Tulisan ini adalah karya Vida Satisva Swari, Finalist Jegeg Bagus Klungkung 2014. Karena sifatnya kompetisi, editor cuma membenahi beberapa typo. Yeah! Selamat menikmati.
(kulkulbali)
Siapa yang tidak tahu "The Island of The Thousand Temples" atau "Pulau Seribu Pura"? Sepertinya kata ini sudah tidak asing didengar. Ya, pulau tersebut tiada lain dan tiada bukan adalah Pulau Bali. