PENYEDERHANAAN UPACARA AGAMA DI BALI, PERLUKAH ITU?

 

“Budaya dan agama di Bali memang ibarat dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan.”

“Betul Pak Made. Kita tidak bisa memisahkan itu. Lagi pula budaya kan daya tarik wisata kita.”

“Ya betul. Panorama alam Bali memang indah. Akan tetapi, budaya Balilah yang menjadi daya tarik pariwisata kita.”

“Benar, kalau budaya tidak dilestarikan, pariwisata kita bisa bangkrut.”

 

Begitulah obrolan Pak Made dan Pak Komang yang sangat mencintai tanah kelahirannya. Sekilas saya setuju, sampai akhirnya

 

“Tapi Pak Komang, dengar-dengar ada bujukan untuk menyederhanakan upacara agama hindu di Bali. Betulkah itu?”

“Ya saya dengar hal yang sama. Saya tidak setuju Pak Made. Bagaimana bisa masyarakat kita berpikir untuk menyederhanakan upacara agama? Kan tidak ikhlas itu namanya.”

“Benar Pak Komang. Upacara-upacara agama hindu adalah daya tarik pariwisata kita. Kalau upacaranya semakin sederhana, kurang meriah, semakin jarang dilakukan, lalu apa suguhan kita untuk para wisatawan?

Wow… sontak saya kaget mendengar paparan terakhir dari Pak Made itu. ‘Waduh… sepertinya ada yang salah ini.’ Mereka pun masih berbincang, tetapi sekarang otak saya mulai berpikir.

Budaya sebenarnya adalah hasil pikiran masyarakat yang berlaku terus menerus dan sulit diubah. Boleh diubah, tapi pikirkanlah omongan yang akan timbul. Opini yang menyangkut pengubahan budaya tersebut sudah mulai timbul diiringi komentar-komentar negatif dari berbagai pihak. Sekarang adalah klimaksnya. Muncul wacana yang mengajak untuk menyederhanakan upacara agama di Bali dari segi upakara/sarana yang digunakan dan juga frekuensi pelaksanaannya. Misal odalah yang dilaksanakan setiap enam bulan akan menjadi setahun sekali berdasarkan sasih. Pro dan kontra pun mewarnai sosial media. Masyarakat Bali yang sedang bergelut di dunia industri atau yang sedang berkarier langsung menyatakan dukungannya. Upacara agama di Bali sedikit tidaknya sudah menjadi penyebab mereka untuk libur berkali-kali di tempat kerja. Kesan tidak profesional pun mulai muncul dan mengisi benak si bos di kantor melihat karyawanya libur berkali-kali dengan alasan yang sama. Akan tetapi, pihak kontra juga tidak sedikit. Entah karena mereka mengerti agama, takut kena petaka berdasarkan mitos, atau malah mereka adalah pedagang sarana upakara? Kalau iya, mungkin mereka takut kalau pelanggannya berkurang.

Kita juga tidak tahu pasti apa penyebab pro kontra itu muncul, tetapi yang jelas beberapa di antara mereka menolak karena alasan pariwisata. Kalau boleh saya berpendapat, janganlah menjadikan upacara kita sebagai maskot penarik wisatawan. Upacara itu bukanlah untuk mereka.

Puluhan tahun lalu, bahkan sejak zaman penjajahan, turis-turis asing memang sudah jatuh cinta dengan Bali. Mereka menyukai alam Bali, keunikan masyarakatnya dalam berpakaian, upacara-upacara agama (dominan hindu) yang mencengangkan, tarian Bali, dan juga permainan sabung ayam yang kini identik dengan judi lokal. Ya, Bali memang sudah identik dengan hiburan sejak dulu. Pariwisata pun maju dan mulailah muncul keinginan untuk menghibur para wisatawan. Tarian dan gamelan yang biasanya dipentaskan pada hari-hari tertentu kini dipentaskan setiap saat untuk tamu. Saking senangnya, masyarakat Bali pun memperlihatkan proses upacara-upacara agama mereka yang sangat unik kepada para wisatawan. Rentetan upacara yang panjang, sesajen yang rumit, dan juga gebogan, yaitu susunan buah yang ketinggiannya bisa mencapai dua meter dan diusung di atas kepala membuat wisatawan makin terpana. Jangankan para turis, kita yang asli Bali zaman sekarang pun pasti ternganga melihat foto-foto gebogan Bali zaman dulu.

