REMAJA “NOMOPHOBIA”: MENDEKATKAN YANG JAUH DAN MENJAUHKAN YANG DEKAT
Ni Putu Laksmi Mutiara Prameswari

 
“Zaman dulu ketika orang-orang pergi ke luar rumah lupa membawa dompetnya, mereka pasti memiliki perasaan cemas, panik, atau merasa kurang. Namun sekarang, jika lupa membawa dompet rasanya tidak terlalu menjadi beban. Lain hal ketika tidak membawa smartphone, bisa membuat panik dan menjadi beban.”
Zaman “kekinian” di era globalisasi menawarkan berbagai hal untuk menunjang berbagai kebutuhan hidup, seperti misalnya membuat kebutuhan terpenuhi secara instan. Kebutuhan untuk berinteraksi sosial menjadi alasan utama untuk melakukan proses komunikasi. Proses interaksi sosial saat ini sangat didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat. Penggunaan gadget dapat mengubah makna dari “kesendirian”. Kesendirian bagi pengguna gadget dapat menjadi suatu suasana yang lebih ramai dan hidup. Gadget adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yang artinya perangkat elektronik kecil yang memiliki fungsi khusus. Gadget merupakan sebuah inovasi dari teknologi terbaru dengan kemampuan yang lebih baik dan fitur terbaru yang memiliki tujuan maupun fungsi lebih praktis dan juga lebih berguna. Dengan satu gadget yang canggih dapat digunakan untuk mendengarkan musik, bermain games, internet, foto-foto, menonton video, dan lain-lain. Meskipun berada dalam satu ruangan tanpa ada apapun. Gadget  masa kini menawarkan berbagai fitur menarik bagi penggunanya. Perkembangan gadget dewasa ini sangat luar biasa, penggunaannya menghilangkan batas usia pemakainya. Gadget tidak lagi menjadi barang tersier, bahkan untuk sebagaian orang telah menjadi kebutuhan primer. Bahkan ketika berkumpul bersama temanteman, tidak menjamin berkurangnya intensitas penggunaan gadget. Hal itu menyebabkan penggunaan gadget dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat sehingga ada kesenjangan dalam berinteraksi sosial.  

Gadget merupakan media yang dipakai sebagai alat komunikasi modern. Gadget semakin mempermudah kegiatan komunikasi manusia. Kini kegiatan komunikasi telah berkembang semakin lebih maju dengan munculnya  gadget. Gadget masuk dikalangan remaja dengan perlahan dan tanpa disadari telah menjadi korban perkembangan gadget. Gadget bukan hanya sebagai wahana atau media komunikasi tetapi dijadikan sebagai ajang bergengsi untuk menuntut semua remaja untuk selalu mengikuti trend  baru yang menyebabkan kesenjangan sosial.  
Remaja cenderung memiliki keinginan untuk tampil menarik dan berbeda.  Para remaja juga tidak segan-segan untuk membeli barang yang menarik dan mengikuti trend yang sedang berlaku, karena jika tidak mereka akan dianggap tidak trendi. Para remaja cenderung membeli barang yang diinginkan bukan yang dibutuhkan, secara berlebihan dan tidak wajar.
Gadget  masa kini yang paling banyak digandrungi para remaja adalah ponsel cerdas atau yang lebih dikenal dengan smartphone. Smartphone adalah mobile phone yang memiliki fungsi seperti sistem komputerisasi, pengiriman pesan (email), akses internet dan memiliki berbagai aplikasi sebagai sarana pencarian informasi seperti kesehatan, olahraga, uang dan berbagai macam topik. Atau bila disimpulkan smartphone layaknya komputer namun dalam ukuran kecil.
Bagi kalangan remaja, smartphone sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Bahkan tidak sedikit remaja yang sampai ketergantungan terhadap smartphone. Kemajuan teknologi yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan arus informasi membuat semakin banyak digunakannya teknologi komunikasi. Smartphone merupakan salah satu dari teknologi komunikasi yang membantu manusia untuk mendapatkan informasi dari berbagai sudut dunia  secara cepat. Di samping untuk membantu mencari informasi, smartphone juga berfungsi menyebarkan informasi, sehingga dengan berkembangnya kemajuan teknologi komunikasi, berkembang pula penggunaan smartphone. Perkembangan smartphone saat ini membuat hidup menjadi lebih produktif.  

