Apa yang terlintas di kepala kita jika mendengar kata “tahun baru”?
Mungkin dalam sekejap pikiran kita akan terbawa pada sebuah kemeriahan perayaan tahun baru, atau dentuman musik yang keras diiringi dengan dentingan khas botol bir, atau bisa juga yang terbayang adalah ledakan indah ratusan kembang api yang menari-nari di langit disambut tiupan terompet - terompet yang saling bersahutan.
Hmmm…. Kalau dipikir-pikir, rasanya memang sulit melepaskan kata “tahun baru” dari hal-hal yang berbau perayaaan meriah. Namun, tidak demikian dengan perayaan tahun baru di Bali, yaitu Tahun Baru Saka atau yang lebih dikenal dengan nama Nyepi. Perayaan Nyepi justru dilakukan dalam kesunyian.
Saat Nyepi, Pulau Bali mengalami lumpuh total. Bagaimana tidak, saat Nyepi ada empat hal yang dilarang untuk dilaksanakan, yaitu:
- Dilarang untuk keluar rumah.
- Dilarang untuk menghidupkan api, lampu, dan semua alat elektronik.
- Dilarang melakukan aktivitas atau bekerja.
- Dan yang terakhir, masyarakat dilarang untuk membuat keributan dan kegaduhan.
Empat hal itu dilarang selama 24 jam yang dimulai pada saat matahari terbit hingga matahari terbit esok harinya. Jadi, wajar saja Bali yang biasanya begitu hiruk pikuk dan sangat padat oleh wisatawan, seketika menjadi sangat sunyi dan sangat gelap ketika hari raya Nyepi.
Namun, dibalik kesunyian Nyepi, muncul kegaduhan dari segelintir oknum yang tidak paham tentang perayaan Nyepi ini.
Kira-kira sudah 3-4 tahun belakangan ini, sejak sharing informasi dan berita berlangsung dengan lebih mudah, menjelang hari raya Nyepi selalu muncul pernyataan-pernyataan provokator yang mengecam perayaan Nyepi. Topik SARA semacam ini tentu saja dengan sangat cepat menyebar di masyarakat, baik melalui status media sosial, pesan broadcast, hingga kiriman foto-foto. Isi pernyataannya kurang lebih sama setiap tahunnya, Nyepi kan perayaan Hindu, kenapa Non Hindu di Bali dipaksa harus melaksanakan Nyepi.
Sekilas pernyataan itu masuk akal. Seperti yang kita tahu, agama itu adalah keyakinan masing-masing pribadi, jadi tidak ada yang boleh memaksakannya.
Masalah inilah yang coba diluruskan dalam artikel kali ini. Jika kita mau mencermati lebih dalam dan berpikir luas, sebenarnya masalah ini muncul karena ketidaktahuan dan salah kaprahnya masyarakat yang menganggap Nyepi adalah ritual agama Hindu, bukan sebagai tradisi budaya Bali.
Lalu mengapa orang Hindu menjadikan Nyepi sebagai ritual agamanya?
Harus dipahami, Agama Hindu memiliki satu karakteristik yang sangat unik, yaitu sifat agama Hindu yang sangat fleksibel. Fleksibel dalam artian melekat dan melebur menjadi satu dengan adat dan budaya di tempat tersebut. Sebagai contoh, ketika berkembang di India, Agama Hindu tersebut memiliki rasa khas India. Lalu setelah berkembang di Indonesia, agama Hindu tersebut memiliki rasa khas Indonesia. Sehingga Agama Hindu yang berkembang di seluruh dunia, baik itu di India, Indonesia, dan tempat lainnya, semuanya memiliki tata cara ritual yang berbeda sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan wilayahnya.
Keunikan itulah yang menyebabkan tidak ada perayaan Nyepi di India seperti yang dilaksanakan di Bali, karena Nyepi adalah adaptasi tradisi budaya asli Bali. Nyepi yang ada di Bali dahulu berkembang secara sporadis di beberapa desa di Bali. Disebut sebagai Nyepi Desa, karena khusus berlaku di desa tersebut. Di Kabupaten Buleleng misalnya, desa-desa yang melaksanakan Nyepi Desa adalah Desa Banyuning dan Desa Bukti. Di Kabupaten Karangasem Nyepi Desa dilaksanakan di Desa Tanah Ampo, Desa Datah, dan Desa Manggis. Selain Kabupaten Buleleng dan Karangasem, di Kabupaten Gianyar juga ada desa yang melaksanakan Nyepi Desa, yaitu Desa Buahan.
Selain Nyepi Desa, di Bali juga dikenal ada Nyepi Subak, yaitu ritual yang dilaksanakan dengan tidak melakukan aktivitas apapun yang berkaitan dengan pertanian pada suatu wilayah Subak. Ada juga ritual Nyepi Segara yang dilaksanakan dengan tidak melakukan sama sekali aktivitas di Laut pada saat perayaannya. Nyepi Segara merupakan tradisi yang masih dilaksanakan hingga saat ini oleh penduduk Kusamba dan penduduk Nusa Penida. Nyepi - Nyepi yang dilaksanakan di Bali dilatar belakangi pemikiran bahwa untuk keharmonisan bersama, alam dan lingkungan perlu diberi waktu jeda dari aktivitas-aktivitas manusia yang telah rutin dilakukan. Selain itu, Nyepi juga dikatakan bertujuan untuk antisipasi efek dari perubahan musim.
