Smartphones vs Smartparents: Perang Maya dan Psikis di atas Belenggu Nomophobia

(Oleh: I Gede Wahyu Widnyana)


Secara harfiah teknologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “tecnologia” yang berarti pembahasan sistematik mengenai seluruh seni dan kerajinan. Istilah tersebut memiliki akar kata “techne” dalam bahasa Yunani kuno berarti seni (art), atau kerajinan (craft). Dari makna harfiah tersebut, teknologi dalam bahasa Yunani kuno dapat didefinisikan sebagai seni memproduksi alat-alat produksi dan menggunakannya. Definisi tersebut kemudian berkembang menjadi penggunaan ilmu pengetahuan sesuai dengan kebutuhan manusia. Teknologi dapat pula dimaknai sebagai “pengetahuan mengenai bagaimana membuat sesuatu” (knowhow of making things) atau “bagaimana melakukan sesuatu” (know-how of  doing things), dalam arti kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan nilai yang tinggi, baik nilai manfaat maupun nilai jualnya (Martono, 2012: 276).

Salah satu perkembangan teknologi yang sangat pesat perkembangannya di Indonesia adalah teknologi komunikasi berupa smartphone. Dari kalangan berbagai usia, baik dari usia balita (bayi di bawah lima tahun) hingga lansia (lanjut usia), dari strata ekonomi yang rendah sampai yang tinggi memiliki apa yang dikatakan smartphone. Hal ini menjadi ironi tersendiri, karena memang setiap perubahan memiliki dampak positif maupun negatif. Seperti dilansir liputan6 (Rina Nurjanah, 2015), salah satu dampak negatif dari adanya smartphone atau gadget adalah memperlemah skill komunikasi atau berkurangnya interaksi sosial secara langsung. Fakta mengatakan dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi, orang-orang cenderung lancar dan leluasa ketika melakukan komunikasi jika melalui alat, tetapi saat bertatap muka secara langsung, intensitas komunikasi sangat minim karena sibuknya pengguna aktif menggunakan smartphone miliknya. Seperti halnya data pengguna smartphone yang dilansir Okezone (Advent Jose, 2015), bahwa pada akhir 2015 diperkirakan sekira 55 juta pengguna aktif smartphone di Indonesia. Sedangkan total persentase pertumbuhanya mencapai 37,1%, bahkan diperkirakan pertumbuhan pada 2016 akan mencapai 65,2 juta pengguna smartphone. Sedangkan di 2017 akan ada 74,9 juta pengguna, kemudian bertambah terus pada 2018 dan 2019, yang pertumbuhannya mulai dari 83,5 juta hingga 92 juta mobile phone user di Indonesia. Penggunaan smartphone yang berlebihan dapat membatasi interaksi sosial yang terjadi di masyarakat.

Kasus yang banyak terjadi dapat dilihat ketika terkumpulnya suatu kelompok, baik itu dalam lingkup pertemanan maupun keluarga, banyak individu yang fokus dan terpaku pada layar smartphone mereka dan justru tidak menikmati kebersamaan yang sedang berlangsung di sekitar. Interaksi tatap muka yang diharapkan dari perkumpulan justru berkurang. Tidak jarang juga seorang remaja lebih tahu mengenai kegiatan sehari-hari selebritis idola mereka dibanding dengan kegiatan dan kejadian kehidupan orang-orang terdekat mereka sendiri. Terlebih lagi, banyak yang mengandalkan notifikasi facebook atau sosial media lainnya untuk mengingat tanggal ulang tahun temantemannya. Padahal sesungguhnya interaksi tatap muka dan spontanitas tetap diperlukan dalam menjalin suatu relasi (interaksi sosial). Hasil dari tingginya intensitas ketergantungan anak muda akan smartphone melahirkan fenomena yang disebut “Nomophobia” (no-mobile-phone-phobia).

Nomophobia adalah jenis fobia yang ditandai ketakutan berlebihan jika seseorang kehilangan ponselnya. Orang yang menderita nomophobia selalu hidup dalam kekhawatiran dan merasa gelisah dalam meletakkan ponselnya, sehingga selalu membawanya kemanapun ia pergi. Seorang nomophobia bahkan dapat memeriksa ponselnya hingga 34 kali sehari dan sering membawanya hingga ke toilet. Ketakutan tersebut meliputi hal khawatir akan kehabisan baterai, takut melewatkan telepon atau sms, dan takut melewatkan informasi penting dari jejaring sosial. Penderita nomophobia mengandalkan media sosial sebagai alat komunikasi, mereka yang kurang berhati-hati dalam menyikapinya bisa saja melupakan teman-teman “fisik” disekitarnya. Mereka cukup berkomunikasi melalui media sosial tanpa bertemu langsung. Karena kurangya bertatap muka, dapat memicu seseorang ‘kurang mahir’ dalam berbicara. Lama-kelamaan seseorang bisa melupakan kehadiran kehidupan nyata disekitarnya. (Restu Kusuma Wardani, 2015)