Remaja dan orang dewasa di kisaran umur 18-29 tahun adalah user yang paling kecanduan dengan smartphone. Pasalnya, mereka sangat susah untuk menahan diri supaya tidak memeriksa ponsel. Hal ini dapat dibuktikan melalui data yang menyebutkan bahwa 22 persen di antara mereka pun kedapatan mengecek ponsel setiap beberapa menit sekali. Sementara 51 persen dari mereka memeriksa ponselnya selama beberapa kali dalam kurun waktu satu jam. Presentase itu adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan responden di kelompok usia lain. Sementara itu, bisa ditebak, user berusia 65 tahun ke atas ialah pengguna smartphone yang paling pasif .
Pada kenyataannya, penggunaan smartphone memang sangat mempengaruhi perilaku komunikasi individu. Kini smartphone sudah menjadi media komunikasi pokok. Dampak positif penggunaan smartphone dapat mempermudah komunikasi, mengembangkan kehidupan sosial, dan akses informasi yang cepat. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan kenyataan di lapangan. Semua orang pasti tidak bisa lepas dari smartphone, baik dalam berkomunikasi ataupun sekadar mengunggah di media sosial. Hal tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan smartphone berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan interaksi sosial individu tersebut.  


Remaja “Nomophobia”
Perkembangan smartphone yang semakin pesat ternyata tidak hanya menimbulkan efek positif untuk masyarakat. Salah satu dampak negatif terhadap kesehatan dalam penggunaan smartphone adalah nomophobia. Nomophobia adalah jenis fobia yang ditandai ketakutan berlebihan jika seseorang kehilangan ponselnya. Orang yang hidup dalam kekhawatiran dan selalu was-was dalam meletakkan ponselnya, sehingga selalu membawa kemanapun pergi. Penderita nomophobia bahkan dapat memeriksa ponselnya hingga 34 kali sehari dan sering membawanya hingga ke toilet. Ketakutan tersebut termasuk dalam hal kehabisan baterai, melewatkan telepon atau sms, dan melewatkan informasi penting dari jejaring sosial.


Sebuah organisasi riset di Inggris yang meneliti kecemasan yang diderita oleh pengguna smartphone menemukan bahwa hampir 53% pengguna smartphone di Inggris cenderung menjadi cemas ketika mereka kehilangan smartphone mereka, kehabisan baterai, atau tidak memiliki jangkauan jaringan. Sekelompok peneliti psikiatri di Brazil telah menetapkan gangguan baru yang disebut nomophobia atau merupakan singkatan dari no-mobile phone phobia yang menggambarkan ketakutan masyarakat pada perangkat telepon genggam. Nomophobia dianggap  sebagai gangguan yang modern dan baru-baru ini telah digunakan untuk menggambarkan ketidaknyamanan atau kecemasan yang disebabkan oleh tidak berada dekat dengan perangkat komunikasi virtual seperti telepon genggam.
Gangguan nomophobia meningkat secara signifikan, berdasarkan survey yang dilakukan oleh SecurEnvoy (2012), yaitu dari 53% dari tahun 2008 menjadi 66% ini dilakukan melibatkan 1000 orang sebagai partisipan. Lebih lanjut survey menemukan bahwa nomophobia terbanyak berada dalam kategori dengan rentang usia 18-24 tahun (77%) dan disusul oleh responden berusia 25-34 tahun (68%).
Berdasarkan rentang usianya, remaja diketahui paling banyak mengeluhkan nomophobia. Salah satu karakteristik remaja sebagai masa mencari identitas, pada usia sekitar 10-20 tahun remaja mengalami tahap dimana pencarian identitas dan mengalami kebingungan akan identitasnya, bagaimana mereka beberapa tahun yang akan datang dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya. Remaja pada 20-30 tahun menghadapi tugas perkembangan membentuk relasi yang akrab dengan orang lain atau teman sebaya. Remaja cenderung ingin menjadi diri sendiri seperti orang lain harapkan.
Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat
Adanya tanda-tanda atau gejala nomophobia antara lain: kecemasan, sering memeriksa ponsel atau mengecek ponsel,  tidak sanggup mematikan atau menonaktifkan ponsel, mengisi ulang baterai dalam jangka waktu yang berdekatkan, rasa takut berlebihan jika ponsel jauh dari jangkauan, tidak bisa meninggalkan ponsel bahkan saat ke kamar mandi, merasa seolah-olah ponsel di

