Kulirik kalender di dinding, dan serta-merta sebuah kutukan meluncur begitu saja,

"Damn... sudah detik akhir di 2018 kah?"

Makin ke sini, aku rasa teori relativitas makin benar. Waktu itu relatif!

Ternyata, dengan makin bertambahnya angka di kue ulang tahun (if I still get any...) waktu terasa makin laju. Makin cepat berlalu! Jarak hangatnya mentari pagi di awal tahun, hingga berakhir di ufuk barat senja akhir tahun semakin sempit. Kilat saja! Apa engkau merasakan hal yang sama? Rasa di mana tahun baru kok rasanya sudah cepat datang, kalau tak mau dibilang terlalu cepat?

2018. Tahun yang banyak cerita.

Namun, tak ada yang kuceritakan.

Tidak di blog ini. Postingan tulisanku malah nihil. Di kulkulbali, maupun blog pribadi.

Sayang sekali...

Apa pasal?

Aku bisa membuat sejuta alasan. Dua juta juga bisa. Namun itu yah, cuma fuckin alasan. Aku yang malas menulis sekadar berlindung pada dalih sok keren.

Bisa saja aku berkilah, "Ugh, kesibukanku terlalu padat. Santai aja tak sempat, apalagi duduk di depan laptop dan menulis..."

Namun dengan mudah alasan klasik itu dipatahkan hatiku sendiri. "Jangan sok begitu, ah Wo! Dahlan Iskan aja masih selalu sempat menulis. Tiap hari pula! Kau mau mengaku lebih sibuk daripada pemilik koran skala nasional yang habis transplantasi hati? No shit!"

Mungkin, salahku ada di tempat lain. Kadang kuingin tulisanku begitu sempurna. Tanpa cela. Macem biografi daripada Bapak Suharto, maupun jurnal ilmiah dengan materi dan kurasi mendalam. Tidak kacangan. Bagus? Ndak juga. Alhasil, semua ide yang awalnya semangat kutulis itu ngendon di draft. Kisah tentang Soundrenaline, album baru SID, kisah Aji di rumah sakit, semua teronggok tak beranjak dari draft.

Sayangnya, aku memandang blogku sendiri sebagai etalase adiluhung. Yang tanpa sadar membuatku takut mengotorinya. Padahal, dulu aku memandang blog sebagai taman bermain.

Sebuah taman kecil tempatku berkeluh kesah. Bercerita tentang naifnya diri ini dalam rangka menentang dunia. Semacam kamar pribadi, yang tentu aku sukai. Di sana, aku bebas memuntahkan apa saja. Agar ia jadi mesin waktu, pembuatku eling akan pengalaman lampauku di masa depan.

Aku ingat perasaanku saat menulis dahulu.

Duduk di depan laptop, kepala dan hati meledak-ledak penuh janji, "oke dunia, akan kulawan engkau sekarang!" Perasaan yang menyenangkan, meski kuakui berat dilakukan.  Butuh tekad, butuh niat yang bulat.

Seperti aku saat memandang mentari terbit. Kalian bisa bayangkan betapa menggodanya menunda barang lima menit untuk bangun pagi itu? Haha... snooze!

Dalam hal menyaksikan mentari terbit, bila kupaksa mata dan niat ini, nikmatnya jauh lebih berlipat. Mentari hangat yang mengintip-intip di ufuk timur, langit gelap yang misterius namun menyegarkan, yang menjanjikan kita cahaya terang asalkan bersabar. Bersabar untuk bangun, bersabar untuk menanti.

Matahari pagi selalu menyenangkan, namun jarang didapatkan. Jarang diagungkan anak indie pemuja senja, Sunset begitu dipuja mungkin karena memperolehnya tak perlu usaha seberat bangun pagi.

Mungkin menulis itu seperti melihat mentari pagi ya? Sama-sama butuh tekad, sama-sama berat, namun bila berhasil ditaklukan, sensasinya begitu menyenangkan!

Lalu, aku ingin merasakan sensasi itu.

Lagi, seperti dulu. Agar aku bisa menepis sendiri pertanyaan pribadi yang senantiasa mengejekku tiap membuka Chrome atau Firefox...

"Hey... apa kabar blogmu dan Kulkulbali? Benar-benar ingin hidup, atau sekadar menolak mati?"

 Nah, ayo ngeblog lagi.

Ayo bercerita lagi!

 

Oiya, foto di atas adalah salah satu mentari terbit terindah yang kulihat di 2018.

Ruteng, the night before Christmas

di tengah jeduran mercon dan kembang api