Sad Ripu Plus SATU

Belakangan ini Bali mulai dibelit berbagai masalah kehidupan, khususnya spiritual,sosial, budaya,lingkungan hidup, ekonomi dan keamanan yang merusak citra Bali, yang menimbulkan dampak langsung terhadap kehidupan pariwisata di Bali, sebagai salah satu penopang utama perkonomian di Bali dan di Indonesia. Masalah-masalah tersebut menonjol dalam sektor lingkungan, pemukiman kumuh,kesemrawutan mobilitas orang dan kendaraan, keterpusatan kegiatan, dan kepadatan penduduk pada zona-zona tertentu terutama di zona bisnis dan pembangunan.Dan hakikat permasalahan tersebut tidak terlepas dari sikap masyarakat Bali sendiri.

Zaman sekarang manusia memang sudah sangat cerdik dalam melakukan usaha demi kebutuhan dan keperluan hidupnya. Terkadang manusia melakukan apapun demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Mereka menghalalkan segala cara tanpa memikirkan akibatnya nanti, Tidak jarang usaha yang dilakukan itu sudah melanggar agama. Dan semua ini kembali lagi ke dalam diri manusia tersebut, sebagaiamana tercantum dalam Kekawin Ramayana Bab 1 (Wirama Sronca) bait ke-4 sebagai berikut.

“Ragadi musuh mapareng

  Rihati ya tongwanya tan madoh riawak

  Yeka tan hana ri sira

  Prawira wihikan sireng niti” (Kekawin Ramayana 1.4)

Artinya

“Keinginan (kama) dan semua jenis musuh yang terdekat dalam hati (pikiran) tepatnya tidak jauh dari badan sendiri”

Manusia harus menghadapi berbagai tantangan hidup di dunia ini, dan juga terdapat musuh-musuh yang harus dihindari oleh setiap insan manusia Musuh itu terlihat seperti sahabat jika dibungkus oleh kemunafikan dan pembenaran, sehingga terkesan orang tersebut adalah orang yang baik. Namun, sebenarnya musuh manusia berada sangatlah dekat dengan dirinya. Dalam ajaran agama Hindu, musuh dalam diri ini disebut Sad Ripu.

Sad Ripu berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musuh. Jadi secara harfiah Sad Ripu berarti enam musuh yang berada dalam diri manusia.  Adapun bagian-bagian dari Sad Ripu adalah kama (nafsu), lobha (rakus), krodha (kemarahan), moha (kebingungan),mada (mabuk), dan matsarya (dengki, iri hati). Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita sebagai umat hindu telah di ajarkan tentang Sad Ripu dan cara mengendalikannya.

Salah satu contoh dampak dari sad ripu yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, dan sering kita lihat adalah kasus korupsi. Korupsi ini tergolong ke bagian sad ripu yaitu lobha atau kerakusan manusia. Tahun 2017 ini dihebohkan dengan mega proyek e-KTP. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis NIK (e-KTP), Berdasarkan data yang dihimpun detik.com, Kamis (9/3/2017), kasus e-KTP telah bergulir selama hampir 6 tahun menyebabkan kerugian negara mencapai dua triliun rupiah.

undefined

Dalam hal ini manusia seharusnya sudah memahami ajaran agamanya dan mengimplementasikannya, bukan sekedar tahu ajarannya namun juga mampu mengamalkan dengan baik. Salah satunya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan sadar bahwa ia adalah umat beragama, dalam hal ini yang terpenting adalah niat kita untuk melaksanakan ajaran tersebut. Satu hal yang wajib kita ingat adalah "Pahami falsafah karma yang mendalam" (Sr Janaki) apa yang kita tabur, itu yang akan kita tuai. Belajar menabung dalam rekening karna baik, laksanakan ajarannya dan kuatkan iman.

Bagi umat Hindu setiap hal atau setiap masalah selalu ditangani dan dicari jalan keluarnya, baik secara sekala maupun secara niskala.Seperti halnya sifat dari sad ripu ini, orang-orang di Bali khususnya umat Hindu, akan diupacarai dengan upacara mepandes ketika menginjak usia remaja. Upacara mepandes atau sering disebut upacara potong gigi ini dilaksanakan dengan harapan agar dapat menetralisir sifat buruk dari Sad Ripu yang ada dalam diri manusia

Diera globalisasi ini tidak hanya teknologi, ekonomi, pembangunan yang berkembang pesat di Bali, tetapi manusianya pula,sehingga mengakibatkan musuh dalam diri juga turut bertambah dan berkembang atas tindakan yang dilakukan. Sebelum mengulas lebih dalam mengenai musuh dalam diri kita tersebut, pernahkah anda merenungkan tindakan yang dilakukan,tentang:

Mengapa kita membeli Hp yang jauh lebih mahal dari keperluan kita?

Mengapa harus membeli mobil yang mahal padahal itu jauh daripada kebutuhan kita?