dalam saku bergetar padahal sebenarnya tidak, Menghabiskan banyak waktu dengan smartphone dibanding berinteraksi dengan orang lain secara pribadi.
Lemahnya interaksi sosial langsung, membuat orang-orang lupa memberikan kehangatan dan cinta, terutama ketika ada yang sedang sakit. Contohnya, ketika ada seseorang yang sakit tidak langsung dijenguk, melainkan hanya memberikan ucapan di media sosial atau melalui pesan singkat. Kebiasaan silaturahmi menurun, karena sudah lebih sering berinteraksi media sosial via smartphone. Interaksi langsung seperti memberikan senyuman atau sentuhan, justru bisa meningkatkan semangat dan mempercepat kesembuhan orang yang sakit. Contoh lainnya adalah saat berpergian dan berkumpul bersama, orang-orang akan sibuk dengan smartphone masing-masing. Seharusnya, lakukanlah silaturahmi sebagai interaksi sosial secara langsung.
Penggunaan gadget dapat mengubah makna dari “kesendirian”. Kesendirian itu dapat menjadi suatu suasana yang lebih ramai dan hidup dalam berkomunikasi. Ketika berkomunikasi dengan teman-teman yang jauh, terasa lebih dekat karena adanya fitur chat dan video call. Namun, kepada teman-teman yang berdekatan terasa lebih jauh karena asyik berkomunikasi dengan teman yang jauh menggunakan smartphone. Hal ini sangat sering dijumpai pada remaja.  
 Nomophobia, jika tidak segera diatasi akan menjadikan kecanduan bagi remaja. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi nomophobia adalah:
1. Kunci smartphone dengan password yang panjang dan sulit.  Ketidaknyamanan membuka smartphone yang memiliki password panjang membuat kita enggan menggunakan smartphone tanpa berfikir. Kita akan menggunakannya untuk hal-hal yang benar-benar perlu saja. 

2. Hapus semua aplikasi yang digunakan.  Dengan menghapus semua aplikasi yang tidak kita gunakan akan mengurangi waktu untuk mengeksplorasi aplikasi-aplikasi tersebut. Menghapus aplikasi yang tidak digunakan atau yang jarang digunakan juga akan memberi ruang lebih pada penyimpanan smartphone kita, dan meningkatkan masa pakai dan performa baterai smartphone kita. 

3. Atur batas spesifik penggunaan smartphone.  Kemungkinan batas-batas yang bisa kita gunakan adalah: tidak boleh ada smartphone saat sedang makan, mandi, tidak boleh menggunakan smartphone selama bercakap-cakap dengan seseorang, tidak boleh ada smartphone di kamar tidur. 

4. Mematikan notifikasi.  Semakin sering kita mengecek smartphone kita, semakin sulit kebiasaan tersebut dihilangkan. Jadi matikanlah notifikasi-notifikasi pada aplikasi tersebut, maka kita akan merasakan kurangnya dorongan menggunakan smartphone.

5.  Mute grup chat.  Mute adalah sebuah fitur pada messenger service untuk menyembunyikan atau menghilangkan notifikasi pesan yang masuk. Secara spesifik fitur ini digunakan untuk setiap percakapan secara terpisah. Berbeda dengan fitur menonaktifkan  notifikasi secara keseluruhan melalui menu setting (setelan telepon). 

6.  Balas pesan hanya tiga kali sehari.  Lebih efisien jika membalas pesan sekaligus daripada satu persatu di waktu yang berbeda-beda. Namun, utamakan pesan dari keluarga dan orang-orang dengan urgensi tinggi. 

