Menyama Braya Lintas Agama, Bentuk Interaksi Umat Islam Saren Jawa dengan Umat Hindu di Desa Budakeling Kabupaten Karangasem
Dalam pidatonya Soekarno pernah berkata,
“Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat dan budaya nusantara yang kaya raya ini”.
Masih segar diingatan kita mengenai perseteruan yang menyeret agama di dalamnya. Benar saja, hal ini semakin diperkeruh hingga berujung gesekan antar umat beragama. Namun warisan yang telah kita terima ini bukanlah sesuatu yang harus dibanding-bandingkan antara satu dengan lainnya. Melainkan harus kita jadikan sebagai wujud kebhinekaan di negeri ini.
Sumber: instagram@noor3va
Potret kebhinekaan itu salah satunya tersimpan di Bali. Pulau yang indentik dengan pura dan umat Hindunya. Mayoritas penduduk Bali memeluk Agama Hindu. Sisanya penganut agam lain selain Hindu sebagai minoritas agama di Bali. Adat serta budaya yang kental mengiringi setiap aktivitas keagaaman di Bali menyebabkan Bali dikenal dengan spiritual dan religiusmenya sehingga mengdorong munculnya konsep menyama braya di Bali. Menyama braya adalah salah satu kearifan lokal yang mengandung makna persamaan dan persaudaraan. Istimewanya ini terwujud dalam interaksi sosial dan toleransi yang demikian tinggi antar umat berbeda agama dalam masyarakat salah satunya di Kampung Saren Jawa dengan Kaum Brahmana Buddha di Desa Budakeling Karangasem
Sumber: google image
Desa Budakeling terdiri atas 17 banjar seluas 2.369,8 hektare. Penduduk Desa Budakeling mayoritas beragama Hindu dan sebagian kecil memeluk agama Islam. Sedangkan pemeluk agama lainnya yaitu Kristen, Katholik, dan Buddha tidak ada di desa ini. Meskipun agama Hindu adalah agama yang paling banyak penganutnya di Desa Budakeling warga masyarakatnya penuh dengan toleransi.
Kenapa ya?
Hal itu lantaran latar belakang historis, dimana pada masa pemerintahan Raja Waturenggong sekitar abad ke-15 seorang pendeta Buddha yang bernama Dang Hyang Astapaka berasal dari daerah Keling, Jawa Tengah datang ke Bali dan akhirnya bisa dipertemukan dengan Kiai Jalil yang berasal dari Kerajaan Islam Demak di Desa Budakeling dalam satu kasus sapi warak (gila) yang sering mengamuk dan mengganggu pemukiman rakyat di Kerajaan Gelgel untuk dibunuh dan sebagian dijinakkan oleh utusan Raja Demak yang dipimpin Kiai Jalil. Kiai Jalil beserta anak buahnya yang membantu tanpa pamrih melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai wujud bhakti kepada Raja Waturenggong sehingga mendapat hadiah dari Raja Waturenggong dan Raja Karangasem berupa bagian tanah di Saren Jawa yang kini dipakai sebagai tempat tinggal masyarakat Saren Jawa secara turun-temurun.
"Leluhur kami sejak awal mengajarkan hidup rukun dan damai serta saling membantu dan menolong satu sama lain, meskipun berlainan agama" ujar pemuka masyarakat setempat, baik dari kalangan Islam maupun Hindu. Mereka bisa hidup berdampingan dengan damai walaupun historis mereka berlatar belakang politis.
Masyarakat Saren Jawa yang seluruhnya beragama Islam, uniknya mereka berkomunikasi dengan Bahasa Bali halus terhadap siapa saja, apalagi terhadap kaum Brahmana Buddha yang sangat mereka hormati demikian juga sebaliknya. Apabila ada upacara yadnya terutama upacara yang berkaitan dengan Ida Peranda di Gria (di rumah kaum Brahmana Buddha), maka masyarakat Saren Jawa akan ketog kemprong (masyarakat keseluruhan berduyun-duyun ngayah/bekerja secara tulus ikhlas) turut berpartisipasi.
