Memakan Ayam Hidup-hidup Hingga Menusukan Keris ke Tubuh, Kok Bisa?

(Mengenal Ngunying/Ngurek di Bangli) 

 

       Berbicara tentang bali, erat kaitanya akan pariwisata budayanya. Budaya dan agamanya menyatu menjadi satu tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dibedakan. Itu semua merupakan anugerah yang diberikan Sang Pencipta yang diwariskan turun temurun oleh nenek moyang. Banyak budaya Bali yang sudah dikenal oleh masyarakat di dunia, karena memiliki taksu tersendiri. Namun bagi kita yang hidup dijaman serba modern ini, muncul banyak keingintahuan kita mengenai sisi lain dari tradisi budaya kita yang selama ini kita laksanakan dan lestarikan. Salah satunya mengenai Kerangsukan (Trance), beberapa orang bali percaya akan energi/kekuatan  dari dimensi yang berbeda tersebut karena disisi lain banyak hal misterius yang menarik untuk diketahui seperti halnya Tarian Ngunying-ngunyingan/ngurek.

Apa itu Ngunying-ngunyingan?

undefined

SUMBER: [email protected]

Ngunying-ngunyingan/ngurek sejenis dengan Barong & Keris Dance yang dipentaskan di sebuah panggung hiburan yang ada di daerah pariwisata seperti didaerah Ubud, Sanur, GWK (Garuda Wisnu Kencana) yang tujuannya untuk menghibur wisatawan yang datang k­­e Pulau Dewata. Ngunying ini merupakan suatu pertunjukan yang sangat sakral antara seni dan magis. Mengapa demikian, ngunying atau ngurek yang berarti lobangi atau tusuk, ngunying dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh seperti dada, perut, bahkan gusi mulut menggunakan keris saat si penari berada dalam kondisi tidak sadarkan diri/ kerasukan (trance). Hal yang membedakan Ngunying dengan Keris Dance pada umumnya yaitu dari segi jenis tariannya, Keris Dance merupakan golongan jenis tarian Bebalihan, yang merupakan jenis tarian yang sifatnya hiburan, dapat dilaksanakan kapan saja dan dimana saja dan terbaku berdasarkan sebuah cerita rakyat seperti Sunda Upasunda, Dukuh Suladri atau cerita penyalonarangan lainnya. Sedangkan, Ngunying tidak terikat dengan sebuah cerita, namun biasanya ditarikan secara spontan oleh orang-orang tertentu yang telah diberikan restu atau sebagai pengiring dari Bhatara Sesuhunan baik dalam wujud Barong, Rangda, atau Tapakan-tapakan lainnya yang disembah/ disungsung oleh masyarakat yang ditranformasi melalui energi-nya yang dapat membuat si penari tidak sadarkan diri/ kerasukan. Tarian ini bisa dikatakan sekaligus kedalam 3 golongan tari yang ada di Bali yaitu Wali, Bebali, dan Bebalian.

undefined

SUMBER : [email protected]

