ini tidak menyangkut rekrutmen pegawai, cari sekolah, atau urusan administrasi. Terlalu ‘mainstream’. Sudah banyak ulasan tentang itu. Beda pemanis dan faktanya saja. Ini tentang masyarakat dari pulau yang kita cintai. Masyarakat yang terkenal ramah dan berbudaya itu. Mari ulas sedikit pengantar di atas, bahwa dalam kompetisi dan persaingan dikehidupan kita selalu sibuk memperkuat “kotak” lingkup kecil kita. Terlalu sibuk menguatkan apa yang kita anggap benar dan tak jarang dimentahkan oleh fakta bahwa semuanya harus dilebur dan diperluas ulang. Kotak bertepi tajam dan rawan bersinggungan. itu faktanya bukan.
Di Bali, kecenderungan ini ada dan meluas. Selalu beranggapan menjadi lebih segalanya dari yang lain, lebih pintar, lebih kuat, lebih besar. Mereka sibuk menjagokan lingkup 'kotak' kecilnya. Menguatkan sudut dan sisi kotak rapuhnya yang ternyata adalah lingkup kecil tempurung katak. Kita jarang sekali berpikir “out-of-the-box”, sering terlalu mudah mencaplok pemahaman dasar, tanpa hati dan hati-hati. Hanya berpikir cepat, sehingga lupa apa inti sebenarnya. Esensi dari kehidupan ini sebenarnya. Kemudian terjadilah perpecahan, berbeda pendapat dahulu, kemudian berbeda golongan ujungnya. Dan meluas. Dan membuas.
Banyaknya golongan pemuda dan ormas mulai muncul di Bali. Sebenarnya sangat baik melihat perkembangan ini, karena kita sudah mulai berbenah dan berhimpun tapi sayang meleset dari tujuan. Ramainya geng pemuda, geng berotot, dan perkumpulan 'meleset' lainnya adalah imbas dari pemikiran dalam tempurung.
Baik sekali mereka mampu mempraktekkan berbagi pikiran antar anggota, menyatukan opini, dan menunjukkan mau belajar dan berorganisasi. Tapi apakah akhirnya semua harmonis dan positif? Tidak. Kerap kali malah berseteru dan 'mesiat'. 'Nyame lawan nyame'. Mengecewakan. Sudah menghimpun diri, belajar bersama, berbagi bersama, tapi tujuannya ‘nyaplir’.
Pernah saya dengar pembicara di televisi, dalam dialognya menyatakan tentang keprihatinan ini. “Kita di Bali, terlalu gampang ribut kalau masalah antar nyame pedidi”. “Tapi tidak peka akan masalah dari luar”.
Ini kenyataan benar, jika ada orang luar dengan kepentingannya masuk dan berniat menghancurkan Bali, kita malah diam dan bilang “Nak mule keto”, apatis dan diam. Bahkan buruknya beberapa golongan "dapat disewa dan dibayar" untuk membentengi apa yang rakyat lawan dengan perjuangan. Tidak sepemikiran, dan semrawut.
Padahal seharusnya pemuda Bali, dalam dan diluar golongan baik bagian dari label 'kotak' apapun bersatu, dan tidak punya waktu untuk ‘mesiat’, tahun 2015 Indonesia sudah masuk Asean Economic Community (AEC). Kita harusnya berkumpul, menyatukan para kepala terbaik, dan mulai berpikir tentang proteksi diri, budaya dan kekayaan, berpikir bagaimana melawan balik, dan menguasai pasar. Mempertahankan pulau kita bersama, dan mencoba keluar bersama masuk ke level selanjutnya. Itu harusnya yang kita para pemuda pikirkan! Pernah terbersit?
Anies Baswedan pernah bilang, "Pemikiran yang menyatakan kekayaan utama sebuah negara adalah hasil tambang, minyak, hutan, dll adalah pemikiran Kolonial. Karena sesungguhnya kekayaan terbesar suatu bangsa, adalah manusianya sendiri."
Bagaimana peran penting kita membentuk opini, dan saling menyadarkan. Melihat siapa kawan dan lawan sebenarnya. Bersatu dalam ide dan tujuan akhir, walau beda jalan tempuhnya. Karena selama ini, kita selalu diperas dan dikotak-kotak oleh hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Bahkan kerap kali hanya kepentingan golongan tertentu.
Sering dibiaskan oleh persaingan dan kepentingan pribadi atau golongan, kita jadi lupa tujuan besar dan garis merah dari permasalahan sebenarnya. Sudah saatnya kita tidak lagi mendiamkan, yang muda membangunkan, yang tua memberikan jalan. Bali bahkan Indonesia harus dipertahankan dari dalam terlebih dahulu, manusianya adalah lakon utamanya.
Buktikan kita lebih dari sekedar boneka, atau mungkin katak, yang mudah dipecah menjadi banyak bagian bermusuhan. Jangan lagi bagai katak dalam lingkarannya. Yang terpecah dalam rumahnya sendiri, yang terkotak-kotak tanpa arti pasti. Bagai terkotak dalam lingkaran.
-Made Arya Wijaya, find more here
Komentar