Ketika mendengar nama Bali maka hal pertama yang terlintas di benak kita adalah destinasi wisata yang ada di dalamnya entah itu pantai, pura, dan budaya serta tradisi yang unik yang di lakukan oleh masyarakat Bali.
Bali memang menyajikan sejuta pesona yang layak dikunjungi dan menjadi salah satu daftar tempat yang wajib dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun asing. Pesona tersebut membuat pulau yang dijuluki Pulau Seribu Pura ini dari tahun ke tahun semakin berbenah, utamanya di sektor pariwisata.
Mengapa?
Karena tidak dapat kita pungkiri bahwa sektor pariwisata memang memberikan pendapatan paling tinggi bagi Bali. Sektor pariwisata saat ini menjadi salah satu investasi penting yang ada di Bali. Banyak hotel, villa, dan infrastruktur yang lain dibangun untuk mendukung investasi di sektor pariwisata. Selain itu, pariwisata tentu saja banyak menyerap tenaga kerja baik itu pekerja di sektor formal ataupun informal. Dalam hal ini secara tidak langsung pariwisata telah menggerakkan ekonomi lokal di Bali.
Namun dengan seiring berkembangnya sektor pariwisata tersebut, Bali yang dulu kini telah berubah. Masyarakat Bali yang awalnya bekerja sebagai petani kini lebih memilih untuk menjual lahannya kepada para investor, hal ini berdampak pada sektor pertanian yang dahulu merupakan penggerak ekonomi lokal kemudian digantikan oleh pariwisata.
Apakah salah?
Dalam hal ini menurut hemat penulis tidak, sama sekali tidak. Karena dalam hal ini penulis tidak sedang berbicara salah dan benar. Penulis hanya memberikan pandangan bahwasanya Bali yang sedang berkembang saat ini tidak sedang baik-baik saja, banyak sekali permasalahan yang terjadi akibat pengembangan sektor pariwisata secara jor jor-an.
Bali bukan milik orang Bali (?)
Hal apa yang terbesit di benak kalian ketika melihat gambar di atas? Ketika banyak orang di luar sana menyerukan “Bali not for sale”, gambar ini seharusnya cukup “menampar” kita semua. Mengapa? Pantai yang seharusnya bisa menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat Bali serta tempat untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya tanpa hambatan apapun, kini tidak banyak pantai di Bali yang di depannya terdapat tulisan “larangan masuk” bagi masyarakat sekitar.
Hal tersebut terjadi bukan karena keadaan bahaya, atau karena infrastruktur penunjang dekat pantai sedang mengalami renovasi, usut punya usut hal tersebut karena hotel atau villa yang terletak di pesisir pantai melarang warga sekitar terkecuali tamu hotel tersebut menikmati keindahan pantai. Nah, kalau sudah begini bagaimana? (berpikir)
Sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran, dalam Pasal 17 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwasanya
“Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.” Yang dimana dalam Pasal sebelumnya yaitu Pasal 16 menyatakan “Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi”
Artinya undang-undang hanya melegalkan pihak investor atau pemilik usaha melakukan pemanfaatan ruang hanya di wilayah pesisir tidak termasuk pantai yang ada di depannya, karena pantai tersebut tetap menjadi hak negara dan dimanfaatkan semata-mata untuk kepentingan masyarakat.
Permasalahan RTRW di Bali
Perkembangan pariwisata juga menimbulkan permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah. Bagaimana tidak, demi keuntungan pembangunan berskala besar dilakukan, di mana pembangunan tersebut kurang memperhatikan pelestarian lingkungan yang ada, kawasan persawahan beralih fungsi menjadi infrastruktur pendukung sektor pariwisata, tidak hanya itu pembangunan obyek wisata kerap kali mengganggu keberadaaan tempat-tempat suci, serta mengesampingkan adat dan budaya Bali. Di bawah ini contoh pelanggaran RTRW di Bali.
Jika hal di atas kita kaji dengan Hukum Tata Ruang utamanya dari segi aturan perundang-undangan, bahwasanya fakta tersebut telah melanggar Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029 Pasal 108 ayat 1 huruf b yang mengatur mengenai pelarangan semua jenis kegiatan dan/atau usaha yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian. Artinya dalam Perda tersebut telah melarang pembangunan dalam bentuk apapun di sekitar wilayah area kawasan suci.
Fakta tersebut telah membuktikan bahwasanya pembangunan pariwisata sering kali mengesampingkan konsep tri hita karana yakni hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Sering kali obyek wisata dibangun berdasarkan tempatnya yang strategis tanpa melihat kepercayaan yang dimiliki masyarakat Bali sehingga timbul masalah dan gesekan dengan masyarakat sekitar terkait dengan pembangunan obyek wisata di Bali. Tak jarang jika pembangunan pariwisata mencakup daerah-daerah yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar sehingga mengganggu kelancaran dalam prosesi upacara adat dan keagamaan.
What is the problem ??
Jika pembangunan fisik pariwisata hanya mengedepankan keindahan dan mengesampingkan kelestarian lingkungan maka dampaknya tidak hanya pada pencemaran lingkungan saja namun dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, pembangunan dalam rangka pariwisata yang tidak memperrhatikan aspek lingkungan, maka akan berdampak negatif dan menjadi bumerang mematikan pariwisata Bali.
Pemanfaatan ruang di Bali merupakan rangkaian proses penataan ruang yang bereputasi buruk. Nyaris tidak ada keterpaduan antara perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Meski telah banyak disusun rencana tata ruang yang lebih rinci guna menunjang pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali, tapi ternyata tak sepenuhnya mampu mengantisipasi dan memecahkan permasalahan tata ruang Bali.
Pelaku pemanfaatan ruang di Bali yang dominan adalah dunia usaha, disusul masyarakat dan pemerintah. Dunia usaha memberi kontribusi dalam investasi prasarana sektor unggulan seperti pariwisata, industri, perdagangan dan jasa. Masyarakat member andil melalui pembangunan perumahan. Adapun pemerintah menyediakan prasarana wilayah. Namun, pemerintah daerah juga berperan mengeluarkan kebijakan pemanfaatan ruang. Dalam hal ini, akan disoroti pelanggaran pemanfaatan ruang yang digunakan oleh dunia usaha, yang memberikan dampak besar bagi Bali.
* * *
Pemaparan di atas hanya akan menjadi tulisan biasa jika tidak diiringi dengan perubahan, berdasarkan permasalahan tersebut harus ada kesadaran dalam diri setiap masyarakat akan pentingnya tanah warisan yang kita pijak saat ini, perlu adanya sinergitas baik antara pemerintah, stake holder, dan masyarakat sekitar bahwa pengembangan pariwisata harus berlandaskan pada Tri Hita Karana dan prinsip pariwisata berkelanjutan, hingga nantinya Bali dapat tetap ajeg.
Dengan pariwisata kita berharap semua masyarakat Bali menikmati hasil pariwisata tersebut. Tidak hanya dinikmati oleh investor dengan modal yang besar saja. Bagaimanapun Bali bukan hanya untuk hari ini, tetapi masih ada banyak hari esok untuk Bali.
Nah, berdasarkan pemaparan di atas PARIWISATA UNTUK BALI ATAU BALI UNTUK PARIWISATA???
http://www.kompasiana.com/roziqinmatlap/bali-surga-diambang-kehancuran_55290965f17e61db2d8b4575
Komentar