Tulisan renungan ini adalah karya I Gusti Ayu Tika Indriani, finalis Jegeg Bagus Klungkung 2015. Ia menyuarakan apa yang jarang dipikirkan orang lain dan sering diabaikan: perasaan orang Nusa Penida yang dialeknya sering dijadikan bahan guyonan.
“Kole nak Nusa ne..”, “Lepeh awak...”
Pernah mendengar kalimat-kalimat di atas? Atau pernah mengucapkannya? Atau jangan-jangan Anda sama sekali tidak mengenal sepenggal kalimat sederhana tersebut? Jika Anda mengangguk dalam batin terlebih Anda adalah masyarakat Klungkung yang katanya memiliki jiwa semangat puputan, pantaslah Anda merasa bersalah. Bersalah pada siapa? Bersalah pada keadaan Anda yang kurang atau bahkan mungkin tidak peka dengan lingkungan Anda sendiri. Lalu, sebenarnya kalimat apa itu? Apakah itu sebuah jargon atau sebuah slogan? Tentu tidak. Penggalan kalimat singkat tersebut adalah dialek Nusa Penida, ya, salah satu kecamatan yang dimiliki oleh Kabupaten Klungkung yang notabene merupakan kabupaten terkecil di Provinsi Bali.
Dialek? Apakah ia seperti aksen? Tentu tidak. Dialek atau dialect berasal dari bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. (menurut Abdul Chaer). Dialek dibedakan berdasarkan kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan. Jika perbedaannya hanya berdasarkan pengucapan, maka disebut aksen. Dialek sendiri dapat menjadi sebuah identitas setiap individu terkait etnis maupun asal geografisnya. Tanpa perlu menyebutkan asalnya, orang lain bisa tau seseorang tergolong etnis dan bahkan mengetahui asal orang tersebut hanya melalui dialek yang digunakan. Hebat bukan? Bukan hanya itu. Dialek tidak dapat diciptakan atau dibuat-buat dan sulit untuk dihapuskan, tidak seperti bentuk fisik seseorang. Kita ambil saja contoh orang Indonesia di daerah timur seperti NTT sampai Papua. Kulit cenderung gelap, rambut yang keriting sudah menjadi label atau ciri khas dari orang bagian Indonesia Timur tersebut. Namun, bisa saja mereka melakukan suntik putih dan juga meluruskan rambutnya. Lalu apa dia sudah bukan seperti orang Papua? Iya! Bahkan kini tampilannya mendekati orang beretnis Sunda dengan kulit putih dan rambut lurus yang aduhai. Sekarang ajaklah dia berbincang. Seperti sebuah iklan elektronik yang mengatakan “lidah gak bisa bohong”, hal ini juga berlaku pada dialek, dialek pun tak bisa bohong akan identitas orang tersebut.
Indonesia adalah negara yang kaya akan ragam budaya termasuk bahasanya. Beribu suku bangsa dan dialek khasnya tersebar di 17 ribu pulau lebih. Dialek Minang, dialek Jawa dialek Bali dan masih banyak lagi. Di tiap-tiap daerah pun memiliki dialeknya yang bervariasi tergantung dari letak geografis dan juga kondisi sosialnya. Bali misalnya, tiap-tiap daerah di Bali memiliki aksennya sendiri. Buleleng dengan dialeknya yang keras, Badung dan Gianyar dengan vokal ‘o’ di akhir pengucapannya dan yang paling kental adalah dialek Nusa Penida di Kabupaten Klungkung dan mungkin banyak yang belum mengetahui.
(Sumber : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.belajar-diving-bali.com/)
Nusa Penida adalah sebuah pulau (nusa) yang terletak di sebelah tenggara Bali yang dipisahkan oleh Selat Badung. Di dekat pulau ini terdapat juga pulau-pulau kecil lainnya yaitu Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan. Di Nusa Penida sendiri dialek itu pun beragam, dialek Nusa Penida atau Nusa Gede berbeda dengan dialek Nusa Lembongan beda juga dengan dialek Jungut Batu dan begitu seterusnya. Nah, bangga kan dengan keragaman bahasa yang dimiliki oleh Bali khususnya kabupaten Klungkung ini? Tentu saja, sebab kebervariasian dialek tersebut merupakan sebuah keunikan, dan ada harga yang dibayar dalam keunikan tersebut. Walaupun harga tersebut tak ternominalkan namun justru terwariskan. Namun, bagaimana dialek tersebut dapat menjadi kebanggaan bila di sisi lain keunikan dialek tersebut dijadikan guyonan (lelucon)?
