Tulisan berikut adalah karya Pratiwi Dewanti, finalis Jegeg Bagus Bali 2014 duta Kabupaten Badung. Karena sifatnya kompetisi, tim editor menjaga keaslian karya semaksimal mungkin. Yay! Selamat membaca, semoga bermanfaat!

Kulkulbali.co

 

"Berikan aku satu pemuda, akan kuguncang Indonesia. Dan berikan aku sepuluh pemuda, akan kuguncang dunia." – Ir. Soekarno

Kalau Ir. Soekarno butuh 10 pemuda untuk mengguncang dunia, maka Bali membutuhkan ribuan pemuda untuk menindak lanjuti reklamasi Tanjung Benoa yang menjadi hot issue dewasa ini. Begitu banyak pro dan kontra akan adanya reklamasi di Bali selatan tersebut. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi kantor-kantor pemerintahan dan meneriakan pendapat mereka yang bulat menolak adanya reklamasi di kampung halaman mereka di Tanjung Benoa. Serentak menentang Perpres No. 51 tahun 2014 yang inti dari isinya adalah diubahnya kawasan konservasi perairan Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum dan diijinkannya reklamasi di kawasan tersebut sebesar 700ha.

Bagaimana tidak? Reklamasi Teluk Benoa yang merupakan tempat penampungan 4 sungai besar di Bali -dua diantaranya adalah Tukad Badung dan Tukad Mati- akan membuat Bali menjadi salah satu daerah rawan banjir. Selain itu, adanya daerah yang rawan ambles juga menjadi alasan besar penolakan reklamasi yang dianggap melenceng dari pariwisata budaya.

Reklamasi pada dasarnya adalah proses pembuatan daratan baru di lahan yang tadinya tertutup oleh air. Kawasan baru tersebut biasanya dimanfaatkan untuk daerah permukiman, perindustrian, pariwisata, dan area bisnis. Pulau Pudut yang terletak di Teluk Benoa adalah lokasi tepatnya yang akan direklamasi oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) selama 30 tahun dengan berbagai pengelolaan pariwisata diatasnya.

Kondisi pulau Pudut sesungguhnya sangat mengkhawatirkan. Pengerukan yang terjadi sejak tahun 1970 dan adanya abrasi membuat luas pulau ini semakin berkurang hingga tersisa satu hektar saja, padahal awalnya sepuluh hektar. Dampak yang cukup memprihatinkan yang disebabkan oleh hal ini adalah banyaknya warga yang bergantung pada wisata bahari kehilangan pekerjaan mereka. Penyu yang merupakan wisata utama yang ditawarkan kepada wisatawan semakin terancam perkembangannya.

Sebenarnya, dengan adanya proyek reklamasi ini akan membantu untuk merevitalisasi pulau Pudut. Reklamasi akan menambah luas pulau hingga 838 hektar. Hal ini akan mengembalikan pulau Pudut agar mampu bangkit kembali untuk mengembang biakan wisata baharinya dengan pemeliharaan penyu.

Sayangnya, reklamasi ini memiliki dampak yang cukup besar pula terhadap lingkungan. Menurut Puslit Geoteknologi LIPI 2010, daerah Teluk Benoa memiliki potensi bahaya likuifaksi. Artinya, lapisan tanah pada kawasan ini sangat rentan mengalami perubahan dari padat menjadi cair maupun terjadi amblesan jika terjadi pergeseran lapisan bumi. Selain itu, peluasan pulau ini juga dapat mengakibatkan perubahan arah arus laut yang berdampak adanya abrasi dan beberapa daerah yang berposisi rendah secara geografis di sekitarnya dapat menjadi daerah rawan banjir.

Pasokan air bersih juga akan menjadi fokus berikutnya. Dengan kondisi pariwisata seperti ini saja, daerah Badung Selatan itu sudah sering mengeluhkan kurangnya pasokan air. Bisa dibayangkan apabila harus memasok lagi air bersih untuk daerah wisata mewah di tempat reklamasi tersebut.

Tidak salah apabila masyarakat sangat keras menolak reklamasi Teluk Benoa yang direncanakan akan dibangun tempat-tempat hiburan mewah diatasnya. Berkaca pada reklamasi Pulau Serangan, yang dulu sempat direncanakan menjadi one stop place untuk pariwisata lengkap dengan pembangunan casino-casinonya. Entah bagaimana, dengan lengsernya Presiden Seoharto, proyek ini berujung dengan ketidak terawatannya obyek tersebut. Banyak nelayan kehilangan mata pencaharaiannya, yang akhirnya berubah dengan menjadi penggali terumbu karang dengan pengetahuan dan perlengkapan minim mengakibatkan terumbu karang disana mulai tidak terawat.

Lucu saja kalau kita throwback pada saat presiden SBY dan seorang pemain sepak bola tersohor Cristiano Ronaldo di tahun 2013 lalu melakukan penanaman mangrove di kawasan Teluk Benoa sebagai salah satu bukti untuk menunjukan bawa pemerintahan Indonesia peduli terhadap pelestarian lingkungan khususnya hutan mangrove. Seolah-olah motto yang di suarakan saat itu “tanam-rawat-tumbuh” berubah menjadi “tanam-rawat-babat”. Dari konservasi menjadi reklamasi.

undefined

sumber gambar: https://www.facebook.com/ForumHijauIndonesia/posts/485959448161824

 

Keputusan sudah tersurat walaupun aksi belum menunjukan pasti. Essai ini hanyalah sebuah pendapat semata yang menuntut kepedulian lingkungan dari pemerintah sebagai penegak, pelaksana, juga pengawas hukum. Penulis percaya segala suatu di dunia ini memiliki sisi positif dan negatifnya. Reklamasi yang akan dilaksanakan di Teluk Benoa haruslah mendapat pengawasan yang ketat terhadap dampak jangka panjang khsusunya terhadap lingkungan sekitar. Dan bila permasalahan ini berujung dengan pencabutan keputusan pemerintah, akan sangat membanggakan apabila fokus perkembangan kita bawa ke Bali bagian utara demi mewujudkan kesetaraan ekonomi yang berdasarkan pengembangan pariwisata.

Melalui tulisan ini, Penulis berharap akan semakin banyak generasi muda yang mampu menyuarakan pikiran dan pendapatnya mengenai berita ini. Bukan hanya pendapat yang milu-milu tuung (ikut-ikutan) tapi pendapat yang penuh dengan pertimbangan juga solusi yang dapat membawa masalah ini untuk mengutamakan kepentingan masyarakat banyak. Semoga tulisan ini mampu menginspirasi dan bermanfaat untuk banyak pihak.

 

Sumber :

http://www.academia.edu/4964185/KAJIAN_REKLAMASI_TANJUNG_BENOA

http://www.forbali.org/peraturanundang-undang/?lang=en

http://travel.kompas.com/read/2013/07/17/1036429/Pulau.Pudut.di.Tanjung.Benoa.Nyaris.Hilang