Mengapa semakin sedikit orang yang menjadi petani?

Mengapa pendatang selalu semakin banyak ke Bali?

Mengapa banyak lahan yang seharusnya menjadi aset perekonomian pariwisata di Bali justru di alih fungsikan menjadi bangunan-banguan beton yang tinggi?

Jawabnya adalah “Demi Gengsi”, satu kata yang cukup membuat harga diri kita terusik. Sad ripu di era kekinian, kita semua tentu sudah tidak awam lagi dengan istilah ini dan mungkin tanpa kita sadari sudah sering melakukannya. Kita gengsi kalau tak punya baju bagus,mobil mewah,rumah besar, atau HP terbaru. Bahkan kita gengsi untuk meminta maaf meskipun kita tau kita salah atau karena usia kita lebih tua. Manusia ingin dihargai, ini bagus. Sayangnya kita sering kebablasan, kita haus akan kebanggaan diri yang tidak ada habis-habisnya. Begitu juga yang terjadi dengan masyarakat Bali saat ini.

Permasalahan lainnya yang kita sering terjadi yaitu mendebatkan para kaum pendatang di Bali. Dimana sering dikatakan menyebabkan kesemrawutan lingkungan, pemukiman kumuh, berjualan tidak pada tempatnya, ada pula yang mengatakan berbisnis secara melanggar hukum-hukum lokal dan masalah-masalah lainnya. Tetapi seperti yang tejadi bulan lalu, saat lebaran banyak masyarakat Bali yang mengeluh karena tidak ada pedagang bakso, tukang fotocopy, pedagang martabak dan masih banyak lagi. Melihat hal itu sebenarnya kitalah yang menuntut mereka untuk hidup di Bali.

Masyarakat Bali cenderung gengsi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti jualan bakso, laundry keliling, bisnis kecil-kecilan dan lain-lain. Bahkan ada beberapa yang memilih untuk menggangur atau bagi yang “berduit” lebih memilih menyogok untuk mendapat pekerjaan daripada menggunakan uang tersebut untuk membuat usaha-usaha yang mendukung perekonomian di Bali. Seperti hal kata-kata orang tua di Bali “Yen mekejang dot dadi dokter, arsitek, pejabat, nyen kal dadi dagang canang?”  yang artinya jika semua hanya ingin menjadi dokter, arsitek, atau pejabat, nanti siapa yang akan menjadi penjual canang(sarana umat Hindu untuk pemujaan). Peribahasa biasanya sering dilontarkan oleh orang-orang yang berpikiran sederhana tetapi ada maksud tersembunyi jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda. Kalimat ini mengajarkan agar kita para generasi muda untuk tidak hanya berpikiran bahwa dengan bisa mencapai gelar dokter, pejabat, arsitek kita bisa sukses tetapi jika kita tekun kita juga bisa sukses dengan hal-hal yang kecil. Contohnya tidak jauh yaitu Ajik Cok, pemilik Krisna Oleh-Oleh Khas Bali pengusaha asal Bali yang memulai usaha konfeksi dan sekarang bisa menjadi miliarder. Dan masih banyak lagi orang-orang sukses yang berasal dari usaha-usaha kecil.

Tentu jika orang Bali tidak gengsi dan seandainya gengsi bisa dihilangkan asalkan pekerjaan tersebut halal dan tidak melanggar hukum pasti jumlah pengangguran bisa ditekan. Masih banyak orang-orang disekeliling kita setelah selesai sekolah atau kuliah bekerja di tempat yang sesuai jurusannya, dengan kata lain menjadi karyawan disebuah perusahaan atau pegawai negeri. Harus diakui gengsi itu memberi rasa nikmat pada ego kita. Banyak orang yang karena memakan gengsi hidup dalam sebuah dilema, gonta-ganti HP, punya barang bagus, tetapi ujung-ujungnya hutang yang besar dan menggunung.

            Selain permasalahan diatas gengsi juga menyebabkan permasalahan bagi pembangunan di Bali. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menunjukkan terjadinya alih fungsi lahan sawah sepanjang tahun 2000-2012. Pada tahun 2000 luas sawah di Provinsi Bali adalah 85.776 hektar menjadi 81.625 hektar pada tahun 2012, yang berarti sekitar 4.151 hektar lahan sawah beralih fungsi menjadi non sawah baik menjadi perumahan bertingkat atau villa untuk memenuhi gengsi masyarakat. Pernahkah anda melihat ketika ada membangun rumah yang tinggi,beberapa bulan kemudian rumah disekitarnya akan ikut direnovasi bahkan bisa lebih tinggi dari sebelahnya dan begitu seterusnya. Bayangkan jika masyarakat masih terus merasa untuk gengsi dan lebih mementingkan bangunan yang tinggi daripada kenyamanan kita untuk tinggal dirumah. Pemandangan Bali yang tertutupi bangunan-bangunan tinggi dan luas tersebut bahkan itu juga berpengaruh dengan identitas Bali itu sendiri yang dikenal dngan keindahan alamnya. Banyak orang salah kaprah. Gengsi diawali dari kebanggaan yang berlebihan atas apa yang dimilikinya dan dirasa sempurna daripada orang lain. Sehingga dapat memperkecil kepekaan sosial.

