Dalam suasana perubahan musim dari panas ke penghujan, masyarakat Hindu di Bali memasuki periode yang dikenal sebagai sasih, dan salah satunya adalah sasih ka-enem. Bulan Oktober hingga Desember menjadi momen penting, di mana masyarakat Gumi Kebonkuri Kesiman bersiap-siap untuk menghadapi persembahan Pecaruan Nangluk Merana.

Sasih ka-enem dianggap sebagai periode keramat, dikenal dengan potensi munculnya Grubug (penyakit), sasab/ merana (wabah/virus), dan Gering (kondisi kekeringan / kematian). Di Denpasar Timur, desa adat Kesiman, khususnya wilayah Gumi Kebonkuri, menghadirkan tradisi unik bernama Ngerebong. Selain itu, Gumi Kebonkuri Kesiman, sebuah pergabungan empat banjar adat di desa Kesiman, memiliki tradisi mepeed banten yang menjadi kekhasan tersendiri.

Menjelang Sasih ka-enem, masyarakat Hindu di Gumi Kebonkuri Kesiman bersiap dengan persembahan berupa caru, sebagai wujud bhuta yadnya untuk menyelaraskan alam dan manusia. Tanggal 12 November 2023 menjadi puncak pelaksanaan mecaru nangluk merana, dan Gumi Kebonkuri Kesiman telah memulai persiapannya sejak 8-9 November lalu. Proses persiapan melibatkan empat banjar adat dengan fokus di Banjar Kebonkuri Tengah Kesiman, mencakup latihan menabuh, menari, rapat oleh prajuru, dan koordinasi dengan pengelingsir serta kelian gede Gumi Kebonkuri.

Ghana, atau Ketut Mudhita, S.Sos., Kelian Gede Gumi Kebonkuri dan Ketua Pecalang Gumi Kebonkuri, menjelaskan bahwa mecaru pada tanggal 12 November 2023 adalah bagian dari bhuta yadnya terkait dengan sasih kelima menuju sasih enem. Prosesi mecaru dianggap penting sebagai persembahan kepada bhuta kala untuk menjaga ketentraman manusia. Sejarah mecaru ini terkait erat dengan kepercayaan bahwa pada sasih kelima hingga sasih enem, bhuta kala mencari tumbal di wilayah pesisir pantai. Oleh karena itu, mecaru dilaksanakan pada malam sasih kelima untuk memberikan persembahan pertama kepada bhuta kala, sehingga tidak mencari tumbal manusia.

Kegiatan mecaru di Gumi Kebonkuri Kesiman melibatkan seluruh lingkungan, mulai dari rumah tangga hingga masing-masing banjar. Dimulai pada waktu sandikala (magrib), dianggap sebagai waktu yang tidak baik untuk kegiatan rutin karena diyakini sebagai saat berkeliaran mahluk halus. Mecaru di Gumi Kebonkuri dimulai pada malam hari, mulai pukul 20.00 hingga 00.00 dini hari, dengan acara sesolahan dan napak caru yang disebut Panca Sata Madurga.

Prosesi mecaru tidak hanya menjadi persembahan kepada bhuta kala, tetapi juga mencakup prosesi mepajar setelah piodalan di Pura Khayangan. Ghana menjelaskan bahwa mepajar setelah piodalan memiliki makna ungkapan rasa syukur dan pesan untuk memperbaiki kekurangan pada piodalan berikutnya. Sementara mepajar pada mecaru sasih enem fokus untuk mentralkan lingkungan kebonkuri dan menolak bala agar tidak merusak tatanan kehidupan manusia.

Sebagai desa tertua dengan jumlah penduduk yang banyak, Gumi Kebonkuri Kesiman memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan mecaru dengan efisien. Banjar Kebonkuri Tengah dipilih sebagai pusat kegiatan, dan anggaran tahunan mencapai Rp. 25.000.000, dengan kontribusi dari masing-masing empat banjar serta dukungan dari Banjar Bhuana Anyar dan Banjar Buaji Anyar.

Tradisi mecaru nangluk merana di Gumi Kebonkuri Kesiman bukan hanya warisan budaya, tetapi juga menjadi bentuk penghormatan dan rasa bhakti masyarakat Hindu terhadap lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Melalui persembahan ini, mereka berharap dapat menjaga keseimbangan antara alam dan manusia, serta mendapatkan keselamatan dari bhuta kala dan segala hal negatif yang dapat mengganggu kehidupan mereka.