Orang Bali diakui pintar memandu liburan para tamu luar Bali, namun justru mereka sendiri tidak pernah liburan. Mungkin benar karena “Everyday in Bali is Holiday”, jadi orang Bali sudah merasa liburan setiap hari.

Para tamu itu bahkan sudah berkali-kali liburan ke Bali, sampai hapal tiap pengkolan. Sedangkan orang Bali masih setia saja dengan wilayahnya. Sepertinya tak tertantang untuk sesekali berlibur ke negeri para tamu itu. Benar kata orang, orang Bali itu tipe orang yang setia.

Orang Bali terkesan hanya berputar-putar di wilayahnya saja. Mungkin karena terbuai akan puja puji tentang Bali yang super indah. Mereka pikir buat apa liburan ke luar Bali. Sayang buang duit hanya untuk berkunjung ke tempat yang tak lebih indah dari Bali.

Orang luar Bali sana giat menabung untuk liburan ke Bali. Bali dianggap tempat yang tepat untuk memuaskan hasrat berlibur. Tak heran jika liburan datang, berduyun-duyun orang asing itu datang merangsek ke seluruh penjuru pulau Bali. Mereka datang ke tempat upacara agama, menginap di desa-desa, berkunjung ke pura-pura, menyusuri sawah sambil tak lupa menjepret setiap momen. Kebutuhan rekreasi liburan sekaligus keingintahuan terhadap budaya baru lengkap terpuaskan.

Sedangkan, orang Bali sepertinya tak perlu liburan. Justru musim liburan berarti musim panen tiba. Itu artinya roda pariwisata berputar dengan gairahnya. Bisnis travel wisata berjaya, pemandu wisata kebanjiran tamu, kamar hotel penuh, tempat wisata bak gudang gula bagi para semut, ramai sekali. Banyak orang Bali mendadak kaya.

Sepertinya ada perbedaan cara memaknai liburan. Para tamu menganggap liburan sebagai kebutuhan hidup sekaligus sarana untuk belajar budaya baru. Sedangkan bagi orang Bali, liburan itu kesempatan untuk memperoleh duit lebih. Mungkin memang sudah nasib orang Bali menggantungkan nasib pada riuh dunia pariwisata.

Para tamu datang jauh-jauh ke Bali atas hasratnya yang tinggi untuk belajar budaya di tempat lain. Tak hanya sekedar liburan, mereka mengamati gerak-gerik orang Bali yang unik yang tak pernah ada di wilayah asalnya. Yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.

Tentu bisa dimengerti, kunjungan ke suatu tempat yang baru akan mendapat banyak hal yang positif dan membuka wawasan baru. Bisa menjadi pemantik kreativitas dan inovasi, bisa juga menjadi bahan perbandingan dengan budaya asli. Siapa tau justru banyak budaya dan sikap hidup yang perlu diperbaharui.

Makanya beruntung jadi orang Bali. Tanpa capek-capek ke luar Bali, orang Bali bisa belajar budaya luar dari pergaulan dengan tamu. Dengan kata lain, budaya luar telah datang sendirinya ke Bali. Orang Bali tak perlu kesana.

Jika direnungi, sikap orang Bali yang tak mau liburan ke luar Bali bisa jadi karena di Bali sudah tersedia semua. Jadi bukan semata-mata masalah uang. Orang Bali banyak yang kaya. Buktinya, upacara agama selalu berhasil dilangsungkan dengan meriah. Semuanya tak murah. Orang Bali giat menabung untuk menyelenggarakan upacara  agama secara uttamaning utama (tingkatan upacara yang paling tinggi/mewah). Yang sayangnya sering hanya untuk gengsi saja. Padahal jika mau, dengan separuh uang itu mereka juga bisa liburan keliling dunia.

Atau mungkin juga karena orang Bali sulit membagi waktu. Selain urusan spiritual keagamaan, hari demi hari mereka direpotkan dengan urusan adat istiadat. Karena untuk masalah sosial adat istiadat, orang Bali memang tak mau macam-macam. Ada sanksi tegas kalau tidak mengikuti aturan main. Sanksinya tak sepele, dari hanya kena denda hingga dikucilkan ditengah masyarakat. Kalo sudah begini, masalah liburan ke luar kota berhari-hari akan menjadi sekedar wacana belaka.

Hal ini kemudian sering mendapat komentar dari orang luar, “orang Bali religius sekali, waktu sepenuhnya untuk upacara agama dan adat. Sampai tak sempat liburan”.

Namun jika ditilik lagi, tuduhan bahwa orang Bali tak pernah liburan ternyata tak sepenuhnya benar. Buktinya, mereka sering melakukan tirta yatra, yaitu perjalanan suci rombongan mengunjungi Pura-pura. Bersama sanak saudara, kerabat dan tetangga, mereka menyasar pura-pura yang notabene memiliki panorama indah. Sebut saja, Pura Pulaki, Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Ulun Danu Batur dan ratusan Pura yang lain. Tak hanya di wilayah Bali saja, mereka melakukan tirta yatra hingga  ke luar Bali, seperti Pura Parahyangan Agung Jagatkara di Gunung Salak Bogor, Pura Luhur di lereng Gunung Bromo, Pura Semeru di Lumajang dan banyak pura yang lain. Setelah melakukan persembahyangan, kemudian di jaban Pura, mereka menyantap surudan banten (buah, kue, dsb yang sebelumnya dipersembahkan untuk sesajen) sambil menikmati indahnya panorama. Sembahyang sekalian piknik keluarga. Semuanya sekali jalan, kebutuhan spiritual sekaligus kebutuhan liburan komplit terpenuhi.

Orang Bali liburan saja ingat Tuhan. Mereka membuat kolaborasi apik antara kebutuhan rekreasi dan religi menjadi satu. Hitung-hitung sekalian irit juga, liburan dapat, sembahyang juga dapat. Sungguh Tuhan memberkati orang Bali.

 

 

Catatan:

*penulis terinspirasi setelah membaca tulisan pendek berjudul “Orang Bali Tak Suka Piknik?” di buku “Jangan Mati di Bali : Tingkah Polah Negeri Turis” karya Gde Aryanta Soethama, 2011.

*foto dipinjam-pakai dari homeaway.com.au