undefined

Contoh lain adalah berkurangnya minat khususnya para remaja untuk berjunjung ke museum atau tempat bersejarah yang dianggap “ndeso” daripada nongkrong di kedai kopi. Starbuck di negara asalnya, adalah kedai kopi yang menawarkan suasana dan nikmatnya cita rasa kopi. Jadi, para peminum bisa menikmati kenyamanan saat duduk dan bukan hanya sekedar rasa kopinya. Di Bali, sebagian dari  nilai  ini mulai bergeser. Ini terjadi, karena sebagian konsumen yang pergi ke kedai kopi ini memang hanya ingin mengejar status belaka. Demikian juga, banyak kafe-kafe yang berkelas, sengaja membiarkan kafenya terbuka dan mudah dilihat orang. Karena gengsi, maka banyak konsumen yang tertarik dan mereka sudah mendapatkan kepuasannya bila status mereka terangkat saat memasuki kafe-kafe yang mahal ini. Padahal, mereka bisa mendapatkan dengan harga yang jauh lebih murah dan dengan rasa yang tidak kalah. Mereka membeli gengsi, bukan membeli makanan dan minumannya.

Apa yang menyebabkan gengsi ini? Pertama sudah pasti karena budaya dan norma kita. Paling tidak ada ketiga budaya dan norma yang membuat gengsi ini menjadi kebutuhan. Pertama, konsumen Indonesia menyukai untuk bersosialisasi. Ini kemudian mendorong seseorang untuk pamer atau tergoda untuk saling pamer. Kedua, kita masih menganut budaya feodal. Inilah yang menciptakan kelas-kelas sosial. Akhirnya, terjadi pemberontakan untuk cepat pindah kelas. Walau belum sesungguhnya pindah kelas, tetapi bisa dimulai dengan pamer terlebih dahulu. Ketiga, masyarakat kita mengukur kesuksesan adalah dengan materi dan jabatan. Akhirnya, banyak di antara kita ingin menunjukkan kesuksesan dengan cara memperlihatkan banyaknya materi yang dimiliki.

undefined

Cobalah merenung dan berfikir apalah gunanya dihargai orang hanya dengan menunjukkan hal semacam itu. Saya lebih bangga jika saya bisa banyak membantu orang tapi orang itu tidak tahu, dibanding berbuat sedikit tapi dibesar-besarkan, hal itu hanya memperlihatkan ketiadaan saja, hanya menghasilkan kesombongan diri, tidak perlu gengsi. Benarkah Orang yang mengejar gengsi itu sebenarnya sedang kehausan untuk dihargai? Karena bisa jadi, penghargaan yang datang dari diri sendiri tidaklah mencukupi untuk memuaskan batin.

Musuh manusia yaitu gengsi memang tidak mudah untuk dikendalikan. Gengsi akan terus ada selama kita tidak menyadarkan diri sendiri dengan observasi bahwa manusia itu sama. Diciptakan dengan kulit yang bersih dan sewaktu-waktu bisa kotor oleh tanah. Untuk itu di era globalisasi ini, kita selaku masyarakat Bali yang memiliki banyak warisan budaya, tradisi, alam dan wajib untuk mengendalikan sad ripu serta harus mengendalikan gengsi dalam diri. Dibawah ini, merupakan beberpa tips yang dapat diterapkan dala  mengendalikan gengsi:

  • Selalu bersyukur                                                                                                                                                         Nikmati dan syukuri saja apa yang anda punyai, dan yang tidak anda punyai.
  • Percaya bahwa kesuksesan berawal dari hal-hal kecil                                                                                                 Untuk sukses harus diawali dengan pejuangan hal-hal kecil seperti banyak kisah-kisah para orang sukses diluar sana. Karena kesuksesan yang besar berasal dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan maksimal dan sepenuh hati.
  • Menjadi rendah hati & hidup sederhana                                                                                                                       Jika ingin mendapat penilaian positif dari orang lain cobalah untuk selalu rendah diri dan hidup sederhana.
  • Jadilah diri anda sendiri,                                                                                                                                           Ini yang paling penting, Siapa pun diri Anda, terima. Berbeda itu indah dan menarik. Jangan biarkan orang lain mengubah Anda!

Seperti halnya pribahasa padi yang makin berisi itu seharusnya makin merunduk. Tetapi isi padi masyrakat yang terlalu mementingkan gengsi cuma seringan kapas. Jadi masihkah kita perlu gengsi dalam hidup? Coba tanyakan ke hati dan akal anda..

Reference :