Tak dipungkiri memang turis-turis asing sangat menyukai pemandangan itu. Barisan para wanita yang mengusung gebogan dan panorama jingga matahari terbenan di pantai Bali menjadi buah karya sang fotografer yang laris manis di pasaran dunia. Sesajen-sesajen dari janur dengan sedikit sentuhan seni dan hewan kurbannya membuat para turis berdecak kagum. Mengapa? Karena hal seperti itu tidak bisa mereka temukan di negaranya. Panorama sawah dengan terasering yang tersusun begitu rapi, hamparan padi yang hijau dan gemercik air subak seolah menghipnotis para wisatawan untuk enggan beranjak. Belum lagi pemandangan pak tani yang membajak sawahnya dengan kerbau atau sapi. Sungguh menjadi hal yang tak lazim di mata mereka.

Pengalaman si turis kemudian ia ceritakan kepada kawannya di sana. Kawannya itu bercerita lagi kepada sanak saudaranya yang hobi traveling. Si penggila traveling juga memberi tahu para sosiolog ternama kenalan mereka yang sedang meneliti kehidupan unik di dunia kala itu. Akhirnya… jadilah Bali seperti sekarang. Banyak orang yang mengunjungi Bali dengan berbagai keperluan. Mulai dari berwisata, mengadakan penelitian, atau bahkan menetap untuk menghabiskan masa tua dengan biaya murah. Masyarakat Bali tentu kena imbasnya. Devisa meningkat karena pariwisata berkembang pesat. Orang Bali akhirnya bangga karena tanahnya terkenal, dan bandara mereka menjadi bandara internasional sampai sekarang. Kebanggaan itu pun diwariskan kepada penerus mereka dan memintanya supaya bekerja di restoran, hotel, villa, bandara, bar, atau membuka warung di objek-objek wisata. Perekonomian masyarakat yang terus berkembang membuat mereka berencana lebih modern. Menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi supaya jadi guru, pegawai negeri, dokter, pegawai bank, atau apapun itu pokoknya jadi orang kantoran. Orang Bali yang tradisional kini beralih menjadi pekerja dan pengusaha. Adat dan budaya pun ikut berubah.

Bagaikan rantai kehidupan. Budaya Bali yang unik dan polos disukai para turis. Mereka berdatangan menjadi wisatawan dan menyebabkan munculnya masyarakat-masyarakat industrialis. Masyarakat industrialis di bidang pariwisata tetap mengharapkan adanya ketradisonalan sebagai daya tarik, tetapi masyarakat sektor lain tidak bisa mengembalikan hal itu. Sebagian besar masyarakat sudah berubah dan mereka sulit mengubah gaya hidup mereka. Tuntutan karier mebuat mereka kesulitan mengatur waktu dan bingung memilih antara budaya bermasyarakat, upacara agama, atau tugas-tugas kerja mereka di kantor yang juga menuntut profesionalitas kerja.