Pernah saat di sekolah, saya menyaksikan teman dari Nusa Penida yang berbincang menggunakan dialek Nusa Penidanya yang sangat kental. Namun, respon apa yang didapat? Sanjungan? Pujian? Saat itu saya tidak menyaksikan hal yang menjurus ke sana. Yang terjadi adalah dialek tersebut menjadi guyonan berhari-hari di antara teman-temannya. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh orang yang berasal dari Nusa Penida tersebut dengan dialeknya yang kental, diulang berkali-kali oleh teman-temannya dengan nada mengejek, bahkan setiap berbicara dengan orang Nusa Penida itu pun mereka menggunakan aksen yang seperti meniru dialek Nusa Penida dengan nada dibuat-buat dan dilebih-lebihkan diikuti gerakan bibir yang juga berlebihan. Yang semakin membuat tertegun, yang menciptakan guyonan itu adalah temannya sendiri yang notabene adalah masyarakat Klungkung.
(Sumber : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.simonson.eu/)
Ya, memang era sekarang dunia komedi sedang sangat digemari. Ada nilai yang harus diapresiasi untuk para komedian-komedian tersebut karena mampu menciptakan gelak tawa yang tak berkesudahan. Namun, juga ada harga yang dimutilasi oleh komedian-komedian amatiran yang menggunakan identitas daerah sebagai guyonan. Tak banyak yang tau atau menyadari bahwa aksi megeguyonan menggunakan dialek ini dapat menimbulkan implikasi yang ternyata sangat luas. Seperti misalnya, orang yang menggunakan dialek Nusa Penida tersebut akan mengalami krisis percaya diri (kalau tidak bisa dibilang malu) akan budaya yang dimilikinya, hal ini bisa saja bermuara pada kenyataan bahwa mereka tidak akan mengajarkan dialek tersebut kepada generasinya karena tidak ingin anak cucunya bernasib seperti mereka yang hanya menjadi geguyonan diantara komunitasnya. Persoalan bahasa ini saya rasa sangat penting untuk disoroti. Dialek adalah salah satu identitas daerah, identitas budaya dan kearifan lokal adiluhung yang seharusnya dilestarikan dan diajegkan. Apakah pantas megeguyonan menggunakan kearifan lokal daerah sendiri seperti dialek Nusa Penida, apalagi sampai mengejek? Ada apa sebenarnya dengan masyarakat Klungkung? Apakah guyonan menggunakan dialek tergolong hal lucu? Entahlah, silakan Anda menilai sendiri.
“Ah ci terlalu serius, ne kan cuman megeguyonan”. Ya, menurut ‘komedian amatiran’ tersebut, ini mungkin hanya geguyonan sepele. Namun bagaimana bagi orang Nusa Penida itu? Orang Nusa Penida tidak akan menggunakan dialeknya tersebut di luar daerahnya (pulau Nusa Penida), dan ini berarti mereka mungkin juga enggan menggunakannya di Klungkung daratan. Walaupun iya, mungkin mereka hanya menggunakan pada sesama orang Nusa Penida. Saya yakin ini adalah salah satu penyebab mengapa banyak di antara kita yang tidak pernah mendengar bahkan sekedar mengetahui kalimat-kalimat di awal tulisan ini. Ironi memang, ditengah gencarnya ekspansi budaya dari segala penjuru termasuk mulai beralkuluturasinya ragam bahasa daerah luar dan bahasa-bahasa yang katanya gaul seperti loe, gue, bingits, beudh, kzl, binggow dan kosakata-kosakata lainnya, namun ada saja yang malah menjadikan dialek daerah seperti Nusa Penida ini khususnya sebagai guyonan.
Maka dari itu mari kita saling menghormati keragaman budaya termasuk bahasa yang dalam hal ini dialek daerah Nusa Penida. Ajegkan dan stop guyonan-guyonan yang melecehkan identitas daerah Gumi Srombotane. Sehingga kita, anak kita dan cucu-cucu kita tidak akan asing lagi dengan dialek-dialek Nusa Penida seperti “Kole anak nusa ne” (yang berarti saya adalah anak nusa), “Sing maan singaw” (yang berati tidak dapat), “Lepeh awak” (yang berarti capek aku) dan ragam lainnya. Ingatlah, jika harta benda hilang bisa dicari, namun bila budaya hilang tak akan pernah bisa dibeli. Jaya terus budaya dan potensi pariwisata Klungkung! Dharmaning Ksatria Mahottamaa!
Guyonan dialek daerah Nusa Penida tidak lagi lucu kan, setuju?
Sumber :
Komentar