undefined

Sumber : kopistengah.blogspot.com

 

Berbicara mengenai Bali, memang tidak terlepas dari keberadaannya sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang terkenal. Citra dan identitas yang melekat pada Bali  terlihat dari perilaku masyarakatnya yang ramah dan bersahaja dengan bertumpu pada kearifan lokal dan nilai-nilai sosial budaya. Menjadi sorotan mata dunia menunjukkan betapa eksisnya Bali dalam arus globalisasi yang kian deras membawa banyak perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat. Budaya yang indah nan eksotis, masyarakat ramah, serta alam yang lestari menjadi jantung pesona Bali yang konon agung dan lestari, tetapi benarkah?

Keberadaan budaya dan keagungan alam di Bali memang sulit untuk dipisahkan hingga melahirkan benih pariwisata yang adiluhung. Salah satunya keberadaan subak yang boleh jadi tidak berlebihan bila dikatakan sebagai primadona di Bali. Menurut Perda Provinsi Bali No. 9 tahun 2012, Subak merupakan organisasi tradisional di bidang tata guna air atau tata guna tanaman pada tingkat usaha tani masyarakat Bali yang bersifat sosiografis, religius, dan ekonomis dan telah tumbuh dan berkembang terus menerus secara historis (Tessa, 2017).

Memiliki fungsi utama sebagai pengolahan air dalam sistem irigasi persawahan, membuat subak terhimpit bersama budaya padi (rice culture) (Pitana, 2013). Tak hanya itu, terdapat harmonisasi yang kuat antara segi fisik, sosial, dan spiritual yang menjadi bentuk konkrit penerapan konsep Tri Hita Karana (Tessa, 2017). Namun, segala bentuk kemajuan yang hadir juga tidak dapat dipungkiri telah membawa banyak kegelisahan terkait kelestarian subak dan pertanian di Bali.

Mendorong budidaya pertanian menjadi salah satu point dari 17 indikator Sustainable Development Goals (SDG’s) (Ishartono, 2016). Namun point tersebut acap kali kalah saing dengan pembangunan industri yang terus menggurita di tiap daerah. Sebagai pemasok daya tarik pariwisata menjadi salah satu alasan mengapa banyak lahan yang tergantikan dengan bangunan.

Tidak banyak yang tahu bahwa terus terjadi penurunan luas lahan persawahan di Bali. Terjadi penurunan luas lahan persawahan yang mulanya seluas 81.744 ha pada tahun 2011 menurun menjadi 81.625 ha. Penurunan yang cukup drastis mengingat dalam jangka waktu kurang dari satu tahun lebih terjadi penurunan seluas 119 ha (Listia, 2016). Tidak berhenti sampai disana, data BPS Provinsi Bali menunjukkan pada tahun 2013 juga terjadi penurunan lahan persawahan yang signifikan menjadi 81.165 ha atau menyisakan lahan persawahan seluas 14,40 %.

Terjadi penurunan pada lahan persawahan yang tinggi pada kabupaten Tabanan (204 ha), Kabupaten Buleleng (135 ha), dan Kabupaten Badung (51 ha). Data tersebut menunjukkan rata-rata penurunan lahan sawah per tahun di Bali sekitar 350 ha (0,41%). (Suharyanto, 2016) Mirisnya, berkurangnya luas lahan persawahan ini juga berimbas pada penyusutan jumlah Subak. Dalam satu dasawarsa pernah tercatat penyusutan jumlah Subak dari 45 menjadi 41 sebagaimana keputusan Wali Kotamadya No. 658 tahun 1993). Penyebab penyusutan lahan ini didasari karena adanya land consolidation seperti sarana pelayanan umum dan lahan pemukiman (Budiasa, 2012).

 

undefined

Sumber : guntorotech.com

 

Mengacu pada pertanyaan sebelumnya, sudahkah budaya Bali lestari? Bila subak yang kita banggakan begitu cepat terlindas ego akibat kemajuan zaman yang memperkeruh kondisi. Tidak berlebihan bila budaya subak telah terhimpit oleh lahan sawah kritis dan minat pemuda yang kian menipis. Kita menyebut sawah sebagai sektor penting karena hingga kini menyediakan pasokan beras sebagai kebutuhan pokok masyarakat, namun kenyataannya justru terjadi penurunan lahan sawah tiada henti.

Kita tidak pernah menyalahkan profesi petani namun terlalu banyak lapisan generasi yang berpaling mencari profesi yang konon dianggap lebih menjamin. Meninggalkan para petani yang tersisa dengan spekulasi yang menancap di tengah lahan sawah yang kian mengering karena ego.

Salahkah menjadi petani?

Mengapa kita pertanyakan hal ini jika bukan karena paradigma masyarakat Bali yang sulit membariskan profesi petani sebagai pilihan mereka.

Yang dibutuhkan saat ini sejatinya hanya dua hal bila kita masih memerlukan nasi dan peduli dengan budaya Subak. Pengembangan sumber daya manusia dan menghentikan alih fungsi lahan persawahan menjadi langkah terdepan untuk mendorong kemajuan sektor persawahan dan mendukung budaya subak yang lestari.

Pengembangan sumber daya manusia bertujuan untuk menghasilkan generasi penerus sektor persawahan yang menyesuaikan dengan kemajuan zaman sebagai langkah memutus mata rantai spekulasi mengenai profesi petani yang kurang menjamin. Disamping itu, kesadaran akan lahan sawah yang kian menipis tentu dapat ditegakkan dengan menghentikan alih fungsi lahan sawah. Apabila ego masih saja melekat dan terus didukung masyarakat yang membuang muka, sepertinya bukan berlebihan bila nantinya Bali hanya bisa mengairi sawah dalam sepetak lahan kritis bukan dengan mata air, tetapi dengan air mata.

Tidak ada yang tahu kapan negeri ini akhirnya menangis ketika suatu saat nanti lahan sawah semakin kritis. Bukan saatnya menunggu dia atau mereka, tetapi saatnya untuk kita renungkan, pikirkan, dan lakukan.

 

 

Sumber Referensi :

Ida Ayu Listia Dewi, dkk. 2016. Dampak Sosial Ekonomi Alih Fungsi Lahan Pertanian Bagi Anggota Subak Kerdung di Kota Denpasar. Jurnal Managemen Agribisnis. Vol 4 (2). Hlm 159 – 169

Ishartono, Santoso Tri Raharjo. 2016. Sustainable Development Goal’s (SDG’s) dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Social Work. Vol 6 (2). Hlm 154 – 272

I Wayan Budiyasa. 2012. Upaya Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk Pelestarian Subak dan Berkelanjutan Pertanian di Bali. Jurnal dwijenAGRO. Vol 2 (2). Hlm 1 – 7

I Putu Tessa, dkk. 2017. Pengetahuan dan Penerapan Tri Hita Karana dalam Subak untuk Menunjang Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan. Jurnal Agribisnis dan Pariwisata. Vol 6 (2). Hlm 211 – 220

I Gde Pitana, I Gede Setiawan Adi Guna. 2013. Pariwisata sebagai Wahana Pelestarian Subak, dan Budaya Subak sebagai Modal Dasar dalam Pariwisata. Jurnal Kajian Bali. Vol 3 (2). Hlm 159 - 180

Suharyanto, dkk. 2016. Faktor Penentu Alih Fungsi Lahan Sawah di Tingkat Rumah Tangga Petani dan Wilayah di Provinsi Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 19 (1). Hlm 9 – 22