MAKARE-KARE;

PELANGI YANG MENGGAUNG

DI BALIK GALAU GUNUNG AGUNG

 

“Dunia adalah komedi bagi mereka yang melakukannya atau

tragedi bagi mereka yang merasakannya,”-Horse Walpole.

 

Menyusuri jalan setapak, menapaki pematang per pematang, mengantarkan setiap wisatawan menuju sebuah desa yang ada di pelosok timur Pulau Dewata Bali, yakni Desa Besakih, Kabupaten Karangasem. Ketika mendengar kata Besakih, maka yang terlintas di benak kita adalah destinasi wisata, pura, Telaga Waja, wahana arum jeram, dan pesona lainnya. Tidak hanya itu, frasa tersebut juga mengingatkan kita mengenai tragedi Gunung Agung yang telah menjadi headline dan trending topic di berbagai surat kabar beberapa bulan lalu. Seperti kutipan yang mengawali tulisan ini, bencana Gunung Agung adalah tragedi sekaligus komedi. Masyarakat seolah-olah dikomedikan (dipermainkan) dengan fluktuasi status dari siaga menjadi awas, kemudian awas menjadi siaga yang hingga kini menimbulkan keresahaan.

Fenomena Gunung Agung dapat disebut sebagai peristiwa teradrenalin sepanjang sejarah vulkanologi Indonesia. Pasalnya, pada tanggal 22 September 2017, Kepala PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), Kasbani,  resmi mengumumkan mengenai peningkatan status Gunung Agung. Tanpa pikir panjang, tanpa mengantongi uang, tanpa merisaukan warisan, seluruh masyarakat Karangasem berbondong-bondong menyelamatkan diri dan berlari ke lokasi pengungsian. Berdalih dari hal tersebutlah, pada tanggal 23 September 2017, Karangasem sepi takberpenghuni, pariwisata nampak mati suri, wirausaha takhidup lagi, begitu pula dengan siswa yang mulai meliburkan diri.

undefined

Sumber : Google Image

Ekspektasi pascaerupsi :“Bukan meriam, melainkan mutiara hitam”

Di salah satu akun media sosialnya, Wayan Sucitawati, mencurahkan unek-uneknya kehadapan publik.“Pemerintah ke mana? Uang rakyat dipakai untuk apa? Kami menderita. Kami kecewa. Kami tak tahu harus berbuat apa. Kami akan hidup dengan cara apa? Destinasi wisata sepi. Tourist tak kunjung kemari. Hotel-hotel merugi. Warung-warung tak menampakkan diri. Penduduk kecil seperti kami hanya bisa berdiam diri dan menunggu solusi pasti dari petinggi. Tolong, dengarkan suara hati kami.” Saya yang membaca kalimat tersebut, ikut terbesit dan tertegun memikirkan kemungkinan buruk lainnya jika erupsi eksplosif Gunung Agung terjadi. Namun, seketika ekspektasi tersebut sirna ketika salah satu desa baliage di Kabupaten Karangasem tetap menyunggingkan eksistensinya. Desa tersebut adalah Desa Tenganan. Meskipun Karangasem sempat mengalami Galau (Gempa, Lahar, Abu) Gunung Agung yang sifatnya fluktuatif, wisatawan domestik maupun mancanegara yang menginjakkan kakinya di Desa Tenganan tetap padat merayap. Sehingga, metafora mengenai meriam muntahan erupsi Gunung Agung yang dibayangkan masyarakat akan menimbulkan kerugian dan meluluhlantahkan Karangasem seketika lenyap. Metafora tersebut kini bertransformasi menjadi ‘mutiara hitam’ yang memberikan sejuta kemudahan dan keuntungan, khususnya bagi Desa Wisata Tenganan. Keinginan wisatawan untuk melihat Tenganan lebih dekat takterbendung walaupun kondisi Gunung Agung belum normal. Nama besar Tenganan, yang kaya dengan segala kulturnya, telah menutup ketakutan-ketakutan itu. Salah satu kultur yang termahsyur adalah tradisi Makare-kare.

Kemashyuran tradisi Makare-kare (perang pandan) tercermin dari sejarah lahirnya tradisi ini. Konon, seorang raja yang serakah bernama Maya Denawa memerintah Kerajaan Bedahulu. Ia tidak mengizinkan warganya menyembah Tuhan, menjadikan dirinya sebagai Dewa untuk disembah, dan melarang warganya untuk melakukan upacara keagamaan. Kemudian, meletuslah perang hebat di antara Dewa Indra dan Maya Denawa yang dimenangkan oleh Dewa Indra. Karena wilayah kerajaan dianggap leteh (kotor), setelah tewasnya sang raja yang serakah tersebut, upacara penyucian dilaksanakan dengan kurban seekor kuda. Terpilihlah seekor kuda putih milik Dewa Indra yang bernama Oncesrawa. Kuda ini dianggap sebagai makhluk yang sakti dan diyakini muncul dari laut dengan ekornya yang panjang menyentuh tanah. Ketika kuda mengetahui bahwa dirinya akan menjadi kurban, maka ia melarikan diri sampai ke wilayah Karangasem yang sekarang bernama Tenganan (Nuryati, 2013). Dewa Indra menugaskan para Wong Peneges atau prajurit untuk menelusuri keberadaan kuda putih tersebut. Pada akhirnya, kuda itu ditemukan telah mati serta menjadi bangkai di wilayahTenganan ini. Kemudian muncullah sabda Dewa Indra pada Wong Peneges untuk menganugerahkan atau menghadiahkan tanah seluas bau bangkai kuda dapat tercium. Hal inilah yang menjadi landasan mengapa Mekare-kare (perang pandan) tetap dilaksanakan oleh warga setempat hingga saat ini, sebagai persembahan dan penghormatan kepada Dewa Indra yang telah berperang melawan Maya Denawa dan menghadiahkan tanah kepada warga Tenganan.