Alhasil, keputusan untuk menyederhanakan kerumitan sarana upacara agama mereka ambil secara mandiri. Budaya ikut-ikutan pun mulai muncul. Masyarakat berkarier yang lain juga mulai meniru dan krisis ekonomi akhirnya menambah kekompakan itu. Salahkah mereka? Tentu saja tidak. Membuat sarana atau sesajen upacara yang rumit membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Jika masyarakat Bali tempo dulu bisa memperoleh buah-buahan dan sesaji makanan hanya dari berkebun dan beternak maka masyarakat Bali zaman sekarang harus membeli semua itu. Pakai uang tentunya dan mencari uang butuh waktu. Karena waktu tersita untuk bekerja di indutri, belajar untuk  membuat banten pun tidak sempat. Sebenarnya sempat, tapi tidur dan mengurus rumah yang tak terlaksana dengan cukup. Sangat menjadi dilema memang. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang juga memerlukan biaya. Semua karena keadaan ekonomi yang tidak seperti dulu. Harga barang sudah tak seimbang lagi dengan pendapatan per kapita masyarakat. Tidak perlu lah kiranya saya membahasa ekonomi dengan panjang lebar di sini. Saya yakin Anda semua sudah paham mengapa akhirnya gebogan sudah tak setinggi dulu, mengapa banyak orang yang lebih memilih tetap bekerja walaupun di rumahnya sedang odalan, atau hal yang paling ekstrem akhirnya terjadi, yaitu pindah agama.

Wah… jadi susah kalau sudah begini. Mungkin hal ini juga yang akhirnya mendasari seorang putra Bali yang kharismatik itu mencetuskan ide untuk menyederhanakan upacara agama di Bali. Tujuannya agar tidak banyak terjadi perpindahan agama dan mengubah pandangan tentang agama mayoritas masyarakat Bali (Hindu) adalah agama yang boros uang dan waktu. Tujuan yang sangat mulia memang, tetapi masih menuai kontroversi sampai sekarang. Sebagai orang yang mengedepankan realita dan kelogisan berpikir sesuai tuntutan zaman, saya ingin mencoba untuk berpendapat.

Jepang adalah negara maju di dunia yang tetap bisa menyajikan jati diri asli mereka sebagai ciri khas dan daya tarik pariwisata. Jika Jepang bisa menjadi negara maju dengan budaya yang masih terjaga, lalu mengapa Bali tidak bisa? Saat ini Bali sedang ada dalam masa peralihan zaman. Generasi-generasi tua yang pernah merasakan kejamnya siksaan penjajah, yang hidup dengan pakaian bali tempo dulu, dan mempertahankan mitos-mitos kuno masih berada di lingkungan kita sebagai senior atau tetua adat. Secara otomatis saat kita ingin mengubah suatu sistem yang telah berlaku, haruslah meminta pertimbangan atau bahkan persetujuan dari mereka dan hal itu bukanlah hal yang mudah. Masih banyak tetua adat yang belum bisa menerima perubahan sesuai tuntutan zaman.

Perubahan zaman membuat Bali tidak seperti dulu. Biaya untuk membuat keperluan upacara agama sudah terlalu mahal. Hal ini dapat membuat sebagian masyarakat Bali agak terbebani jika sudah menjelang hari raya. Walaupun gebogan sudah tidak setinggi dulu, harga buah yang melambung tinggi menjelang hari raya masih membuat masyarakat berpikir untuk beryadnya dengan jumlah banyak seperti yang ditetapkan tetua mereka dulu. Jika ditanya, semua orang pasti ingin ikhlas dan memberikan yang terbaik sebagai persembahan. Akan tetapi, keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat mereka bimbang untuk memilih antara kebutuhan duniawi yang sangat urgent atau kebutuhan sarana upacara agama dan persembahan yang juga membutuhkan biaya yang sama banyaknya. “Berarti kebutuhan beragama itu tidak penting dong di mata mereka?” Pertanyaan itu pasti akan muncul dari pihak yang tidak menyetujui penyederhanaan upacara agama di Bali. Mereka akan tetap menggunakan ajaran agama dan Tuhan sebagai tameng.

Kalau ditanya penting atau tidaknya, itu semua tergantung pada kondisi ekonomi masing-masing masyarakat. Kalau orang yang memiliki kelebihan dari segi finansial, maka biaya beryadnya yang banyak pun tak akan jadi masalah. Mereka bisa menganggap yadnya sama pentingnya dengan kebutuhan sekolah anaknya, kebutuhan asuransi, listrik, air, dan lain sebagainya. Akan tetapi, berbeda dengan orang yang ekonominya pas-pasan. Mereka pasti beranggapan biaya listrik, air, sekolah anak, dan biaya berobat lebih penting. Belum lagi biaya makan dan urusan dapur. Jadi, kita tidak boleh sembarangan memberikan label kepada orang-orang yang tidak mampu dari segi ekonomi tersebut sebagai orang yang tidak subakti dan ikhlas kepada Tuhan. Marilah kita berpikir lebih bijak dan memandang segala permasalahan dari berbagai sudut dan kemungkinan yang ada. Empati sangat penting dalam hal ini.

