“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” –Albert Einstein

            Kutipan Einstein di atas mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda atau "jenius" tertentu. Seringkali, kita melupakan kemampuan terbaik kita saat membandingkan diri dengan kemampuan orang lain. Salah satu contoh sederhana adalah ketika si A mendapatkan nilai 10 pada pelajaran Matematika, sedangkan si B hanya memperoleh nilai 6 di mata pelajaran yang sama. Secara otomatis Guru Matematika akan ‘memvonis’ bahwa B lebih bodoh dari A berdasarkan perbandingan nilai keduanya. Padahal hal tersebut belum tentu benar adanya. Kenapa begitu? Karena secara umum, setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda, pola pikir yang berbeda, serta tingkat kecerdasan yang berbeda. Hal tersebut disebabkan otak kita yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu otak kanan dan otak kiri. Kedua struktur ini sangat kompleks, akan tetapi teori modern mengatakan bahwa masing-masing bagian ini berperan untuk berbagai macam jenis pemikiran yang berbeda. Sangat sulit untuk memisahkan kedua struktur otak ini, percobaan telah menunjukkan bahwa satu sisi bagian otak memiliki jenis pemikiran tertentu yang lebih banyak dari pemikiran sisi bagian otak yang lain. Menurut teori ini, otak kanan bertanggung jawab secara acak, intuitif dan pemikiran subyektif. Sementara otak kiri berperan untuk berpikir logika, skuensial, rasional, analitis, dan obyektif. Jadi seseorang mungkin lebih cenderung menggunakan otak kiri, dan yang lain mungkin lebih cenderung ke otak kanan – didasarkan pada bagaimana mereka menggunakan otak kanan dan otak kiri untuk memecahkan suatu masalah. Orang yang lebih dominan menggunakan otak kanan cenderung menggunakan kreativitas untuk memecahkan suatu masalah. Mereka lebih banyak mengandalkan intuisi dan lebih cepat menangkap gambaran keseluruhan situasi. Pada intinya, orang yang banyak menggunakan otak kanan cenderung tidak detail. Sebaliknya, orang yang lebih dominan menggunakan otak kiri lebih memilih alasan untuk segala sesuatu yang ada. Mereka menggunakan logika rasional untuk mengidentifikasi penyebab masalah, dan kemudian berpikir tentang bagaimana cara mengatasinya. Orang yang berfikir menggunakan otak kiri adalah orang-orang yang berpikir cenderung lebih mendetail.

undefined

(source: Google)

            Setelah membaca penjelasan yang cukup rumit tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan setiap orang tidaklah sama. Lalu, permasalahannya di mana? Permasalahannya ada di sistem pendidikan kita saat ini. Sebagai seorang siswi yang baru lulus SMA, penulis ingin menuangkan pemikiran sederhana mengenai sistem pendidikan di Indonesia sesuai dengan pengalaman penulis sebagai seorang pelajar pada artikel ini.

           Seperti yang dapat kita lihat dan rasakan bahwa cita-cita pendidikan yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional tidak terealisasi hingga kini. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Pendidikan yang berkarakter harus lebih ditekankan bukan pendidikan yang berorientasi kepada nilai. Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik.

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.

Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat ini kurikulum yang bertahan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini disinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia. Ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang merasa senang bahwa sekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri arah atau model pendidikan disekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna kembali ketika ternyata masih ada ujian nasional atau UAN yang membuat model pendidikan yang diberikan sekolah harus kembali lagi seragam. Tak terbayangkan memang ketika KTSP ini harus dilakukan di sekolah-sekolah negeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang, sementara gurunya hanya satu orang. Sungguh jauh panggang dari api atau bagai punuk merindukan bulan.

