Ketika saya membuat tulisan ini, tumpukan permasalahan pendidikan yang saya sadari sudah sangat banyak. Sempat bingung tentang dari arah mana saya akan mulai bicara, tetapi satu hal yang saya sadari adalah hilangnya hakikat belajar dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini.

“Hakikat belajar hilang? Memangnya ada apa ya?”

Aneh rasanya kalau pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, tetapi tanggapan balik yang paling mengena untuk pertanyaan tadi adalah “Apa selama ini Anda ke sekolah memang benar-benar untuk belajar? Atau justru karena keharusan atau dorongan lingkungan sosial?” Wajarlah kiranya kalau sekolah dikarenakan tuntutan sosial. “Hari gini nggak sekolah? Apa kata dunia?” Ngggg… memangnya sejak kapan ya kita peduli apa kata dunia? Mungkin jawaban yang lebih realistis adalah “Nanti dikira ndak punya duit lagi,” hhmmm….

Seperti yang kita ketahui bersama, belajar adalah sebuah proses pemerolehan pengetahuan dan keterampilan untuk menjadi bisa, tahu, dan sadar akan sesuatu. Akan tetapi, pemerolehan itu bukanlah seperti mengisi botol kosong dengan air. Haruslah dipastikan bahwa botol itu memang perlu untuk diisi. Maknanya adalah proses belajar harus didasari keingintahuan dan keinginan untuk bisa. Jika tidak, proses belajar akan percuma dengan terbuangnya semua hal yang diberikan sang guru untuk si murid.

Lalu apa sebenarnya yang membuat hakikat belajar di sekolah itu hilang? Ataukah proses belajar memang tidak pernah terjadi di sekolah? Sebenarnya tidak sepenuhnya begitu. Ada kok siswa yang benar-benar giat belajar karena motivasi sendiri dan dorongan orang tua. Menerima dorongan orang tua atau orang lain pun dia tidak berontak, tetapi sayang sekali jenis anak seperti ini kurang mendominasi jumlahnya sehingga tidak cukup untuk mencerminkan kondisi belajar yang benar di sekolah-sekolah Indonesia.

Saya pernah mengamati dan bertanya kepada siswa “Mengapa kamu tidak suka matematika?”

“Karena matematika itu susah, banyak rumus, gak suka ngitung,” dan masih banyak lagi dengan inti jawaban matematika itu susah.

“Susah? Berarti kalian harus belajar lebih sering dong supaya yang susah itu jadi mudah?”

“Hmmm…. Gak suka pokoknya. Lagian gak dipake kerja kan? Sin cos tan log itu buat apa? Kalau dibilang pake kerja jadi arsitek, saya ga minat.”

Wow, cukup mengejutkan. Ingin rasanya saya melanjutkan ke jenis pelajaran lain.

“Kalau bahasa Indonesia suka nggak?”

“Nggak suka juga karena males baca soal, ngebosenin, gak penting! Ting! Ting! Ting!”

Eh saking terhenyaknya saya, jawaban siswa yang terakhir malah jadi menggema, hahahaha maklum saya sendiri seorang guru bahasa Indonesia yang sekarang pelajarannya dikatakan tidak penting. Oke fine… Alhasil saya jadi bingung. Lalu mereka maunya apa ya di sekolah?

“Hhmmm ga tau deh… pokoknya yang penting saya lulus dan nanti mau kuliah di ekonomi managemen atau hukum. Kalau bukan itu, saya milih jurusan ilmu komunikasi aja.”

Di luar ekspektasi, ternyata siswa ini punya tujuan mantap mengenai masa depannya dan daripada kaget lagi mendengar bahwa ternyata siswa itu punya warisan perusahaan dari ayahnya, lebih baik saya pergi dan melanjutkan tulisan saya. Kira-kira apakah mereka salah? Sepertinya kalau kita tidak menaruh dendam dengan gaya bicaranya tadi, omongan siswa itu ada benarnya. Kelak jika sudah berprofesi, kita hanya akan profesional di satu bidang. Misalnya saja saya atau Anda yang sudah bekerja. Saya sekarang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia. Tentu pelajaran sains dan matematika yang dulunya saya pelajari dengan tekun, sama sekali tidak berkaitan dengan profesi saya. Kawan saya dulu yang sangat pintar dalam ilmu fisika, sekarang malah bekerja di kantor pajak. Memang itu pekerjaan bagus, tetapi mari kita pikirkan tentang diapakannya piagam-piagam OSN-nya dulu.

