Prelude

Alkisah ada 5 ekor kera dikurung dalam kandang oleh pemburu. Di dalam kandang ada tangga yang diatasnya ditaruh seikat buah pisang. Karena merasa lapar, salah satu kera memanjat tangga tersebut. Namun sayang, saat mencoba memanjat tangga, si pemburu menghujaninya beserta empat kera lain dengan air yang sangat dingin. Saat kera kedua mencoba memanjat, si pemburu kembali menyiram semua kera didalam kandang dan seperti itu seterusnya. Sampai akhirnya kelima kera tersebut belajar dan tidak ada yang mau memanjat tangga itu lagi.

Suatu ketika, si pemburu menukar salah satu kera di kandang dengan kera yang baru. Kera yang baru tersebut sadar ada pisang dan mulai memanjat tangga. Keempat kera yang sebelumnya telah terbiasa dengan treatmen air dingin mencegah dan menghajar si kera baru. Kera baru yang tidak tahu tentang sejarah treatment kejam tersebut akhirnya berkesimpulan “memanjat tangga = dihajar”.

Satu lagi kera diganti dengan yang baru, kejadian sebelumnya terulang. Kera baru coba mencari pisang, kera-kera yang lain --bahkan yang sebelumnya tidak tahu tentang treatmen air dingin ikut antusias-- menghajarnya.

Kera ketiga yang diganti, kejadian tersebut terulang. Sampai akhirnya kera terakhir diganti dan kandang berisi lima ekor kera baru yang tidak punya pengalaman atau tahu tentang treatmen air dingin. Saat kera yang masuk paling terakhir hendak dihajar oleh yang lainnya ia bertanya “kenapa saya mau dipukuli?”.

Kera lainnya menjawab “nak mule keto..

 ****

Beberapa waktu lalu nampak jalanan di Bali penuh dengan kendaraan yang “dipoles” dan “dirias” sedemikian rupa dengan ulatan janur.

“Ada Pawai kah?”

undefined

Itu pertanyaan yang keluar dari mulut seorang kawan yang kebetulan saat itu sedang berlibur di Bali. Bagi orang Bali sih tentunya tidak akan heran karena pada hari itu bertepatan dengan hari Tumpek Landep, namun bagi pelancong tentunya hal tersebut sangat unik. Saat ditanya kenapa kendaraan yang “dirias” saat tumpek landep, rata-rata kita hanya bisa menjawab “nak mule keto / memang sepeti itu”. Kalimat “nak mule keto” umum digunakan oleh masyarakat Bali untuk menjawab pertanyaan yang biasanya terkait tentang adat. Penggunaan kalimat nak mule keto sudah membudaya dan diyakini berasal dari filsafat “Gugon Tuhon” yang sudah ada sejak dulu. Gugon Tuhon -- Gugon = gugu atau percaya, Tuhon/Tuwon = tuhu/tau/bijaksana-- memiliki arti percaya dengan/pada kebijaksanaan (orang yang dianggap bijaksana atau yang tau).

Filosopi Gugon Tuhon diyakini sebagai salah satu alasan kenapa orang Bali tergolong militan dalam ber-adat istiadat. Rasa percaya yang kuat terhadap yang tau dibangun turun temurun dan menghasilkan masyarakat yang setia dan solid menjunjung adatnya. Kita akan sadar betapa militannya orang Bali menjalankan adat saat ada perayaan ritual keagamaan. Walaupun perayaannya tidak murah, seluruh elemen masyarakat akan tumpah ruah berpartisipasi. Orang Bali yang ada di rantau pun tidak akan ikut absen merayakan seolah-olah mereka sedang berada di kampung halamannya. Cerita umum juga apabila saat seorang pemuda hendak pergi merantau ke daerah lain, orang tua yang melepas akan merasa lebih tenang jika tau daerah rantauan sang anak banyak orang balinya. Yang lebih hebat lagi, disaat yayasan World Wide Fund for Nature (WWF) memulai kampanye Jam Bumi (earth hour) dari tahun 2007 --kampanye mematikan lampu selama satu jam di hari Sabtu terakhir di bulan Maret--, orang bali, rutin setiap tahun, sejak abad ke-8 punya 24 jam khusus untuk Bumi yang disebut Nyepi. Kesemua hal tersebut orang bali laksanakan dengan ikhlas karena rasa percaya (gugon), kepada kebijaksanaan leluhur dahulu yang membangun pondasi masyarakat Bali (tuhon) hingga bisa sangat menawan.

Gugon Tuhon memang menjadi filosopi yang memperkuat kerangka adat, namun disaat Gugon Tuwon disederhanakan artinya menjadi nak mule keto, apakah ceritanya akan tetap sama?

Bali, sebuah pulau kecil ditengah hingar bingar globalisasi. Globalisasi membuat Bali memancarkan aroma kesempatan (opportunity) hingga orang-orang yang terbius dari berbagai sudut bumi datang dan membawa kebiasaan asalnya. Dari sudut pandang ekonomi efeknya sangat positif, namun dari sisi budaya dan tradisi tidak selamanya demikian. Sekarang saja kita sudah bisa merasakan akibat akulturasi budaya, seperti pemberian nama yang mulai kebarat-baratan dan/atau keindia-indiaan, gaya hidup hedonisme, yang paling sederhana; seberapa sering kita melihat anak-anak sekarang bermain permainan tradisional— alih-alih bermain gadget besar layaknya talenan. Apa yang kita semua takutkan adalah nantinya akan bisa timbul pergeseran budaya ke arah asimilasi, dimana budaya asal ditinggalkan dan digantikan oleh budaya baru.

Budaya “nak mule keto” akan menjadi bumerang untuk orang bali sendiri. “Nak mule keto” , ditengah pusaran arus globalisasi, tidak akan membawa Bali ke tempat yang lebih bagus, malahan membangun masyarakat Bali yang tidak peduli. Apabila ketidakpedulian tersebut terus dipupuk, asal usul (origin) suatu adat budaya akan pudar seiring waktu. Kelak disaat jawaban “nak mule keto” sudah menjadi sangat kolot dan sangat tidak memuaskan, siapa yang bisa janji Bali tidak akan tenggelam dalam krisis kepercayaan; orang-orang militan akan hilang karena tidak ada lagi orang bijak untuk dipercayai.

Di tahun 2002, oleh Pemerintah Bali dan para cendikiawan dari kelompok media yang sadar akan adanya pengikisan budaya, sebuah program cagar budaya yang namanya Ajeg Bali dicetuskan. Ajeg Bali berisi harapan agar melindungi Bali dari gempuran budaya luar yang masuk, salah satu doktrinnya adalah membangun kebanggaan menggunakan produk Bali.

Sejauh ini konsep Ajeg Bali pelan tapi pasti berhasil menyaring pengaruh dari luar, namun sayangnya tidak mengena pada akar sebenarnya; ketidakpedulian si nak mule keto. Nak mule keto mesti dikembalikan ke konsep aslinya; Gugon Tuhon, percaya pada yang bijaksana, mempercayai sesuatu dengan bijaksana. Menerapkannya tidak bisa dimulai tanpa adanya kepedulian, maka dari itu, demi Bali mari bersama-sama kita peduli dan bersama-sama menjadi bijaksana.