“Sebelum melestarikan suatu budaya ataupun melaksanakan suatu tradisi, hendaknya kita mengetahui asal-usul diciptakannya budaya tersebut agar tidak terjadi penyalah fungsian ataupun kesalahpahaman”

I Gusti Ngurah Oka Putra, Panglingsir Puri Banjar Kaja, Sesetan (Maestro Omed-omedan)

Selain keindahan alamnya pulau Bali dikenal dengan pulau yang memiliki beragam budaya dan tradisi. Di Bali kehidupan antara masyarakat dengan budaya setempat sangat erat kaitannya dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Masyarakat berperan sebagai jiwa dan sumber nilai budaya Bali sedangkan budaya adalah hasil dari akal budi masyarakat yang jika dilaksanakan secara turun temurun akan menjadi suatu tradisi.

Salah satu tradisi unik dan sudah banyak dikenal oleh masyarakat maupun wisatawan yang berkunjung ke Bali adalah tradisi Omed-omedan. Dari sekian banyak tradisi perayaan Hari Raya Nyepi, Omed-omedan adalah salah satu tradisi yang sering dinanti-nanti karena pelaksanaannya yang penuh kegembiraan namun tak lepas dari pakem-pakem yang sudah ditetapkan. Tradisi ini hanya dapat ditemui di Banjar Kaja Sesetan, Desa Sesetan, Denpasar Selatan dan dilaksanakan setiap tahun pada hari pertama setelah Nyepi.

Tradisi ini dimulai dengan kegiatan persembahyangan bersama yang dilakukan oleh muda-mudi di Pura Banjar. Kegiatan persembahyangan bersama ini bertujuan untuk memohon kelancaran dalam pelaksanaan ritual omed-omedan. Lalu, dilanjutkan dengan pertunjukan tari barong bangkung (barong babi hutan) yang bertujuan untuk mengingatkan kembali peristiwa beradunya sepasang babi hutan di desa ini ketika dulu sempat ditiadakan.

Dalam tradisi ini, muda-mudi setempat akan dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok teruna (laki-laki) dan kelompok teruni (perempuan). Kedua kelompok ini akan saling berhadapan yang dipandu oleh Pecalang (polisi adat). Sebelum acara dimulai, gamelan pun akan dimainkan dan secara bergantian akan dipilih satu orang dari masing-masing kelompok untuk diangkat dan diarak pada posisi barisan paling depan. Lalu dengan aba-aba dari sesepuh desa, kedua kelompok akan saling mendekat.

“Omed-omedan, saling kedengin, saling gelutin. Diman, diman..

Omed-omedan, besik gelutin, ne len ngedengin. Diman, diman..”

Penggalan lirik diatas merupakan nyanyian yang dinyanyikan muda-mudi Sesetan saat ritual Omed-omedan. Saling gelutin artinya saling berpelukan, saling kedengin artinya saling tarik-menarik dan diman artinya cium. Muda-mudi yang diposisikan paling depan akan berpelukan (saling gelutin) dan saat keduanya saling berpelukan, masing-masing kelompok akan menarik (saling kedengin) kedua rekannya tersebut hingga terlepas satu sama lain sembari disiram dengan air hingga basah kuyup.

Lalu bagaimana dengan Diman?

Ketika pasangan muda-mudi saling berpelukan, ada kalanya mereka saling beradu pipi, kening, dan bahkan bibir. Banyak masyarakat yang manyalahartikan hal ini sebagai saling berciuman dan bahkan sempat menjadi kontroversi karena dianggap sebagai kegiatan yang melanggar etika. Bahkan tradisi omed-omedan ini sering mendapat sebutan ‘Tradisi Ciuman’ dari Desa Sesetan.

 

undefined

 

Salah Pengertian

I Gusti Ngurah Oka Putra, Panglingsir Pura Kaja Sesetan yang juga dikenal sebagai maestro omed-omedan juga menyampaikan bahwa menurut beliau banyak yang menyalahartikan omed-omedan sebagai ajang ‘mediman’ antar muda-mudi sesetan.

Dalam sebuah interview yang dikutip di salah satu media, beliau juga mengatakan bahwa muda-mudi ini saling bertemu dalam tempo yang singkat dan kondisi yang ricuh sehingga terkadang ada oknum pemuda yang terlalu bersemangat dan jahil hingga pemudinya dicium.

Hal ini memang benar, dan bisa dilihat sendiri di media sosial, jika kita mencari kata kunci ‘omed-omedan’ akan terlihat banyak foto muda-mudi yang berciuman. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat maupun wisatawan tentang Omed-omedan. Namun walaupun demikian, kita patut mengetahui makna sebenarnya dari tradisi ini.

“Omed-omedan berasal dari kata ‘med-medan’ yang berarti tarik-menarik” jelas I Gusti Ngurah Oka. “Tradisi ini sebenarnya bermaksud untuk menjalin keakraban dan kerukunan warga. Sebenarnya hanya prosesi rangkulan atau berpelukan antara muda-mudi secara bergantian”

undefined

 

Makna Sebenarnya

Tradisi ini memiliki makna simakrama, atau ikatan tali persaudaraan serta bertujuan untuk memperkuat Asah, Asih dan Asuh yakni mendidik, mencintai dan membina antar warga Sesetan. Selain itu di dalam tradisi ini juga terkandung sejarah dan anti kolonialisme. Karena meski sempat dilarang oleh pemerintah kolonial, namun rakyat Sesetan tetap melaksanakan tradisi ini.

Ngurah Oka juga sempat mengatakan “Walau banyak persepsi buruk tentang tradisi Omed-omedan, kita patut melestarikan tradisi ini sesuai makna yang sebenarnya”

Sangat diharapkan agar kita tidak salah persepsi terhadap tradisi Omed-omedan dan ikut serta melestarikan tradisi ini sesuai makna yang sebenarnya yakni sebagai tradisi untuk memperkuat keakraban. Terutama sekarang Pemerintah Kota Denpasar sudah memberikan dukungan terhadap tradisi ini dengan menjadikan Tradisi Omed-omedan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda dari Kota Denpasar serta melalui Sesetan Heritage Omed-omedan Festival yang diselenggarakan setiap tahun dan dimeriahkan dengan pertunjukan seni lainnya.

Ayo kita lestarikan Tradisi Omed-omedan sebagai cara untuk memperkuat tali persaudaraan krama Bali!