Menurut Piercarlo Valdesolo (2015) dalam American Scientific, nomophobia dibagi menjadi dua tingkatan, yang pertama ketika seseorang merasa gelisah pada saat tidak memegang smartphone (tidak tahu dimana) atau juga disebut nomophobia akut, dan yang kedua ketika seseorang menggantungkan kepada smartphone untuk melakukan pekerjaan dasar dan memenuhi kebutuhan (menggunakan smartphone sebagai kebutuhan fungsional). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Iowa State University, mendefinisikan empat (4) komponen indikator kondisi yang dapat dikatakan seseorang tersebut mengalami nomophobia yaitu: a). tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain; b). kehilangan sambungan secara umum; c). tidak dapat mengakses informasi, dan; d). menyerah akan kenyamanan. Melihat betapa mengkhawatirkannya gangguan tersebut, maka nomophobia tidak dapat disepelekan lagi dan harus segera dicari jalan keluar permasalahannya.  Mencegah nomophobia berkembang, pada dasarnya paling baik dilakukan dengan melakukan tindak preventif sedari orang tersebut masih berusia kanakkanak. Ini didukung oleh Ernawulan Syaodih (2012), bahwa menurutnya perkembangan anak adalah suatu proses perubahan, yang menempatkan anak belajar menguasai aspek-aspek, seperti: gerakan, berpikir, perasaan, dan interaksi baik dengan sesama maupun dengan benda-benda dalam lingkungan hidupnya. Interaksi dengan sesama menjadi tujuan akhir dan utama ketika ingin menghindarkan seseorang dari dampak nomophobia, untuk itu tindakan pencegahan sejak usia anak sangat urgen pelaksanaannya. Maka dalam tulisan ini, penulis menawarkan suatu solusi yang mengupayakan peran orangtua dalam mengarahkan perkembangan anak-anak mereka sejak dini, agar tidak terjebak dalam belenggu nomophobia di kemudian hari. Solusi itu penulis sebut sebagai smartparents, yang merupakan tandingan dari penjajah terbesar abad ini, yaitu smartphones. Konsep smartparents ini menyesuaikan dengan teori faktor pengaruh perkembangan dari Piaget sebagai pengokoh fondasi tumbuh kembang anak, yang dikombinasikan dengan esensi dasar dari beberapa aplikasi pada smartphones, untuk nantinya diadaptasi peran aplikasi tersebut ke dalam peranan orangtua mengasuh anak.

Faktor-faktor pengaruh perkembangan pada anak menurut Piaget, meliputi: a). Heriditas, semenjak dalam kandungan anak telah memiliki sifat-sifat yang menentukan daya kerja kognitifnya, inilah yang dikenal dengan faktor kematangan internal; b). Pengalaman, ini terkait dengan pengalaman fisis dan logika matematis. Pengalaman fisis melibatkan obyek yang kemudian membuat abstraksi dari obyek tersebut. Sedangkan pengalaman logika matematis merupakan pengalaman yang mengabstraksikan dari akibat tindakan terhadap obyek (abstraksi reflektif); c). Transmisi sosial, digunakan untuk mempresentasikan pengaruh budaya terhadap pola berpikir anak. Ajaran dari guru, penjelasan orang tua, informasi dari buku, meniru, merupakan bentukbentuk transmisi sosial; d). Ekuilibrasi, pada diri setiap individu akan terdapat proses ekuilibrasi yang mengintegrasikan ketiga faktor tadi, yaitu heriditas, pengalaman dan transmisi sosial. Alasan adanya ekuilibrasi yakni anak secara aktif berinteraksi dengan lingkungan.  Kembali ke solusi smartparents, jika dikaitkan dengan teori dari Piaget, maka solusi ini mengambil andil pada faktor pengalaman dan transmisi sosial. Konstruksi peran masing-masing orangtua dengan faktor pengalaman sebagai dasarnya, memposisikan orangtua untuk mampu menciptakan lingkungan yang membantu proses perkembangan anak.