Globalisasi membuat semua hal tradisional tertutup dengan teknologi, hiburan, dan tuntutan kerja di dunia industri. Belum lagi dunia pendidikan yang menuntut siswa menjadi individu yang sukses dengan kecakapan berteknologi dan berbahasa asing yang mumpuni untuk bersaing. Dalam mencapai hal terseut, generasi muda tidak akan punya waktu untuk memikirkan hal-hal tempo dulu dan juga kerumitan beryadnya seperti yang dilakoni tetuanya di rumah. Rasa menomorduakan keterampilan bikin banten sudah muncul. Jika sudah begini, akan seperti apa Bali ke depannya? Apakah membuat banten yang rumit itu tidak akan terlaksana lagi? Tentu tidak boleh kita biarkan seperti itu. Penyederhanaan upacara merupakan solusi yang bagus agar pelaksanaan upacara keagamaan tetap eksis walaupun sudah tak serumit dan semeriah dulu. Entah penyederhanaan itu kita mulai dari mana (kita serahkan saja kepada pemuka agama kita) tetapi yang jelas hal itu akan sangat membantu.

Hindu yang menjadi agama mayoritas di Bali dan juga merupakan cover budaya Bali bukanlah agama yang boros. Barang kali kita saja yang terlalu memaksakan agar terlihat meriah, utama, dan berprestisius. Dalam ajaran agama hindu, yadnya sudah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu utama (paling mewah), madya (sederhana/menengah), dan nista (paling sederhana). Kita sebagai umat melaksanakan yang nista pun tak apa asal ikhlas. Tidak ada perbedaan nilai di mata Tuhan. Jika kita mampu melaksanakan upacara tingkat utama, tetapi disertai percekcokan karena biaya yang dipaksakan, hal itu malah tidak akan bernilai dan tidak membawa berkah. Masyarakat Bali masih mengutamakan gengsi dan penilaian sosial. Terlalu tergila-gila dengan predikat akhirnya membuat kita keteteran setiap merayakan hari besar keagamaan. Mengubah tradisi masih gengsi, tetapi kalau harga bahan melambug tinggi, keluhan pun tak terhindarkan. Kalau sudah mengeluh apakah masih bisa dikatakan ikhlas? “Ya… maunya ikhlas, tapi uang tidak cukup kalau harus bikin bayak begini.” Hmm… kata-kata yang sudah sering terlotar dan akan bertambah sering.

Oleh karena itu, marilah kita mulai berpikir ke depan. Bertahan dengan tradisi nak mule keto (memang begitu) tak selamanya baik. Bukannya saya mengajak untuk apatis terhadap budaya, agama, dan mitos, tetapi marilah kita belajar lebih logis dan realistis. Apa kita mau mewariskan masalah yang sama untuk anak cucu kita nanti? Niat melestarikan memang baik, bahkan ada pada setiap orang. Akan tetapi, apakah harapan kita terhadap generasi muda akan selalu berjalan sesuai keinginan? Saking asiknya mengenyam pendidikan dan bercita-cita tinggi, mereka sampai lupa caranya menyiapkan odalan dari nol sampai akhirnya terlaksana.

