Resistensi (Inggris: Resistance) berasal dari kata resist + ance, adalah menunjukkan pada posisi, sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang, atau upaya oposisi. Pada umumnya sifat ini tidak berdasarkan atau merujuk pada paham tertentu.

Opini (Inggris: Opinion) adalah pendapat, ide atau pikiran untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideology, akan tetapi tidak bersikap objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian. Dapat pula merupakan sebuah pernyataan tentang sesuatu yang berlaku pada masa depan ; dan kebenaran atau kesalahannya tidak dalpat langsung ditentukan.

* * *

undefined

Menjelang pemilihan presiden ini, saya semakin terdidik untuk dapat memilah fakta dan opini dalam mengkonsumsi berita dari media, baik media cetak, layar kaca/LCD/LED, maupun dalam dunia maya. Pilihan berita sangat beragam, pun sang penyaji berita.

Tetapi entah kenapa sejak pemilu kemarin, sinisme mengkonsumsi informasi meruncing di benak saya.

Setiap menonton berita di tv, saya selalu  berpikir bahwa berita yang tayang di stasiun tv tertentu adalah berita yang 98% berisi opini, 2% fakta, tujuannya? Menyetir opini bawah sadar penikmat berita agar tergiring tajam kearah sang empunya media.

Yak benar, sudah terlintas di benak anda bukan. Siapa yang saya maksud.

Hal tersebut terjadi juga di media lain selain tv. Hal inilah yang jujur saja membuat saya resah,

Politisi memonopoli media massa, dengan manuver super profit dari korporasi ke totalitas pasar. Menanam paksa pikiran kita dengan apa yang lambat laun mereka sebut dogma.

Bukan hanya agama, bahkan partai maupun calon presiden layak diagungkan, sejajar dengan Tuhan. Kleng.

Kredibel – Independen – Netral , tiga kata usang bagai make up, yang digunakan mempercantik diri namun menutup rapat nurani.

Maka sepertinya anda sekarang dapat memahami mengapa saya memberi nama tulisan ini seperti di atas.

Sampai kebetulan saya membaca twit dari akun twitter seorang pelaku media, Arif Zulkifli, seorang Redaktur Eksekutif majalah TEMPO, yang membahas tentang asas netral dan sikap independen dari sebuah media. Karena memang di momen – momen seperti ini media yang independen maupun netral secara benar menurut saya cukup sulit untuk ditemukan, setidaknya pengecualian bagi TEMPO, pembredelan yang dilakukan sejak jaman presiden favorit saya pun seakan menjadi pondasi kokoh bagi TEMPO dalam bersikap di era krisis moral seperti saat ini.

Agaknya, bahkan pelaku media (yang bertanggung jawab), dapat merasakan keresahan publik, bahwa publik juga menyadari jika media saat ini semakin mengambil sikap berada di kubu tertentu, namun dengan cara yang kurang elok dalam pandangan public. Maka saya rasa twit dari bung Arif berikut akan dapat setidaknya menjawab apa yang selama ini menjadi FAQ dari publik ke media.

Saya memang meng – “copy – paste” twit berikut dari empunya, @arifz_tempo ; perubahan yang saya lakukan hanya melengkapi kata di bagian twit yang disingkat, sehingga saya rasa akan lebih mudah membacanya di sini. Berikut isinya :

  • Beberapa tweeps bertanya tentang azas netralitas media, saya akan jawab berikut ini #netral
  • Menurut saya media harus independen dan independen berbeda dgn #netral
  • Independen artinya kebijakan redaksi media ditentukan oleh media itu sendiri bukan orang lain #netral
  • Media harus independen dari kepentingan pemerintah, modal, bahkan pemilik media sendiri #netral
  • Karenanya penentu kebijakan media adalah rapat redaksi #netral
  • Pemilik media atau Pemred misalnya bisa saja mengusulkan berita tapi usulan itu bukan fatwa. Jika tak layak boleh ditolak #netral
  • #netral artinya tak memihak. Meski terkesan mulia, prinsip ini sebenarnya problematik
  • Misalnya seorang ibu tua mencuri biji coklat di kebun. ia ditangkap, diadili dan dihukum 8 bulan penjara #netral
  • Dengan asumsi pengadilannya fair, tak ada yg salah dengan vonis itu. Berpegang prinsip #netral, media memuji vonis hakim
  • Tapi dalam kasus ini media selayaknya memihak si ibu. Dengan kata lain media tak #netral
  • Media misalnya kemudian menulis profil si ibu, alasan ia mencuri dan perilaku kejam si pemilik kebun #netral
  • Media tak #netral dgn alasan kemanusiaan. Di lain pihak media tetap independen karena ia tak disuap oleh si ibu miskin
  • Meski tak #netral media wajib patuhi prinsip kerja jurnalistik (cek ricek, verifikasi, konfirmasi, cover all side)
  • Dasar keberpihakan media adalah value: kemanusiaan, hak hidup manusia, pluralisme dll #netral
  • Prinsip keberpihakan itu bisa diterapkan dalam pelbagai bidang termasuk pemilu #netral
  • Skandal atau masa silam kandidat yang buruk misalnya selayaknya tak ditutupi hanya karena media takut dituding tak #netral
  • Juga plus minus kandidat termasuk implikasi jika kandidat tertentu terpilih #netral
  • Proporsi pemberitaan masing - masing kandidat tentu layak dipertimbangkan meski bukan segala2nya #netral
  • Mengagung - agungkan proporsi bisa membuat media mengada - ada #netral
  • Misalnya krn kandidat X ditulis kejelekan atau kebaikannya tiga kali maka kandidat Y juga harus tiga kali #netral
  • Yg penting semua yg ditulis adalah fakta yg bisa diuji kebenarannya bukan fiksi apalagi fitnah #netral
  • Pada akhirnya jurnalisme adalah ikhtiar, sesuatu yg terbuka untuk benar atau salah dan media sepatutnya siap dikoreksi. Salam #netral

Singkat, padat, jelas. Saya yakin anda juga setuju jika apa yang dikatakan bung Arif tersebut adalah hal dasar yang seharusnya media lakukan di saat genting seperti ini.

Masyarakat yang masih merasa bingung menentukan pilihan sudah seharusnya diberikan banyak informasi untuk dapat mengakhiri resah dengan pilihan berita yang substansinya fakta, bukan opini. Impresi kultural, bukan retorika delusional. Tabik.