Berawal dari kebiasaan membolos saat pelajaran Bahasa Jepang di jaman SMA, aku menceritakan kisah ini. Kisah yang aku ceritakan ulang dari sebuah buku kumpulan cerita pendek yang aku temukan di perpustakaan dikala membolos. Sayangnya waktu mengikis ingatanku, dari semua yang teringat hanya alur ceritanya yang menawan, tidak judul tidak pula nama pengarangnya.

Dengan segala hormat kepada penulis aslinya, aku menceritakan ulang dengan tujuan kalau pembaca Kukulbali ada yang punya informasi tentang buku dan cerpen versi aslinya ini sudi kiranya untuk memberi tahu.

 

***

Suara derap langkah menyadarkan aku dari lamunanku, entah sudah berapa lama aku melamun diatas bangku panjang ini. Aku lihat di depanku, seorang pria dan wanita berpakaian serba putih melintas tak acuh akan keberadaanku yang dilewatinya, mereka berjalan cepat seolah sedang mengejar sesuatu. Pikiranku mulai melayang-layang tak karuan lagi, kulihat jam tanganku menunjukan pukul 14.10, “sebaiknya aku pergi dari tempat yang tak nyaman ini” kataku dalam hati. Aku tarik nafas panjang, kukumpulkan energi untuk bangkit dari tempat duduku. Tak seperti biasanya, kakiku terasa lemas saat mencoba memulai mengambil langkah. Mungkin karena terlalu lama duduk, ditambah lagi aroma ruangan yang tidak sedap dan penerangan yang kurang bagus.

Aku berjalan pelan di jalan yang biasa ku tempuh dari tempat kerja menuju rumah. Angin hari ini terasa lebih kencang, mungkin akan turun hujan atau bisa – bisa akan ada badai  hari ini, tanda-tanda alam belakangan mendukung hipotesaku. Beberapa menit berjalan dalam diam, melintas didepanku seorang kakek pedagang asongan -70 tahun mungkin, aku tak yakin.- Penampilannya lusuh dan kotor khas pedagang pinggir jalan yang kesehariannya berpupur debu. Dia menghampiriku sembari menawarkan sekaleng minuman ringan. Dengan raut muka memelas dia merajuk “Den minumnya, bapak belum jual apa-apa dari tadi pagi.” Entah apa yang dipikirkannya, "kau tidak bisa hidup dari rasa iba orang lain, Pak Tua," batinku. Merasa terganggu, ku hardik pak tua tersebut, dia diam melihat aku yang berlalu meninggalkannya.

Lewat disebuah lapangan, disini dulu aku biasa bermain bola. Nostalgia mulai memenuhi dadaku saat aku melihat sekelompok anak kecil bermain bola, alih-alih bermain bola mereka lebih seperti anak kerbau bermain lumpur bagiku. Setetes dua tetes air turun membasahi wajahku dari langit, benar perkiraanku, hujan mulai turun. Aku ambil ancang-ancang untuk berlari, tiba-tiba dari arah lapangan, anak-anak kerbau itu meneriakiku, “Om tendang bolanya sini!” “Woi Om, tendang sini bolanya!” Aku lihat bola sepak mereka bergulir kearahku, ku terjang bola itu dan kutendang sekeras-kerasnya menjauh dari mereka.  Mereka berteriak-teriak kesal padaku, tak jelas kudengar, aku lebih peduli bagaimana supaya tidak basah kehujanan. Aku langsung berlari menuju rumah menghindari hujan yang mulai turun.

Hujan reda, syukurlah tadi hanya rintik kecil walaupun langit masih gelap. Dengan masih setengah berlari akhirnya aku sampai juga di depan gerbang rumahku. Aneh, tak biasanya halaman rumahku kotor berantakan, kemana istriku seharian? Aku berjalan ke arah pintu depan dengan perasaan kesal, di ujung teras rumah aku lihat sepasang sepatu kets lusuh dan kotor, siapa pemiliknya? Aku juga tak tahu.