Orang tua selalu ingin anaknya menjadi orang besar dan sukses. Malah si petani pun tak ingin anaknya juga jadi petani. Lalu bagaimana dengan Pak Made dan Pak Komang yang masih mengharapkan pemandangan-pemandangan tradisional seperti dulu sebagai suguhan wisatawan? Apakah mereka salah? Ya, ada salahnya karena upacara agama tidak untuk dipertontonkan apalagi dikomersilkan. Mereka masih menuntut itu semua hanya demi profesi mereka, lalu bagaimana dengan profesi orang lain? Apa mereka tidak memikirkan itu? Kita tidak boleh anti terhadap perubahan dan modernisasi. Janganlah mempertahankan keprimitifan hanya agar bisa diabadikan oleh turis-turis asing. Kita bukan tontonan. Kalau kita ingin mempertahankan cita rasa Bali di mata dunia, kita tidak harus bertahan dengan kepolosan di tengah zaman modern seperti sekarang. Kita harus memilah hal-hal tradisional mana yang harus kita pertahankan dan hal-hal tradisional mana yang harus diubah demi kebaikan ke depannya.

Berhentilah beranggapan bahwa upacara agama yang meriah itu nantinya akan dipertontonkan kepada wisatawan. Jangan lagi berpikiran kalau upacara dan upakaranya sederhana, wisatawan tidak akan dapat pemandangan budaya apalagi beranggapan tidak akan ada perputaran ekonomi untuk pedagang buah dan janur. Bali bukan tontonan tradisional. Bali juga berhak memiliki kehidupan modern dan praktis dengan tidak mengesampingkan ajaran agama dan yadnya. Kita masih bisa menyuguhkan seni sebagai ciri khas Bali melalui ornamen-ornamen klasik pada setiap bangunan industri pariwisata. Pembangunan objek wisata yang mengedepankan kesenian juga bisa menjadi solusi. Selain itu, pelestarian busana adat Bali yang  tetap sesuai zaman, mempertahankan keberadaan kuliner khas Bali, dan juga menghentikan pembangunan gedung-gedung atau hotel yang tidak perlu merupakan solusi lain yang bisa kita lakukan bersama. Kita memiliki alam yang indah, tidak hanya pantai, tetapi suasana pedesaan asri dengan tetap menyediakan akomodasi penginapan yang memadai. Si bule tidak suka keberadaan bangunan modern yang terlalu banyak. Mereka membutuhkan suasana asri yang membuat mereka merasa santai dan tidak pernah ia temukan di manapun selain di Bali. Barang kali Pak Made dan Pak Komang belum pernah menanyakan komentar para tamunya tentang kehidupan masyarakat Bali. Para tamu asing justru heran dengan perempuan Bali yang sepanjang hari hanya duduk dan berdiam di rumah untuk membuat sesajen. Mereka bertanya mengapa si ibu tidak keluar dan menyaksikan alam-alam Bali milik mereka? Mengapa mereka tidak naik motor atau belajar menyetir mobil untuk menjadi mandiri secara aktivitas dan finansial?

Mari kita buat perubahan demi kebaikan generasi muda. Mari kita buat generasi muda yang lebih berkualitas dan mampu memperbaiki keadaan ekonomi keluarga sehingga nantinya tidak berat lagi manjalankan yadnya. Sekolahkan anak kita dengan baik dan didik mereka menjadi orang yang sukses. Kita harus menghapus stigma boros untuk agama Hindu. Jangan sampai anggapan itu menjadi alasan bagi mereka untuk pindah keyakinan dan membuat penganut agama kita semakin sedikit. Penyederhanaan upacara adalah solusi yang harus kita sikapi dengan positif, pahami, dan evaluasilah jika memang ada yang kurang pas. Jangan kita tentang setiap perubahan yang datang secara membabi buta tanpa solusi. Jangan jadikan pedagang upakara, janur, dan buah sebagai tameng dan mengajak mereka menjadi penghalang sebuah perubahan yang sebenarnya juga akan berarti demi masa depan anak cucu mereka. Carilah penghidupan lain jika memang perubahan ini membuat kita harus gulung tikar. Jangan sampai kita megutamakan ego diri sendiri dan memasung kebebasan orang lain untuk melakukan perubahan. Jadilah masyarakat Bali yang modern, berpikiran terbuka, berkualitas, dan mencintai budaya. Kita bukan kebun binatangnya turis-turis.