Melihat realita tentu saya tidak bisa menyalahkan jawaban siswa tadi. Malah saya takjub dengan kematangannya berpikir saat usianya masih muda. Akan tetapi, kematangan cara berpikirnya yang terlalu dini malah memperlihatkan arogansi di sekolah yang akhirnya berakibat pada nilai budi pekertinya. Apakah hanya siswa tadi yang berpendapat dan bertingkah seperti itu? Saya berani katakan tidak karena saya seorang guru yang setiap hari disuguhkan pemandangan seperti itu. Masih banyak siswa lain yang demikian, malah ada yang tidak menyukai pelajaran apapun selain teknologi informasi. Katanya nanti dia mau jadi fotografer. Ada juga yang terlalu asyik mengasah kemampuan atletik dan seninya sehingga dispen berkali-kali di sekolah. Ada juga yang memilih home schooling atau belajar secara privat di rumah dan ujian melalui kejar paket. Yang paling sering terjadi (dengan siswa narasumber tadi sebagai salah satu contohnya) adalah, suksesnya seorang anak menjadi pengusaha padahal dulunya selalu melawan guru di sekolah, selalu membolos, dan tidak pernah membuat tugas. Ini realita lho… Lalu guru bisa apa kalau sudah begitu? Hahahaha

Sekali lagi mari kita bertanya “Salahkah mereka?”

Tentu saja bisa dikatakan salah jika kita menilai dari segi moral dan budi pekerti. Kepemilikn atas ego yang terlalu tinggi di usia dini akan mengakibatkan tumbuhnya generasi yang arogan dan tak taat aturan. Entah perilaku mereka di sekolah atas sepengetahuan orang tua atau tidak, tetap saja siswa seperti itu boleh dicap sebagai siswa tidak baik. Di sisi lain, “cap” yang kita berikan kepada anak-anak itu tidak akan bertahan lama, apalagi ketika anak-anak yang egois tersebut benar-benar sukses sebagai seorang profesional muda. Memang seyogianya seorang profesional muda (bidang apapun itu) harus lahir dari siswa yang dulunya baik. Akan tetapi, realitanya tidak selalu begitu. Oleh karena itu, munculah pertanyaan “Apakah negara-negara yang sekarang maju dan adidaya itu pernah mengalami masalah pendidikan seperti ini?” atau mungkin ini yang namanya garis kehidupan seseorang? Sepertinya juga tidak selalu begitu dan mari kita berhenti untuk menerka-nerka.

Di dalam hidup, kita memang belajar tentang banyak hal bahkan belajar pun bisa dilakukan saat kita salah dan menyesal. Akan tetapi, pelajaran-pelajaran itu tidak semuanya bisa digunakan ketika kita sedang menghadapi suatu masalah. Analaogi seperti itu sangat representatif dengan realita pendidikan di Indonesia, tetapi tidak di Finlandia. Finlandia adalah contoh negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Mari kita lihat apa yang membedakan Finlandia dengan Indonesia dalam hal pendidikan.

Kurikulum nasional di Finlandia sangat konsisten. Selain itu, kurikulumnya mengatur kegiatan belajar menjadi lebih spesifik, praktis, dan intensif untuk jenjang sekolah menengah atas (silahkan baca http://www.hipwee.com/feature/sekolah-cuma-5-jam-tanpa-pr-ujian-nasional-kenapa-orang-finlandia-bisa-pintar/). Di Finlandia, pendidikan dasar dengan mata pelajaran wajib hanya berlaku hingga jenjang menengah pertama (kalau di Indonesia disebut SMP).