Masyarakat Saren Jawa adalah masyarakat yang taat dan bhakti kepada kaum Brahmana Buddha. Mereka menghormati budaya dan adat Bali dengan ikut menggunakan ikat kepala/destar/udeng dan memakai kamben sebagaimana busana orang Bali. Mereka menyesuaikan diri dengan budaya dan adat-istiadat setempat, namun mereka tetap mempertahankan keyakinan atau ajaran agamanya (Islam).
Masyarakat Saren Jawa juga pernah didatangi oleh kelompok Islam yang agresif, namun mereka tetap bertahan pada tradisinya dan tetap kuat serta loyal kepada kaum Brahmana Buddha di Budakeling. Hal ini membuktikan bahwa kesetiaan mereka terhadap Raja di jaman dahulu serta terhadap kaum Brahmana Buddha yang dihormati sudah tidak diragukan lagi sampai sekarang.
Beberapa keunikan lainnya yang ada pada masyarakat Saren Jawa di Desa Budakeling Karangasem adalah dengan adanya Al Qur’an tua yang berhuruf bali. Selain itu nama dari warga Kampung Saren Jawa ini menggunakan panggilan sebagaimana orang Bali. Misalnya, Ketut Ashari, Wayan Muhammad, Made Nurwahid, dan sebagainya. Mereka juga memiliki sarana-sarana kesenian seperti rebana, umroh, dan rudat yang dikombinasikan dengan lingkungan seperti doa-doa dengan bahasanya sendiri. Hal itu membuktikan bahwa mereka telah berakulturasi dengan budaya setempat sehingga melahirkan keunikan-keunikan tersendiri.
Sumber: google image
Selain menjaga tali persaudaraan antara kedua umat beragama, Kampung Saren Jawa ini pula turut menjalankan tradisi unik yang ada di Karangasem yakni megibung. Megibung yang merupakan tradisi warisan dari Raja Karangasem megibung ini dilaksanakan setiap Idul Fitri saat perayaaan usai puasa selama Ramadhan ataupun pada hari-hari besar Islam lainnya.
Selain tradisi megibung, ngejot (memberikan makanan/barang kepada orang lain) turut dilakukan oleh warga Kampung Saren Jawa kepada warga Hindu yang berada di sekitar lingkungan mereka pada hari-hari perayaan tertentu dan demikian sebaliknya dilakukan oleh warga yang beragama Hindu di Desa Budakeling.
Dua generasi muda di desa itu, Ida Bagus Adnyana yang beragama Hindu maupun Syarifudin yang beragama Islam, menuturkan mereka selama ini terus mempertahankan nilai-nilai yang bisa membuat kehidupan mereka mesra dan harmonis. Mereka juga menyatakan hal yang mirip bahwa kehidupan umat beragama yang mesra dan harmonis itu optimis tetap dapat dipertahankan pada masa-masa mendatang, karena satu sama lain mempunyai tanggung jawab dan kepentingan yang sama.
Hal ini menunjukkan dan sekaligus membuktikan bahwa toleransi, solidaritas dan penghormatan antara umat yang berbeda agama betul-betul dijaga dan masih eksis keberadaannya sampai sekarang di Desa Budakeling.
“Kalau kita bisa menangkap dari kebersamaan yang indah ini, agama hanyalah persoalan pribadi yang berkaitan dengan keyakinan. Sedangkan di luar itu ada masalah kekerabatan dan persaudaraan yang sangat universal dan manusiawi. Agama yang mengajarkan perdamaian dan menebarkan kasih sayang untuk sesama manusia, tak seharusnya menjadi sekat dalam kehidupan berbangsa. Masalah teologi atau keyakinan tak usah kita perdebatkan karena tak mungkin ada titik temu, semua akan mengaku paling benar” kutipan dalam salah satu tulisan Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.
Referensi :
http://m.liputan6.com/news/read/88416/saren-jawa-kampung-islam-bernuansa-bali
Komentar