Sejak awal tahun 2016, kasus demam berdarah dengue (DBD) di beberapa kabupaten di Bali memasuki babak baru. DBD sebagai penyakit menular yang diperantarai nyamuk, dapat mengenai semua orang, baik penduduk lokal maupun wisatawan domestik dan asing. Terdapat lonjakan kasus DBD di Kabupaten Klungkung, di mana jumlah kasus makin meningkat tiap bulannya dari bulan Januari hingga pertengahan April 2016. Sampai saat ini, kasus DBD terhitung hingga 277 kasus. Angka ini menunjukkan bahwa penyakit akibat virus dengue ini masih menjadi momok bagi masyarakat tiap tahunnya yang kini hadir tanpa menunggu musim penghujan.

Walaupun angka kematian dari penyakit ini menurun setiap tahunnya, tetapi angka insiden atau kejadian baru dari kasus DBD sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang diperoleh, kasus DBD mengalami peningkatan pada seluruh kecamatan di Klungkung. Desa Tusan dengan Pura Kentel Gumi-nya, Desa Banjarangkan dengan Goa Jepang-nya, Desa Tihingan dengan produksi gambelan Bali-nya serta Nusa Penida dengan pesona pulaunya, dan tak terkecuali Kelurahan Semarapura terutama Semarapura Klod turut terkena imbas penyakit ini. Padahal, daerah-daerah tersebut merupakan daerah pariwisata dan juga menjadi salah satu jalur untuk program city tour. Mengingat hal tersebut, tentu saja selain keindahan panorama dan seni budayanya yang akan diperlihatkan, tetapi kebersihan dan kesehatan lingkungan juga memiliki peran besar dalam city tour ini.

Kesehatan dan kebersihan yang buruk pada wilayah-wilayah tersebut akan berakibat pada sektor pariwisata maupun citra daerah Klungkung yang memiliki andil dalam city branding. Dengan meningkatnya jumlah DBD tiap tahunnya, dikhawatirkan penyakit ini dapat menyandang status KLB (Kejadian Luar Biasa) yang sampai saat ini masih menjadi perhatian dunia kesehatan. Jangan sampai DBD berakhir seperti penyakit diare, di mana pada tahun 2012 Australia pernah mengeluarkan “travel warning” atau peringatan larangan berpergian ke Bali. Kita menyadari bahwa sektor pariwisata sangat erat kaitannya dengan sektor kesehatan. Apalagi masyarakat Klungkung bergantung pada pariwisata yang saat ini sedang dikembangkan potensinya. Apabila Klungkung nantinya dinyatakan sebagai KLB demam berdarah, tentunya pariwisata akan terkena imbasnya, karena tentunya tidak ada wisatawan yang ingin pulang dari liburan dengan membawa penyakit. Karena penyakit ini belum ada obatnya, upaya pemberantasan penyakit DBD harus ditangani sebelum menjadi masalah besar di kemudian hari.

Solusi sebagai pencegahan telah ada, hanya saja permasalahan ada pada partisipasi masyarakat akan hal ini masih kurang. Kita mengenal 3M Plus, sebuah upaya mencegah berkembangnya sarang nyamuk aedes aegepty. 3M Plus meliputi aktivitas meguras, menutup dan mendaur ulang ditambah melakukan pencegahan seperti menaburkan bubuk abate. Menguras, yaitu membersihkan tempat tempat penampungan air seperti bak mandi, tempat penampungan air minum, ember air, dll. Menutup mencakup menutup rapat tempat-tempat penampungan air. Mendaur ulang meliputi mendaur ulang atau memanfaatkan kembali barang bekas yang memiliki potensi untuk menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk perantara Demam Berdarah. Cara ini sangat mudah dan sangat efektif jika di lakukan dengan benar. Karena penyakit DBD adalah penyakit yang sangat bergantung pada kondisi lingkungan, peran serta masyarakat diperlukan dengan berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan menerapkan 3M Plus. Menggiatkan gotong royong membersihkan lingkungan terutama air yang tergenang dapat mencegah nyamuk aedes aegepty berkembang biak dan penyakit berbahaya DBD di Kabupaten Klungkung dapat diturunkan kasusnya.
Jika tersedia langkah-langkah sederhana untuk mencegah DBD, mengapa menunggu mengobati?

Sumber referensi:
Data Register Penderita DBD Januari-April 2016, Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung
http://www.kalyanamitra.or.id/wp-content/uploads/2012/07/Demam-Berdarah-Gejala-Pencegahan-dan-Pengobatannya.pdf
http://m.antaranews.com/berita/553112/klungkung-siapkan-festival-semarapura-2016
http://popbali.com/warga-australia-diingatkan-mengenai-risiko-berkunjung-ke-bali