Selanjutnya pada jenjang menengah atas, para siswa di Finlandia sudah bisa memilih beberapa mata pelajaran yang sesuai dengan tujuan belajarnya di perguruan tinggi nanti. Hmmm barangkali mata pelajarannya sudah dipaketkan ya sesuai konsentrasi ilmu perguruan tinggi? Gumam saya dalam hati untuk sistem ini, tetapi entahlah. Tentu sebelum memutuskan untuk menirunya nanti, pejabat pendidikan perlu studi banding dulu. Sistem ini juga akan membuat proses belajar pada jenjang menengah atas di Finlandia lebih mengkhusus dan bisa mencetak profesional pemula yang nantinya tinggal diasah di perguruan tinggi. Berarti sebelum belajar di perguruan tinggi, para calon mahasiswa ini sudah sedikit kompeten untuk nantinya menyandang gelar sarjana yang berkualitas, bukan sarjana kagetan yang awalnya memang kaget dengan konsentrasi ilmunya sendiri.

Sekilas tentang kurikulum Finlandia tadi rasanya cukup untuk bisa membut kita berpikir, barangkali Finlandia sudah lebih dulu mengalami problema pendidikan seperti yang kita bicarakan sekarang. Oleh karena itu, mereka merevolusi pendidikan mereka seperti sekarang ini sekaligus cara ini merupakan solusi untuk Indonesia menurut saya. Kehilangan tujuan belajar dan hakikat belajar oleh para generasi muda yang berstatus siswa ditunjukan melalui perilaku-perilaku negatif sebagai wujud pemberontakan atas rasa bosannya di sekolah. Seperti perilaku yang ditujukan model-model siswa yang saya wawancarai tadi. Sebagian besar memang terlihat pada jenjang SMA karena pada masa itulah siswa mengalami puncak pubertas dan luapan emosi. Sistem pendidikan seperti Finlandia juga akan membuat siswa belajar lebih fokus sesuai minatnya. Mata pelajaran yang mereka pilih adalah mata pelajaran yang mereka butuhkan nanti. Dengan demikian, penyimpangan perilaku sebagai bentuk kejenuhan di sekolah pun tidak perlu terjadi atau setidaknya bisa diminimalkan. Siswa juga tidak akan bosan lagi belajar di sekolah karena mereka mempelajari hal-hal sesuai minat mereka dan yang benar-benar mereka butuhkan nanti.

Jika kita mau, Indonesia sebenarnya bisa melakukan revolusi sistem pendidikan seperti di Finlandia. Cukuplah kiranya anak didik kita dibebankan pelajaran dasar yang beragam sampai jenjang SMP. Selanjutnya mengawali jenjang SMA, mereka sudah diharuskan untuk menentukan cita-cita jurusan kuliah atau konsentrasi ilmu di perguruan tinggi nanti. Siswa juga hanya perlu mempelajari beberapa pelajaran pilihan yang telah dipaketkan dengan pelajaran wajib seperti agama, Pkn, budi pekerti, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal ini perlu dan penting dalam mengasah skill. Kalau pun ada anak didik yang tidak akan melanjutkan studi di perguruan tinggi, tidak ada ruginya jika dia memilih salah satu paket konsentrasi ilmu dan lulus SMA sebagai lulusan berkemampuan pemula. Lebih baik jika dibandingkan lulusan SMA sekarang yang tidak terjamin kemampuannya atau hanya sekedar lulus. Lebih baik juga ketika mempelajari sedikit pelajaran secara intens untuk menjadi profesional daripada mempelajari banyak pelajaran tetapi bisanya setengah-setengah atau tidak sama sekali.