Umumnya orangtua masa kini untuk mengenalkan dunia luar, lebih sering orientasinya menggunakan smartphones, sebab dirasa lebih mudah, dan segala hal yang ingin dikenalkan pada anak mudah ditemukan menggunakan alat tersebut. Atas dasar kita sedang berperang dengan smartphones, maka sebagai smartparents sangat dianjurkan untuk berhenti melakukan pengenalan dunia luar melalui musuh besar itu. Sebaiknya, adaptasi saja dunia luar pada smartphones ke dalam dunia nyata. Misal saja, orangtua masa kini mengenalkan permainan Angry Birds pada anaknya sebagai sesuatu yang menghibur, namun sekarang cara tersebut perlu diubah. Hiburan Angry Birds akan lebih membantu proses perkembangan anak ketika dapat hadir secara nyata di hadapannya. Maksud penulis, teknis bermain Angry Birds pada smartphones yang melempar burung menggunakan ketapel, kini dibuat secara nyata dengan sedikit variasi, yakni dikombinasikan dengan perilaku membuang sampah. Orangtua perlu mengkonstruksi pemikiran anak agar menganggap sampah adalah burung yang akan dilempar dan tong sampah adalah babi yang menjadi musuh si burung. Kondisi lingkungan yang seperti itu, secara tidak langsung akan memicu hati kecil si anak untuk membuang sampah pada tempatnya, di samping menghindarkan dari pengaruh buruk smartphones. Angry Birds sendiri merupakan satu dari sekian banyak aplikasi pada teknologi pintar tersebut yang bisa diadaptasi ke lingkungan nyata, sekarang yang diperlukan hanyalah kecerdikan orangtua untuk mengadaptasi aplikasi-aplikasi itu agar menjadi suatu hal yang asyik bagi si anak.  Peran smartparents yang kedua, berdasar pada transmisi sosial yang dikemukakan oleh Piaget.

Kebudayaan memberikan alat-alat yang penting bagi perkembangan kognitif, seperti dalam berhitung atau membaca, dapat menerima transmisi sosial dengan baik apabila anak ada dalam keadaan mampu menerima informasi. Untuk menerima informasi itu terlebih dahulu anak harus memiliki struktur kognitif yang memungkinkan anak dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan informasi tersebut. Informasi yang didapat datang dari lingkungan sekitar melalui peranan Bahasa dan pendidikan. Disini peran orangtua sangat diperlukan untuk bertindak selektif dengan segala sesuatu yang dapat memengaruhi perkembangan si anak. Waktu yang dimiliki orangtua untuk dekat dengan si anak jangan sampai dikalahkan oleh waktu dari smartphones. Karena pada masa sekarang ini, merenggut total keberadaan teknologi pintar itu dari anak adalah hal yang mustahil, kecuali memang sejak dari kecil anak tersebut tidak mengenal smartphones. Pengaturan terhadap manajemen waktu menjadi krusial agar hati anak tidak jatuh ke tangan smartphones. Jika dari kecil anak sudah terbiasa memperoleh transmisi berupa interaksi dengan orang-orang sekitar, bukan dari teknologi pintar, maka kedepannya anak tersebut akan terikat dengan lingkungan setempat, sehingga yang disebut dengan nomophobia kini dapat teratasi. Jika dua peran smartparents tersebut dilakukan dengan baik oleh orangtua, niscaya perang terbesar abad ini antara teknologi smartphones dengan orangtua di tengah-tengah belenggu nomophobia, akan dimenangkan oleh orangtua.  

 

DAFTAR PUSTAKA
Jose, Advent. (2015). 2015, Pengguna Smartphone di Indonesia Capai 55 Juta. Dapat diakses pada URL: http://techno.okezone.com/read/2015/09/19/57/1217340/2015-penggunasmartphone-di-indonesia-capai-55-juta [Akses: 14 April 2016]

Martono, Nanang. (2012). Sosiologi perubahan sosial: perspektif klasik, modern, postmodern, dan postkolonial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Nurjanah, Ria. (2015). Teknologi Merebut Kemampuan Kita?. Dapat diakses pada URL: http://citizen6.liputan6.com/read/2224062/teknologi-merebutkemampuan-kita [Akses: 14 April 2016]

Piercarlo Valdesolo, Piecarlo. (2015). Scientists Study Nomophobia—Fear of Being without a Mobile Phone. Dapat diakses pada URL: http://www.scientificamerican.com/article/scientists-study-nomophobiamdash-fear-of-being-without-a-mobile-phone/ [Akses: 14 April 2016]

Rovio Entertainment Ltd., (2015). Angry Birds. Dapat diakses pada URL: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.rovio.angrybirds&hl=en [Akses: 14 April 2016]

Syaodih, Ernawulan. (2012). Psikologi Perkembangan. Dapat diakses pada URL: http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PGTK/196510011998022ERNAWULAN_SYAODIH/PSIKOLOGI_PERKEMBANGAN.pdf [Akses: 14 April 2016]

Wardani, Restu Kusuma. (2015). Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial Budaya. Dapat diakses pada URL: http://digilib.unpas.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunpasppgdl-restukusum-6395#.Vsxiw9AaLIV [Akses: 14 April 2016]