Sistem pendidikan di Indonesia terkesan memaksa sekolah untuk memiliki tujuan yang sama. Yaitu membentuk anak didiknya agar memiliki kharakteristik yang sama, mengarahkan pada pilihan yang sama, serta membimbing ke arah pola pikir yang sama. Setiap anak diwajibkan untuk menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan tanpa memandang istilah suka ataupun tidak suka. Dituntut untuk memahami setiap teori yang diberikan dan mengaplikasikannya pada setiap test atau ujian, di mana hasil dari ujian tersebut adalah penentu bahwa murid tersebut bodoh atau pintar. Hal ini menjadi alasan bagi sebagian besar murid untuk mengutamakan nilai pelajaran di atas kejujuran. Belum lagi sistem belajar 8 jam perhari, ditambah dengan pelajaran tambahan dan pekerjaan rumah yang menunggu setiap harinya. Secara tidak langsung hal ini akan membatasi kesempatan anak untuk dapat beraktivitas lebih banyak di luar ruang kelas. Karena tidak semua tempat belajar harus memiliki dinding pembatas. Sistem pendidikan kita juga masih setia dengan penerapan ujian akhir yang mengharuskan anak menguasai materi yang diajarkan selama 3 tahun untuk diujikan dalam waktu 3 hari. Alasan ini pula yang menjadikan anak lebih mudah merasakan tekanan dan berdampak pada keadaan psikologis.

          Berikut merupakan contoh dampak terburuk dari masalah sistem pendidikan saat ini yang pernah terjadi di Bali dan diharapkan tidak akan terulang kembali : http://www.tribunnews.com/regional/2014/05/08/siswi-smp-gantung-diri-karena-takut-tak-lulus-un

(source: Google)

          Dalam hal ini, sangat diperlukan peran orang tua dalam mendukung kemampuan anak berdasarkan pada hal apa yang mereka sukai. Bukan memaksa mereka menguasai hal yang mereka tidak sukai dan menenggelamkan potensi yang sejatinya dimiliki anak tersebut. Prestasi tidak hanya soal akademik, tetapi juga non-akademik. Selain itu, tidak semua anak dapat menguasai seluruh mata pelajaran dengan sempurna. Apalagi saat dewasa nanti, pekerjaan kita tetap akan terfokus pada satu bidang saja. Sebagian besar ilmu tersebut baru akan kita dapatkan saat memasuki jenjang kuliah, seperti memulai lagi dari 0. Menurut hemat saya, mengapa tidak sejak awal saja kita mendalami bidang yang kita inginkan? Misalnya, memberikan hak kepada setiap anak untuk memilih minimal beberapa mata pelajaran tertentu saat SD, SMP, dan SMA. Contohnya Amerika, yang memberikan 4 mata pelajaran wajib (Matematika, Bahasa Inggris, IPA, PJOK) dan sisanya adalah mata pelajaran pilihan yang tidak diwajibkan. Sehingga anak-anak di sana dapat menentukan sendiri mata pelajaran tambahan mana yang mereka sukai. Selain dapat membentuk pribadi anak untuk lebih matang dalam menentukan pilihan, hal ini dapat membantu anak untuk terfokus terhadap cita-cita yang diharapkan. Di samping itu juga dibutuhkan cara mengajar yang mengutamakan kualitas bukan kuantitas atau lamanya proses belajar tersebut berlangsung. Dengan tidak membatasi kreativitas siswa dan menghindari kata 'salah' terhadap pendapat yang dilontarkan, sehingga dapat memberikan ruang kepada siswa untuk mengekspresikan diri dan tidak takut untuk membagikan pemikiran yang inovatif.

         Berikut ini adalah salah satu contoh negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia: https://www.youtube.com/watch?v=8_cbSP1x1Fo

(source: YouTube)

 

Selain Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem pendidikan yang sangat bagus. Jika kita memang tidak ingin ketinggalan dari negara lainnya, dan ingin bersaing di kancah internasional, maka Indonesia perlu mengevaluasi sistem pendidikan yang selama ini telah diterapkan. Kita mencari alternatif baru atau memperbaiki sistem yang sudah ada, sehingga dapat dibenahi kearah yang lebih baik. Dan menurut saya, tidak masalah ketika kita mengadopsi ataupun belajar dari pengalaman negara-negara lain dalam hal sistem pendidikan yang diterapkan di negaranya. Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan setiap siswa untuk fokus ke bidangnya masing-masing, sehingga nantinya kita akan melahirkan para pelajar yang ahli di bidangnya masing-masing.

As a student, I'm wishing for a better education to reach a better future ahead.

 

 

Sumber:

- http://www.kompasiana.com/heniakhwatdamanik/sistem-pendidikan-indonesia-antara-masalah-dan-solusi_552a9894f17e613625d623b4

- http://www.hipwee.com/feature/sekolah-cuma-5-jam-tanpa-pr-ujian-nasional-kenapa-orang-finlandia-bisa-pintar/

- http://education.embassyofindonesia.org/sistem-pendidikan-di-amerika-serikat/