Bagaikan sebuah rantai. Ketika kualitas lulusan SMA mempengaruhi kualitas lulusan sarjana dan kualitas sarjana menentukan kualitas tenaga kerja dan industri sebagai lapangan kerja. Kualitas industri dan tenaga kerjanya akan menentukan kekuatan ekonomi negara kita. Kekuatan ekonomi sebuah negara akan memperbaiki kualitas negara dan predikat negara. Lalu apa lagi yang ditunggu oleh negara kita atau menteri pendidikan kita dari dulu? Mengapa belum juga terlaksana revolusi seperti ini? Sebagai guru, pergantian kurikulum yang terus terjadi selama ini tidaklah cukup ekstrem untuk dikatakan sebagai revolusi pendidikan. Pergantian kurikulum hanya terjadi pada perangkat-perangkat persiapan mengajar yang nantinya juga tidak diterapkan. Terjadi juga penambahan materi atau perubahana materi ke arah yang lebih memusingkan siswa. Mungkin anggapan mereka yang di atas, semakin susah materi, semakin susah ujian. Kalau ujian semakin susah, lulusan pun akan lebih berkualitas. Ibarat semakin kecil lubang saringan, semakin jernih air yang kita dapat. Benarkah? Pasti benar kalau yang disaring itu air, tetapi masalahnya siswa itu bukan air.

Kendalanya mungkin saja ada pada tenaga pendidik atau guru itu sendiri. Jumlah guru dengan masing-masing bidangnya sudah tersedia melebihi kapasitas walaupun di daerah-daerah 3T (Terpencil, Terluar, dan Tertinggal) malah kekurangan guru. Nah, jumlah mereka yang sudah banyak itu saja masih menyebabkan kekurangan jam mengajar sebagai syarat memperoleh tunjangan sertifikasi. Apalagi sekarang mau direvolusi seperti Finlandia yang membebaskan siswa menentukan mau belajar pelajaran apa yang mereka butuhkan dalam cita-citanya. Bisa-bisa ada guru yang pelajarannya tidak laku atau ada yang malah kelebihan peminat. Ada juga yang jam mengajarnya semakin sedikit karena termasuk pelajaran wajib yang tidak muncul setiap semester. Seperti bahasa Indonesia contohnya.

Masyarakat Indonesia memang terkadang sensitif dengan hal-hal baru atau lebih sering terkesan antiperubahan. Jangankan merevolusi pendidikan seperti ini. Pergantian kurikulum yang tidak seberapa saja menimbulkan kehebohan. Keadaan yang dinamakan shock condition itu sebenarnya bisa diatasi dengan merevolusi juga sistem perekrutan mahasiswa calon guru di institut-institut terkait. Minat siswa terhadap sebuah pelajaran akan disesuaikan dengan jumlah perekrutan guru itu nantinya. Hal tersebut bertujuan supaya terjadi keseimbangan antara ketersediaan guru dengan lapangan kerjanya yang ditentukan oleh peminat pelajaran di sekolah.

Dampak dari sebiah revolusi besar, memang baru akan tampak dalam kurun waktu yang lama. Akan tetapi, demi memajukan kualitas generasi muda, kesabaran dengan tetap yakin bahwa setiap perubahan pasti berhasil adalah kunci utama. Jika tidak demikian, pendidikan Finlandia pun tidak akan semaju ini. Terlebih revolusi pendidikan di Finlandia sudah dilakukan sejak tahun 1968. Jadi itinya harus sabar dan tetap berpikir positif. Jika tidak melalui pendidikan, lalu melalui bidang apa kita akan memajukan dan meningkatkan kualitas SDM? Perubahan seperti ini akan mampu memulihkan kembali hakikat belajar dan yang paling penting adalah dilenyapkannya semua kompetisi dalam sistem evaluasi. Hilangkan rangking kelas, hilangkan ujian nasional yang seolah dikompetisikan, dan hilangkan saja akreditasi/penilaian sekolah yang berpatok dari nilai-nilai lulusan dan murid-murid yang masih terdaftar. Hentikan kompetisi nilai karena belajar sejatinya tidak mengejar nilai. Belajar dilakukan bukan karena mencari nilai untuk sekedar lulus. Belajar seharusnya dilakukan karena ingin bisa dan ingin tahu. Belajar juga tidak dilakukan terburu-buru sehingga setiap anak harus naik kelas walaupun tidak memenuhi syarat. Belajar seharusnya dilakukan dengan alasan ingin bisa dan sampai bisa.