Tokoh Adat Desa Tenganan, Wa Kabayan Wayan Pastika, menuturkan bahwa meningkatnya wisatawan yang berkunjung ke Desa Tenganan pasca Galau (Gempa, Lahar, Abu) Gunung Agung disebabkan oleh tradisi Makare-kare yang menjadi magnet bagi mereka untuk mengenal Desa Adat Tenganan sebelum menyaksikan kemegahan tradisi makare-kare pada Bulan Juni 2018.

Tradisi makare-kare adalah tradisi perang yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Desa Tenganan. Perang yang dimaksud di sini bukanlah perang bersenjatakan pedang dan pisau, serta mengandung unsur yang menakutkan, menyakitkan, dan menegangkan. Makare-kare (perang pandan) adalah satu-satunya perang yang dilakukan dengan senyuman dan berakhir dengan kedamaian. Aneh memang jika mendengarnya, namun ketika seseorang menyaksikan Makare-kare ini secara nyata, mereka akan menemukan nuansa magis dan spiritualis yang luar biasa.

undefined

Sumber : Google Image

Perang yang tidak biasa ini menjadi kebanggaan warga di Desa Tenganan, Karangasem. Perang Pandan dilaksanakan setiap bulan Juni dan diikuti hampir 200 peserta. Masing-masing peserta berhadapan dan dipimpin oleh seorang wasit, biasanya orang yang dituakan dalam Makare-kare.

Makare-kare dimulai pukul 14.00 WITA, dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pagringsingan), untuk pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng). Rangkaian acaranya diawali dengan ritual mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, lalu diadakan ritual minum tuak (Dwijendra, 2009:45). Tuak adalah minuman tradisional yang sangat populer di kalangan masyarakat Bali yang terbuat dari nira pohon enau.

SaatMakare-kare dimulai, dua pemuda akan saling menyerang dan saling memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dahulu lalu meng-geret-nya (menggosokkan ke punggung). Sebagai penyemangat, Makare-kare  diiringi oleh gamelan yang ditabuh bertalu dengan tempo cepat.

Yang membuat unik dari perang ini adalah senjata yang dipakai, tidak berupa senjata tajam, melainkan dengan daun pandan berduri yang digunakan untuk melawan saat pertandingan. Kedua kubu yang akan berperang bergumul dan meng-geret-kan pandan di punggung lawan hingga berdarah-darah. Dari perjanjian, mereka dilarang meng-geret-kan pandan ke wajah. Meskipun bertarung dalam pergumulan, kadang ada keceriaan berupa pekik untuk menambah semangat. Makare-kare ini juga mengajarkan sportivitas dengan bertaburan spirit keberanian, kebersamaan, dan kegembiraan.

Bisa dibayangkan perihnya kulit terkena pandan yang berduri, belum lagi darah yang menetes dan bercucuran tiada henti, sungguh menyiksa bagi yang melihat. Namun, perang akan tetap berkumandang sebelum ada aba-aba berhenti dari tetua. Menjadi sebuah kepercayaan di Desa Tenganan, jika pemuda yang melaksanakan Makare-kare (perang pandan) ini tidak sampai mengeluarkan darah, dianggap belum jantan. Tiada api kemarahan, dendam, atau tangis penyesalan yang terngiang di hati mereka. Senyuman kecil tersungging di bibir para pemuda. Mereka puas telah berperang melawan ketakutan, amarah, dan melawan emosi yang sejatinya tidak pernah jauh dari diri manusia.

Makare-kare bukanlah sebuah pertarungan antara kalah dan menang, melainkan lebih mengacu pada makna semangat melindungi desa dalam menghadapi bahaya dan difokuskan pada upaya untuk memupuk semangat nasionalisme dan patriotisme. Spirit Makare-kare adalah penghormatan terhadap Dewa Indra yang diyakini sebagai dewa perang dalam agama Hindu. Hal inilah yang menjadi magnet ampuh bagi wisatwan untuk menjajaki Desa Tenganan.

Menelisik begitu kompleksnya keunikan dari tradisi Makare-kare yang menciptakan pelangi di kala erupsi, mengundang wisatawan di kala situasi yang rawan, menjadi mutara hitam bagi masyarakat Tenganan yang menggantungkan mata pencaharian di sektor pariwisata, maka sudah sepatutnya tradisi ini tetap dipertahankan eksistensinya. Seperti kata pepatah, “Jika kegagagalan bagaikan hujan dan kesuksesan bagaikan matahari, maka kita perlu keduanya untuk melihat pelangi.”Poin penting yang dapat kita petik dari kalimat tersebut adalah kesuksesan akan hadir setelah kegagalan, apabila kita memiliki senjata yang dapat mengundang pelangi (keindahan). Begitu pula dengan Makare-kare. Makare-kare hadir sebagai tasbih budaya Desa Tenganan yang dapat menggaungkan pelangi pariwisata hingga ke luar dunia dan menghidupkan kembali pariwisata yang sempat mati suri.

 

Referensi :

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2009. Arsitektur & Kebudayaan Bali Kuno.

            Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa.

Nuryati. 2013. Tradisi Perang Pandan (Mekare-Kare) Bali Aga Desa Tenganan.

            Tersedia di : http://hikarianakkreatif.blogspot.co.id/2013/09/tradisiperang-

            pandanmekare-kare-bali.html