7. Sebelum memulai pekerjaan, letakkan ponsel kita paling tidak 3 meter jauhnya dari kita.  Bekerja dengan fokus, letakan ponsel jauh dari kita sehingga kita bisa bekerja dengan lebih cepat dan lebih baik. 

8. Ketika kita merasakan keingian yang sangat untuk mengecek smartphone kita, tutup mata dan tarik nafas yang dalam.  Dorongan untuk mengecek smartphone layaknya sebuah gelombang. Jika kita bisa bertahan beberapa saat saja, dorongan tersebut akan lewat begitu saja dan kita akan kembali bekerja. 

9.  Mematikan smartphone kita sebelum tidur.  Matikan smartphone kita sebelum berangkat tidur, dan tinggalkan di luar kamar jika ingin mengisi baterai.  

Remaja mungkin tidak menyadari bahwa kebiasaan menggunakan smartphone telah membuat jarak antara remaja dengan lingkungan sekitarnya. Remaja jadi canggung ketika berbincang dengan orang lain, yang akhirnya berdampak pada rasa apatis dan tidak mau tahu. Agar ini tidak berlanjut, maka tidak ada cara lain selain meletakan smartphone kita di dalam laci dan menceburkan diri dalam pergaulan. Perbanyak aktivitas yang melibatkan diri untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga kita akan menggunakan smartphone ketika ada hal yang penting.  
Smartphone pada dasarnya diciptakan untuk membuat hidup kita lebih produktif. Tetapi ketika kita terlena pada segala kemudahan yang ditawarkan dan menjadi kecanduan smartphone (nomophobia), kita akan menjadi budak dari smartphone kita sendiri. Hal ini berdampak buruk bagi hubungan kita dengan orang lain, pekerjaan kita, dan hidup kita.  
Sudah seharusnya remaja masa kini menghilangkan ketergantungan yang berlebihan pada smartphone. Hilangkan nomophobia dalam kepala kita. Jangan sampai nomophobia dapat menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh orang-orang disekeliling kita. Percayalah, dunia sedang menunggu dan membutuhkan kontribusi aktif dari kalian, para remaja.  

 

DAFTAR PUSTAKA  
1. Ediana, LT. “Segmentasi mahasiswa progam studi ilmu komunikasi universitas atma jaya (UAJY) dalam menggunakan gadget”. Skripsi. Yogyakarta. Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014.

2. Calista, A., Suparna, G. Pengaruh motivasi rasional, motivasi emosional dan harga diri terhadap keputusan pembelian smartphone pada mahasiswa universitas udayana dimoderasi oleh gender. E-jurnal manajemen unud. 2015; 4(5):1322-1335.

3. Brusco, JM. Using smartphone application in perioperative practice. AORN J. 2010; 92(5):503-508.

4. Yuniati Y., Yuningsih A., Nurhamawati. Konsep diri dalam komunikasi sosial melalui “smartphone”. J. Mimbar. 2015; 31(2):439450.

5. Noviadhista. User berusia 18-29 tahun paling susah jauh dari smartphone [internet]. Jakarta: techno.id; 2015; [diakses pada 3 April 2016] Dari: http://m.techno.id/tech-news/user-berusia-18-29-tahunpaling-kecanduan-smartphone-150727m.html 

6. Securenvoy. 66% of the population suffer from Nomophobia the fear of being without their phone [internet]. United Kingdom: Securenvoy; 2012; [diakses pada 1 April 2016]. Dari: https://www.securenvoy.com/blog/2012/02/16/66-of-the-populationsuffer-from-nomophobia-the-fear-of-being-without-their-phone/ 

7. Mayangsari, AP., Ariana, AD. Hubungan antara self-esteem dengan kecenderungan nomophobia pada remaja. J. psikologi klinis dan kesehatan mental. 2015; 4(3):157-163.

8. Manggia, Irma. Ketika ponsel menjadi penyakit [internet]. Jakarta: Suara Merdeka Cetak; 2014; [diakses pada 3 April 2016]. Dari: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/ketika-ponsel-menjadipenyakit/