"Pertemuan dan perpisahan datang silih berganti, tapi kita tidak pernah terbiasa.."
Sebuah kalimat yang selalu menghantuiku belakangan ini.
Sebuah pertemuan yang membuatku mengalami perpisahan yang begitu berat hingga aku hanya dapat menghela napas karena aku tidak dapat melakukan apa-apa karenanya...
Sebuah kota, Sore hari...
Di atas counter sebuah bar langgananku Segelas bir dingin menemani sore hariku yang panas. Tegukan yang sangat menyegarkan melarutkan sebagian penat yang kurasakan setelah bekerja sejak pagi. Seperti biasa aku melamun memandang sekeliling, pemandangan yang menyejukkan, pool side bar, kolam renang yang dikelilingi kebun hijau yang tertata rapi, beberapa anak-anak sedang bermain dengan ceria di kolam anak-anak. Hanya sesosok wanita yang sedang berenang di kolam dewasa, wajahnya tidak nampak -aku tidak menggunakan kacamataku, dan terlalu lelah untuk mengambilnya di mobil-.
"Dia cantik sekali boss, sudah menginap di sini sekitar 4 hari, katanya sih model" Kata bartender yang menyadari aku berusaha memperhatikan wanita itu tapi gagal karena tidak menggunakan kacamata.
"Mungkin nanti habis renang dia mau minum di sini, aku tunggu aja, siapa tau dapet kesempatan ngobrol." balasku sambil bercanda.
Kulanjutkan meneguk minumanku, dan memesan makanan, perutku lapar, aku lupa bahwa aku belum makan sejak pagi.
Waktunya hampir berbarengan, entah itu suapan pertamaku, atau suara lembutnya, "enak? kalo enak aku juga mau pesen itu".
"enak, enak banget, ini menu favoritku di sini, selalu pesen ini sih" jawabku setelah berusaha keras untuk menelan makanan dalam mulutku dengan kecepatan cahaya.
Parasnya, yah bisa dibilang cantik, tapi tidak sangat cantik, yang luar biasa adalah senyumannya..
"Mega.." katanya sambil menawarkan jabatan tangan,
"Indra.." seraya menjulurkan tanganku. Sebuah genggaman lembut dan dingin kurasakan, mungkin akibat berenang terlalu lama.
Percakapan kami berlanjut hingga petang, dan diakhiri dengan deringan telepon genggamku, aku dipanggil ke tempatku bekerja, ada beberapa hal yang harus aku bereskan.
Sambil berpamitan aku menanyakan berapa lama lagi dia berlibur, dan kami bertukar kontak, dengan janji untuk kembali bertemu dan mengantarnya jalan-jalan.
Itulah pertemuan, sebuah rahasia semesta, yang kadang suka bercanda.
3 minggu selama Mega di Bali, kami sering bertemu, jalan-jalan kesana kemari, kadang tanpa arah yang jelas, dia memiliki hobi yang unik, jalan-jalan dalam arti yang sebenarnya, hanya jalan-jalan, di jalan, dalam mobil ataupun motor. Bukan ke sebuah objek wisata atau mall.
Kadang sangat melelahkan, kami berkendara belasan jam, hanya di dalam mobil, berhenti hanya untuk makan, dan buang air atau beli cemilan. Tapi aku tidak pernah sekalipun merasa bosan menemaninya, dia selalu bisa membuatku tertawa dengan tingkah lakunya, dan dengan senyumannya, dia membuatku nyaman. Hanya dalam beberapa hari aku mulai terbawa hal yang paling berbahaya dalam tubuhku. Perasaan. Ya, hanya dalam beberapa hari, tingkah laku dan kebersamaanku dengan Mega membuatku jatuh hati kepadanya. Tidak berani kuungkapkan, hanya kupendam, karena aku takut bila Mega tidak merasakan hal yang sama kepadaku.
Siang hari sekitar pukul 1, aku datang untuk menjemputnya, hari itu adalah hari Mega akan pulang ke kota asalnya, liburannya telah berakhir. Sebuah perpisahan, yang membuatku sedih, tapi belum apa-apa, aku belum terlalu terikat olehnya. ITU PIKIRKU.
Hari selanjutnya aku berusaha untuk berlaku biasa saja, tapi ternyata perpisahan dengan Mega memberikan dampak yang cukup besar bagiku, aku sering uring-uringan, dan tidak fokus saat bekerja. Kami masih berhubungan di udara, dengan banyaknya media sosial yang ada saat ini, bercakap-cakap secara langsung bukanlah hal yang susah. Tapi aku kehilangan, kehilangan momen saat dia tersenyum kepadaku setelah melakukan hal konyol, atau sekedar mengabulkan permintaanku untuk tersenyum. Aku sangat kehilangan.
3-4 hari setelah dia pulang, aku terbangun oleh nada deringku yang sangat mengganggu, masih pukul 6 pagi, orang biadab mana yang membangunkanku sepagi ini.
Saat kulihat layar telponku, nama itu membuatku terjaga penuh, Mega. Mungkin ada hal penting hingga dia harus mengontakku sepagi ini.
