Judul              : Pandora Bali : Refleksi di balik Gemerlap Turisme

Pengarang      : Nyoman Sukma Arida

Penerbit          : Pustaka Larasan, Denpasar

Tebal              : xix + 166 halaman

Cetakan          : 2012

 

Kotak Pandora adalah sebuah kotak yang jika dibuka akan memunculkan malapetaka di dunia, rasa sakit, keserakahan, kesengsaraan dan sebagainya. Buku ini memang menjadi sarana untuk menyuarakan jeritan hati kesakitan Pulau Bali ditengah-tengah hingar bingar dunia pariwisata yang keliatannya baik-baik saja. Ditulis oleh Nyoman Sukma Arida yang saat ini menjadi staf pengajar di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana dan sedang menempuh studi S-3 ilmu pariwisata di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Buku ini berisikan kumpulan tulisan Bli Suksma yang lugas, jujur dan apa adanya. Bagi saya, buku setebal 166 halaman ini sangat menarik. Bahasa yang ringan disertai ilustrasi-ilustrasi yang mencerminkan potret realitas kehidupan masyarakat sosial di Bali membuat nyaman. Seakan-akan merasakan Bli Sukma bercerita langsung dengan kita di meja warung kopi dengan santai tentang pengalaman dan kegelisahannya melihat kondisi Bali saat ini. Inilah sebuah buku ilmiah populer yang tidak membuat pembacanya mengernyitkan dahi. Buku ini kaya akan curahan hati kegelisahan tentang kekeliruan dan kejanggalan yang terjadi di Pulau yang katanya Pulau Surga. Bli Sukma melihat dari sisi yang berbeda, dari sudut yang hampir jarang dipikirkan orang Bali itu sendiri. Bli Sukma yang pernah hidup beberapa waktu di luar Bali, yaitu sejak kuliah S-1 di UGM, Yogyakarta, kembali pulang ke Bali dengan membawa "mata" yang baru. Mata yang lebih tajam dan kritis.

Tiap bagian di buku ini menceritakan tentang ilustrasi yang sederhana penuh makna. Bli Sukma menggambarkan setiap permasalahan dengan cerita-cerita dan tokoh yang sangat “Bali”. Misalnya, tokoh Gusti Ayu Cempaka yang bersikeras melangsungkan upacara pelebonan yang meriah dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, yang pada akhirnya terpaksa berhutang meminjam uang kesana-kemari untuk membuat upacara yang uttamaning utama (upacara agama yang tingkatannya paling tinggi) hanya demi gengsi semata. Ada lagi I Lugra, seorang tokoh yang diceritakan berpenghasilan pas-pasan yang wajib mengeluarkan iuran untuk upacara di Pura-pura, upacara agama di rumah, dan belum lagi biaya hidup sehari-hari. Nah, ini sangat menarik sekali, Bli Sukma berhasil membuat perincian yang sistematis dan sederhana terkait dengan pengeluaran biaya yang harus dikeluarkan orang Bali pada umumnya dalam melakukan kegiatan adat-istiadat. Selain itu, juga dilengkapi dengan perhitungan waktu orang Bali yang banyak sekali “terbuang” untuk melangsungkan kegiatan adat dan keagamaan. Bli Sukma menampilkannya dengan tabel yang sangat mudah dicerna.

Bli Sukma bercerita mengenai kejadian-kejadian yang sangat dekat dan sangat sering kita lihat, misalnya perilaku anak muda yang memilih berpacaran di pantai saat hari raya Siwalatri dan kegiatan bazzar yang diselenggarakan sebagai malam pemungutan sumbangan, malah dipakai sebagai ajang pesta minum-minuman keras. Banyak analisis yang menarik yang ditangkap oleh Bli Sukma yang patut direnungkan bagi para generasi muda Bali.

Pada akhirnya, buku ini cocok dibaca semua orang untuk lebih membuka pikiran dan kritis akan kejadian yang sangat dekat terjadi di sekitar kita. Bahwa, apa yang kita lihat dan selama ini pikir baik-baik saja, belum tentu benar sebaik itu.