Setelah diadaptasi dengan gaya Hindu, perayaan Nyepi yang dilakukan oleh Hindu Bali memiliki rangkaian ritual yang lebih panjang, yaitu kurang lebih satu minggu, meliputi ritual Melasti, Tawur Agung, dan Pengerupukan. Sedangkan, Nyepi yang dilaksanakan oleh masyarakat non-Hindu Bali hanya satu hari saja, yaitu sesuai dengan tanggal yang tertera pada kalender nasional Indonesia. Perlu digarisbawahi, masyarakat non-Hindu Bali sama sekali tidak dilibatkan dan dipaksa untuk melaksanakan ritual yang berbau Hindu. Semua ritual yang diwajibkan dilaksanakan oleh masyarakat non-Hindu Bali murni adalah tradisi asli budaya tanah Bali, yaitu empat larangan saat Nyepi yang sudah dijelaskan pada awal tulisan.
Jadi sangatlah keliru jika ada pernyataan yang mengatakan bahwa umat non-Hindu di Bali dipaksa untuk melaksanakan ritual Hindu Nyepi, karena semua yang mereka lakukan adalah bagian dari kearifan lokal yang merupakan tradisi budaya asli Bali.
Apa alasannya kenapa seluruh elemen masyarakat yang tinggal Bali wajib melaksanakan Nyepi?
Alasan pertama, sudah pasti karena itu merupakan tradisi budaya asli Bali. Sebagaimana kita tahu, sampai saat ini budaya Bali lah yang menjadi pondasi utama pendongkrak pariwisata Bali hingga bisa sekuat sekarang. Pariwisata Budaya lah yang mendatangkan banyak wisatawan ke Bali sehingga di Bali terbuka begitu banyak lapangan kerja dan peluang-peluang bisnis yang banyak. Tentu kita semua orang yang tinggal di Bali, baik itu penduduk asli maupun pendatang, punya tanggung jawab yang sama besar untuk menjaga dan melestarikan budaya Bali. Jika budaya itu tidak dijaga, Bali mau mengandalkan apa?
Alasan kedua, Nyepi adalah cara kita –orang yang tinggal di Bali- menghargai dan memahami alam. Menghargainya dengan memberikan waktu satu hari pada alam untuk bernapas bebas, setelah selama setahun kita menjejali alam ini dengan polusi dan semua perilaku yang merusak alam. Kemudian belajar memahaminya dengan merasakan sendiri indahnya alam, seperti mendengar kicauan burung-burung di pagi hari yang biasanya tak kita sadari karena hilang ditelan suara kendaraan bermotor. Kita juga bisa merasakan bagaimana segarnya udara Bali jika tanpa polusi selama satu hari. Momen-momen yang akan memberikan kita kesadaran bahwa kita hidup di bumi ini berdampingan dengan makhluk hidup lain. Oleh karena itu kita tidak boleh egois mengeksploitasi hanya untuk kepentingan sesaat manusia, tanpa memikirkan dampak buruknya bagi alam beserta isinya.
Alasan ketiga, Nyepi memberi kita waktu untuk berkumpul bersama keluarga selama satu hari penuh di dalam rumah. Memberi peluang bagi kita dan keluarga untuk bisa berkeluh kesah, bercerita, dan bertukar pikiran. Menumbuhkan dan membangkitkan lagi kehangatan dan keakraban dalam keluarga. Ini bisa terjadi karena tidak ada anggota keluarga yang melakukan aktivitas, dan berpergian ke luar rumah. Bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi momen untuk bersua kembali dengan keluarga yang bekerja di luar daerah atau yang tinggal di rumah yang berbeda.
Dan alasan yang terakhir adalah untuk memberikan waktu pada diri kita sendiri agar bisa ‘berhenti sejenak’ dari segala hal yang rutin dilakukan. Meninggalkan hiruk pikuk kemacetan dan polusi. Sejenak tanpa laptop, rapat, dan juga proyektor. Tidak dengan pergi ke mall, bioskop, atau pun gemerlap dunia malam. Memberi waktu pada jiwa dan raga ini untuk beristirahat —dalam artian yang sebenarnya. Bahkan lebih jauh dari itu, untuk bisa berintrospeksi dan merenungkan apa yang telah dan sedang dijalani saat ini. Kalau-kalau ada yang melenceng, masih ada kesempatan untuk meluruskannya. Kalau ternyata sudah lurus, ya, tinggal dilanjutkan saja. Persis seperti time out dalam pertandingan basket. Priiiiit…. Semua pemain berkumpul untuk ‘berhenti sebentar’, sejenak mengatur nafas-nafasnya sambil mendengarkan evaluasi permainan, untuk selanjutnya dapat berlari lebih cepat dan melanjutkan permainan dengan strategi yang lebih baik.
Jadi, masihkan kamu berpikir kewajiban melaksanakan Nyepi bagi seluruh elemen masyarakat di Bali merupakan bentuk pemaksaan untuk memuaskan hasrat salah satu Agama?
Selamat Nyepi masyarakat Bali, selamat menyelami bagaimana alam berinteraksi….
Komentar