"Paaagggiiiiii!!!" teriakan cerianya langsung membuatku tersenyum,
"iya pagii, apaan sih nelpon jam segini?" jawabku dengan sedikit malas, berpura-pura aku belum terjaga penuh.
"aku 2 hari lagi ke Bali!"
kalimat itu seketika membuatku tersenyum sangat lebar.
"seriusan? ngapain?"
"ketemu kamu." LAngsung ditutup. -_-
hari itu menjadi terasa lebih cerah dari biasanya, aku bekerja dengan semangat, dan penuh senyuman, walaupun aku tidak sempat kontak lagi dengan Mega karena hari itu aku sangat sibuk.
Aku akan bertemu Mega lagi.
Kujemput dia di bandara, dan seperti yang kuinginkan, sebuah senyuman langsung diberikannya begitu melihatku.
Hari-hariku kembali menyenangkan, dan berwarna. Aku bisa menemuinya setiap saat, dan dengan mudah. Dia ke Bali benar-benar untuk menemuiku saja.
Aku tidak menyadari, saat ini semesta sedang merencanakan sebuah lelucon yang sangat tidak lucu untukku.
2 hari sebelum Mega pulang ke kotanya, aku mengajaknya pergi ke pantai, yang selalu diocehkannya bila ada di mobil.
"aku mau ke pantai liat sunset, yang pasirnya putih, tapi sepi, ga suka rame, trus aku mau foto yang banyak" ujarnya ramai.
"iya, sekarang ke pantai"
Sampai di pantai Mega menarik tanganku, dan kami berjalan menyusuri pantai sambil bercanda, dan tentu saja dengan kegiatan favoritnya, foto, aplod, foto, aplod, foto, aplod, begitu seterusnya sampe lebaran Haji.
Lelah, kami pun duduk, aku mulai merenung, hari-hari ini terlalu menyenangkan, terlalu nyaman, dan terlalu membuatku terbawa perasaan. Lamunanku buyar oleh balutan tangan Mega, dan isak tangisnya.
Demi Tuhan, aku sangat terkejut.
"kamu kenapa nangis?, aku ada ngapain emangnya?" tanyaku heran.
"gak apapa, aku cuma sedih" hhhhhh, wanita, jelas-jelas nangis, pasti ada apa apa,
"ya kenapa sedih?"
"aku 2 hari lagi pulang, trus mungkin ini terakhir kalinya ke Bali, kalopun ke sini lagi, mungkin lama banget... Aku sedih bakal susah ketemu kamu lagi,"
Aku hanya bisa terdiam, ini dia, ini adalah lelucon semesta yang paling menyebalkan. Kami dibuat bertemu, dibuat nyaman, hanya untuk berpisah dan bersedih. Hebatnya, semua itu hanya dalam jangka waktu yang sangat singkat, kurang dari 2 bulan.
"tenang, klo kamu ga bisa ke Bali, aku yang akan cari kamu, ke mana aja. Jangan nangis lagi"
Kalimat itu tidak bisa membuat Mega berhenti menangis, dia masih tetap terisak selama beberapa menit.
Aku kehabisan kata-kata, karena aku juga memiliki pikiran yang sama dengannya, pikiran bahwa kami tidak bisa bersama-sama lagi.
Setelah Mega tenang aku mengajaknya pulang, sepanjang perjalanan dia sudah mulai ceria setelah aku berulang kali meyakinkannya bahwa minimal setiap 2 bulan aku akan mengunjunginya, dan dalam hati aku memang bertekad seperti itu, bukan sebuah omong kosong belaka.
2 hari itu terasa begitu pendek, hingga akhirnya aku mengantarkan kepulangannya sampai di bandara.
"bener ya, kamu kunjungi aku sering-sering" katanya dengan mata berkaca-kaca
"iyaa, aku janji, kamu hati-hati ya, kabari aku klo udh sampe."
Balasku, aku tidak ingin terlalu lama ngobrol, karena air mataku sendiri sudah akan tumpah. Mega merupakan keberadaan yang terlalu membuatku nyaman, dan perpisahan ini terlalu berat untukku.
"sebelum dia berbalik pergi, kuraih dia, kupeluk erat, "Aku sayang kamu" hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan untuk terakhir kali.
"aku juga sayang kamu" balasnya dengan air mata yang mengalir dari matanya.
Berbalik pergi, aku tetap meandangi punggungnya, sesaat sebelum dia masuk ke lorong yang tidak dapat kulihat, Mega menoleh, dan melayangkan senyumannya. Senyuman yang membuatku jatuh hati padanya, senyuman yang tulus, dan membuatku sangat kehilangan.
Kubalas senyumannya dengan lambaian tangan. "Sampai jumpa Mega, sampai jumpa. Ini bukan selamat tinggal" Kataku dalam hati.
Mobilku terasa sepi, tidak ada lagi tingkah laku konyol dan senyuman dari Mega, dan itu benar-benar menyesakkan. Aku sangat kehilangan.
Saat itu, Semesta benar-benar sukses menyutradarai lelucon untuk kisah hidupku.
Pada akhirnya, pertemuan dan perpisahan memang datang silih berganti, dan kita tidak akan pernah terbiasa.

 

Picture : kingofwallpapers.com