            Dibali, ada beberapa desa yang terkenal akan tarian Ngunyingnya, salah satunya yang ada di Desa Serokadan terletak di Kabupaten Bangli. Sejarah Ngunying yang ada di desa Serokadan tidak dapat diketahui dengan pasti, namun masyarakat percaya bahwa hal tersebut ada sejak metanginya (dibuatnya) pelawatan/tapakan sesuhunan-sesuhunan yang ada di desa Serokadan yang diberi anugerah oleh Ida Bhatara Lingsir yang melinggih (berstana) di Pura Penataran Puseh Serokadan sebagai penglingsir atau bisa disebut sebagai orang tua dari seluruh sesuhunan yang ada di Desa Serokadan. Di Desa Serokadan ada 3 pelawatan/ sesuhunan yang memiliki pengayah ngunying-ngunyingan. Pertama Ida Bhatara Anom dan Ida Bhatara Alit yang melinggih di Pura Merajan Pakusara Serokadan, tidak diketahui kapan di buat (metangi) tetapi ida merupakan putera tertua dari Ida Bhatara Lingsir, dan mempunyai pengayah ngunying-ngunyingan sejak dulu yang diberikan anugerah oleh Ida Bhatara Lingsir. Selanjutnya Ida Bhatara Mas yang merupakan puteri Ida Bhatara Lingsir dan mendapatkan anugerah pengayah ngunying-ngunyingan oleh beliau. Menurut informasi dari I Dewa Made Mangku Tapakan yang merupakan salah satu pemangku/ penglingsir Pura, “ Pada tahun 1960-an Ida Bhatara Mas nunas hyang Ratu Brerong di Pura Bukit Bitera dengan tujuan menyempurnakan pengayah ngunying-ngunyingan dan pada saat itu penglingsir/pemangku Pura Merajan Agung merupakan kakek beliau yang bernama Dewa Kompyang Mangku-Pucak Sari (Alm). Dan yang terakhir dari putera Bhatara Lingsir yaitu Ida Bhatara Ratu Tameng yang melinggih (berstana) di Pura Dalem Mesi dan ida metangi pada tahun 1965. Ida meminta (nunas) hyang untuk pengiring ngunying-ngunyingan di Pura Manik Gni Serokadan dan tentu saja atas restu dari Ida Bhatara Lingsir. Jadi di Desa Serokadan itu sendiri ada 3 Pura yang memiliki pengiring Ngunying/Daratan. Untuk itu Ngunying tersebut tidak bisa dipentaskan dengan sembarang, selain resikonya tinggi dan wajib menggunakan bebantenan seperti: Sorohan,  Segeh Agung, Segehan Alit dengan jumlah 108, Laklak Tape, Pras Daksina, Tebasan.

         Ngunying-ngunying dapat dikaitan dengan keberadaan petapakan sesuhunan yang ada di desa Serokadan, karena sejatinya penari ngunying atau masyarakat lokal menyebutnya daratan, mendapatkan paice dari sesuhunan. Dalam arti lain sesuhunan/bhatara menunjukan keberadaanya kepada panjaknya/ damuhnya dengan mentransformasi energinya ketubuh manusia yang disebut pengiring. Kontak energi ini dapat membuat pengiringnya tidak sadarkan diri/kerasukan, sehingga sering melakukan hal-hal yang aneh yang tidak biasa dilakukan manusia pada umumnya. Seperti halnya Nebek/ ngurek menggunakan keris yang ditancapkan di tubuh penari tanpa merasakan rasa sakit dan luka sedikitpun, hal ini dipercayai sebagai bukti bahwa ida bhatara napak pertiwi (hadir ke bumi). Tidak sembarang orang yang bisa melakukan aksi seperti ini, karena sangat berbahaya jika tidak meminta restu (nunas ica) terlebih dahulu terhadap sesuhunan bhatara, jika beliau tidak berhendak dan orang yang bersangkutan nekad melakukan

undefined

SUMBER: [email protected]

dengan berpura-pura kerasukan maka besar kemungkinan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ketika kerasukan sifat bebutan akan muncul seperti memakan anak ayam hitam (pitik) hidup-hidup hingga tak tersisa. Telor Ayam, arak dan tuak. Ketika orang tersebut sedang memakan ayam hidup-hidup, darah dari ayam tersebut terasa manis, isi perutnya seperti mie instan, mereka yang ngunying, keesokan harinya tidak akan merasakan apa-apa dan kembali seperti keadaan sebelumnya. Hal inilah yang menjadi unik dari tarian tersebut, percaya gak percaya, bahwa ini menunjukan adanya, aktivitas makhluk lain yang dapat berkontraksi dengan alam manusia. Di Desa Serokadan Ngunying dapat dijumpai ketika Odalan-odalan Pura tertentu dan pada saat hari raya seperti Galungan dan Nyepi, ini merupakan tradisi turun-temurun yang sudah ada sejak dulu dan patut untuk kita lestarikan.