“Apa yang terbayang di pikiran Anda jika mendengar kata manis ?”
Tentu akan terbayang makanan yang enak, lezat yang membuat lidah ketagihan. Yang digemari anak kecil bahkan orang dewasa pun senang menikmati atau mungkin sejenis makan yang banyak mengandung gula. Hemm,… jika terbayang kata manis sungguh menggugah selera. Manis merupakan salah satu dari lima sifat rasa dasar yang dianggap menyenangkan. Berbicara tentang manis tentu tidak bisa lepas dari kata gula. Pada masa modern, peran gula pada makanan sering diganti oleh pemanis buatan.
Di kalangan masyarakat, dikenal 3 jenis gula, yaitu gula pasir, gula batu, dan gula merah. Walaupun sama-sama memiliki rasa manis tetapi cara pembuatannya jelas berbeda. Di kalangan masyarakat Bali pengrajin gula merah / gula Bali terkenal dibuat di Dawan Kelod dan Besan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Gula Dawan bagi masyarakat Bali tidak hanya sebagai pemanis makanan, tetapi juga sebagai sarana upacara maupun usadha Bali.
(Sumber: 1.bp.blogspot.com/-VAMU7VsikN0/VAlltgda9_1/AAAAAAAAADw/EW27pVcpsKQ/s1600/Gula-aren_kidnesiathumb630x368.jpg)
Kita lirik ke klungkung sebelah timur, tepatnya desa Dawan Kelod. Daerah ini merupakan tempat kelahiran dari I Gusti Ketut Tarka yang merupakan sosok penabur rasa manis di kota kecil. Beliau merupakan salah satu pengrajin gula merah Dawan. Di Bali, keberadaan gula merah sudah dikenal sebelum gula pasir. Selama bertahun – tahun mata pencarian warga di sana sebagian besar sebagai pengrajin gula merah, bahkan usaha ini sejak dulu sudah diwariskan turun – temurun.
Peralatan yang digunakan pun masih sederhana, yaitu menggunakan alat-alat tradisional, seperti kayu bakar dan tungku tradisional Bali (jalikan). Proses pemasakan tersebut dikenal dengan proses mumpunin (proses memasak dengan menggunakan kayu bakar). Membuat gula tidak memakai api yang besar, hanya menggunakan api sisa masak. Prosesnya lumayan lama, kira-kira 30 menit. Setelah tuak berubah menjadi merah dan kental, baru diledok (aduk). Pengledok sendok terbuat dari kau kau atau batok kelapa. Cetakan dari kau – kau tersebut di dalamnya diisi daun pisang atau keraras. Setelah itu baru tuangkan cairan gula ke cetakan. Kemudian, cetakan tersebut diletakan di atas alas dari bambu (ancak). Tunggu hingga kering untuk melepaskan gula dari cetakan! Cukup diberi air sedikit dari pantat batok kelapa.
Gula Dawan memiliki rasa manis yang khas dibandingkan gula merah lainnya. Tidak hanya itu, warna gula Dawan pun berbeda dengan gula merah lainnya. Gula merah pada umumnya berwarna agak hitam, tetapi gula Dawan berwarna gading, terlihat lebih cantik dan bersih. Walau mahal, gula Dawan tetap menjadi incaran konsumennya, terutama bagi pedagang makanan yang memakai gula merah. Pasti ia menggunakan gula Dawan sebagai bahan makanan.
Sayangnya, keberadaan gula Dawan saat ini mulai redup. Gula yang manis kini terasa“pahit”, sedih menatapi masa depannya. Amat disayangkan sekali sekarang pengerajin gula hanya ada di Besan, sedangkan di Dawan kelod sudah punah. Saat ini pengerajin rumahan di Dawan Kelod yang bergerak di bidang industri makanan, seperti jajan sengait, malahan memakai gula dari luar Bali. Gula tersebut merupakan gula dari Jawa yang terjual di pasaran dengan harga relatif murah. Harga gula merah Jawa di pasaran Rp. 20.000,00, sementara harga gula Dawan Rp 40.000,00. Hal ini menyebabkan penjualan gula Dawan menurun drastis. Ujung-ujungnya, produsen gula Dawan mengurangi produksinya. Jika dibiarkan, keberadaan gula Dawan dan pengrajinnya akan langka.
Tidak hanya karena menurunnya minat masyarakat terhadap konsumsi gula Dawan, semakin hari si manis dari Dawan ini terancam punah karena area perkebunan mulai berkurang yang disebabkan oleh alih fungsi lahan. Berkurangnya area perkebunan berdampak pada kuantitas dan kualitas tuak. Kuntitas dan kualitas tuak akan sangat berpengaruh terhadap produksi gula Dawan. Apalagi jika musim hujan tiba, pengrajin gula tidak berani memanjat pohon kelapa yang licin. Tuak pun akan sedikit diperoleh. Jika mau membuat gula merah, pengrajin harus menunggu agar punya tuak banyak. Anggap saja memiliki tuak 1 (satu) jambangan besar. Saat tuak terseut dimasak untuk dijadikan gula, tuak tersebut akan menyusut menjadi hanya seperempat jambangan.
Mengingat berbagai kendala yang harus dihadapi warga dalam produksi gula Dawan, para generasi muda seakan-akan menutup mata dan tidak mau berkecimpung dalam dunia tersebut. Mereka lebih memilih merantau ke kota untuk mencari nafkah dibandingkan mengembangkan potensi yang ada di desanya sendiri. Padahal, jika ditekuni dan dikembangkan dengan baik, potensi ini bisa dijadikan sebagai sebuah usaha sekaligus daya tarik wisata bagi daerah Dawan pada khususnya dan Klungkung pada umumnya.
“Untuk melestarikan keberadaan gula merah, hanya warga Besan saja yang masih bertahan menggelutinya. Sementara warga Dawan sudah menyerah. Kami berharap tangan pemerintah daerah melalui instansi terkait dapat membantu mempertahankan keberadaan para pengrajin gula merah di sini. Kami berharap pemerintah memberikan solusi terhadap keberadaan para pengrajin agar pengrajin gula merah Dawan tetap bertahan” papar I Gusti Ketut Tarka.
Kita para generasi muda tentunya tidak ingin si Manis dari Dawan ini kehilangan jati dirinya. Sangat disayangkan jika si Manis dari Dawan ini semakin “pahit” keberadaannya karena berbagai permasalahan yang mesti dihadapinya. Mulai dari “tertindas” produk gula merah dari luar, alih fungsi lahan perkebunan, sampai dipandang sebelah mata oleh generasi muda. Ironis sekali. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, harus segera ditindaklanjuti. Peran serta pemerintah daerah sangat diperlukan. Pemerintah sebaiknya mencari solusi agar pembuatan gula terus bertahan sehingga warisan pembuat gula merah yang dilakukan secara turun – temurun ini tidak sirna. Pemerintah dan pengrajin gula merah Dawan bisa bekerja sama dalam mengatasi permasalahan produksi gula merah Dawan, di antaranya dengan memperbaiki strategi pemasaran, baik melalui promosi, inovasi pengemasan, dan hal lainnya agar tidak kalah saing dengan produk lain. Selain pemerintah dan pengrajin gula merah Dawan, para generasi muda juga harus turun tangan dalam menyikapi permasalahan tersebut. Kita sebagai generasi muda harus membuka mata lebar-lebar terhadap potensi yang ada di tempat tinggal kita! Kita harus segera bergerak dan bertindak! Jangan menjauh dengan apa yang kita miliki! “Kalau bukan kita, siapa lagi ? Kalau bukan sekarang, kapan ?”
Komentar