Bali merupakan Provinsi yang memiliki beragam tradisi budaya dan adat istiadat yang sudah dikenal oleh banyak orang. Tidak hanya domestik, bahkan para wisatawan asing banyak datang ke Bali yang ingin menyaksikan secara langsung seni dan budaya di Bali itu sendiri. Setiap daerah atau kabupaten memiliki tradisi yang beraneka ragam, mulai tradisi agama, adat, dan budaya. Begitu pula Kabupaten Klungkung yang memiliki beraneka ragam tradisi di masing-masing desa.

Di salah satu desa di Kecamatan Dawan, yakni Desa Pesinggahan, tepatnya di Banjar Pundukdawa, Desa Pekraman Pundukdawa, memiliki salah satu tradisi unik, dan mungkin tidak banyak orang yang mengetahuinya. Tradisi tersebut dinamakan “Mebubu”. Mungkin karena lokasi desa tersebut yang tidak berada di pusat pemerintahan Desa Dinas Pesinggahan, serta kurangnya promosi terhadap tradisi tersebut, menyebabkan tradisi “Mebubu” kurang begitu dikenal oleh masyarakat.
Tradisi “Mebubu” merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Desa Adat Pundukdawa. Tepatnya, dilaksanakan pada saat Hari Tilem Kesanga, yang sering disebut Hari Pengrupukan, satu hari sebelum Hari Raya Nyepi. Sering pula, tradisi “Mebubu” dianggap sebagai rangkaian Upacara dalam menyambut Hari Raya Nyepi. Tradisi ini sudah ada sejak nenek moyang Dan dibangkitkan lagi oleh warga dengan dukungan para pemuda desa guna menjaga dan melestarikan tradisi desa agar tidak punah. Di saat daerah lain sedang semaraknya dengan Pawai Ogoh-Ogoh, warga Desa Pekraman Pundukdawa tidak melaksanakan pawai serupa tersebut, bahkan tidak ada yang membuat ogoh-ogoh di semua banjar di Desa Pekraman Pundukdawa.

Tradisi “Mebubu” menggunakan media api dalam prosesinya. Krama Banjar Pundukdawa mulai berkumpul di batas utara dari wilayah Desa Pekraman Pundukdawa saat Sandikala (petang hari). Tempat pelaksanaan “Mebubu” adalah di dalam wilayah Desa Pekraman Pundukdawa, yakni dari utara yakni di batas utara wilayah desa adat tepatnya di depan Pura Puseh, dan berakhir di batas paling selatan wilayah desa tepatnya di depan Pura Dalem. Tradisi ini memiliki tujuan atau maksud untuk mengusir Kala (hal negatif) sebelum Hari Raya Nyepi.

Sebelum prosesi dimulai, beberapa warga secara sukarela akan berperan menjadi seekor sapi. Mereka menggunakan Kamben saja dan Okokan (kalung sapi) yang menjadi ciri mereka berperan sebagai sapi. Beberapa warga lainnya akan berperan sebagai pengusir dengan membawa Danyuh (daun kelapa yang kering). Danyuh tersebut dibakar yang sering disebut dengan Prakpak begitu prosesi akan dimulai. Yang berperan sebagai sapi akan berlari mulai dari ujung utara desa sampai di batas selatan desa, sembari meneriakkan kata “Buuu...” dengan lantang. Di saat itulah yang membawa Prakpak akan mengejar warga yang meneriakkan kata “Buuu...” sampai tertangkap. Di saat tertangkap, Prakpak akan digoyangkan dan dibenturkan dengan Prakpak lainnya di atas tubuh warga yang berperan yang menjadi sapi. Tubuh warga yang menjadi sapi akan bermandikan api dari Prakpak secara cepat dan warga lain sontak menjerit ketakutan melihat tubuh dari beberapa warga tersebut terkena api. Tetapi anehnya setelah terkena api tersebut, beberapa warga hanya terluka bakar ringan, padahal api dari Prakpak lumayan besar.

Kepercayaan warga, mereka yang bermandikan api saat prosesi “Mebubu” mengalami prosesi pembersihan dari roh jahat atau hal negatif lainnya. Mereka sering menyebutnya dengan Ngulah Kala (mengusir roh jahat). Harapannya adalah warga memulai lagi hal-hal yang bersifat positif dan menjauhkan diri dari hal-hal negatif menjelang Tahun Baru Caka (Tahun Baru Kalender Bali) yang diselenggarakan keesokan harinya dengan melaksanakan Tapa Brata Penyepian.
Desa Pekraman Pundukdawa mengharapkan ke depannya, agar tradisi “Mebubu” rutin dilaksanakan setiap tahun agar tradisi ini tidak punah. Karena tradisi tersebut merupakan salah satu tradisi adat yang hanya ada di Desa Pekraman Pundukdawa. Desa Pekraman Pundukdawa menyambut baik bila Pemerintah Kabupaten Klungkung ikut mempromosikan tradisi tersebut agar lebih banyak orang mengetahuinya.