Saat hendak melepas sepatu sebelum masuk rumah, tiba-tiba pintu terbuka, sesosok pria keluar dari dalam rumahku, badannya penuh keringat dan hanya mengenakan kaos dalam. Aku semakin gusar setelah melihat siluet istriku dari dalam rumah hanya mengenakan daster terusan yang mungkin seharusnya hanya pantas dikenakan di depanku. Aku hampiri pria tersebut, ku usir dia, kuhardik dengan umpatan dan kata-kata kasar. Aku masuk ke dalam rumah dan membanting pintu, sontak istriku kaget ada aku dirumah, “kenapa pulang cepat Pa?” tanyanya, suaranya bergetar, mungkin karena kaget atau mungkin karena takut. Tanpa memberikan jawaban, ku tampar dia hingga terjatuh. Amarah menguasai pikiranku, tanpa sadar kuambil vas bunga di meja, kuhantamkan benda itu kekepalanya. Istriku pingsan tak sadarkan diri, “apa yang telah aku lakukan?”. Amarahku berubah menjadi ketakutan, takut telah membunuh istriku, wanita yang menemaniku selama ini. Ku bawa istriku ke rumah sakit, mobil ambulance mengantarnya ke UGD. Aku hanya bisa duduk diam diruang tunggu rumah sakit sambil melamun dan menyesal.

Derap langkah menyadarkan aku dari lamunanku, kulihat seorang pria dan wanita berpakaian putih-putih melintas didepanku. “Siang, Pak” kata wanita tersebut padaku sambil memberi senyum. Kubalas senyumnya padaku, “senyum yang manis” batinku. Tak lama kemudian aku beranjak dari tempatku duduk,"dari pada lama-lama disini lebih baik aku pulang" kataku menyemangati diri.

Seperti biasa, aku melewati rute yang biasa kulalui saat pulag kerja. Cuaca siang ini cerah dan udaranya segar, tak seperti belakangan yang selalu hujan. Beberapa menit berjalan dalam diam, melintas didepanku seorang anak kecil pedagang asongan -7 tahun mungkin, aku tak yakin. Dia menghampiriku dan menawarkan sekaleng minuman ringan sambil merajuk-rajuk “Om minumnya, saya belum jual apa-apa dari tadi pagi”. Aku merogoh uang disaku, ku keluarkan uang kertas dua puluh ribu untuk membayar minuman kaleng itu. Aku katakana pada anak itu untuk menyimpan kembaliaannya. Aku berlalu dan meninggalkan anak tersebut kegirangan, “Om makasi ya Om” teriaknya dari belakang. Sambil melambai anak itu berlalu.

Lewat disebuah lapangan, disini dulu aku biasa bermain bola. Nostalgia mulai memenuhi dadaku saat aku melihat sekelompok anak kecil bermain bola, alih-alih bermain bola mereka lebih terlihat bermain lumpur bagiku. Aku berhenti sejenak memperhatikan mereka asik bermain, Bola mereka tiba-tiba bergulir kearahku, salah satu dari mereka berteriak padaku“Om tendang sini bolanya”, tanpa pikir panjang kutendang bola itu ke arah mereka, “bagus juga tendanganku” pikirku. Bola yang kutendang mengarah lurus pada mereka. Anak-anak dilapangan berteriak mengatakan terimakasih padaku yang berjalan pergi meninggalkan mereka.

Lima menit berjalan, aku akhirnya sampai didepan rumah. Ada apa ini? Batinku, sedikit kaget melihat halaman yang masih kotor berantakan. Saat hendak masuk rumah, seorang pria keluar dari pintu depan, badannya penuh keringat dan hanya mengenakan kaos dalam, Ia mengambil sepatu ketsnya yang diletakannya diujung teras. “Permisi Pak” katanya saat lewat dihadapanku sambil tersenyum simpul. Dari dalam rumah istriku, berjalan cepat menyambut kedatanganku,“Kok pulang cepat Pak?” , “Iya” hanya itu jawabku, “Itu kenapa halaman berantakan? ‘trus yang tadi siapa?” nadaku mengintrogasi. Istriku tersenyum sembari berkata “ooh tadi aku tidur siang kelamaan, lelah sekali habis nyuci kebetulan hari ini tidak hujan. Bapak tadi tukang listrik yang aku panggil, kan kamu yang nyuruh?”. Aku hanya tersenyum mendengar jawaban istriku.

Tamat.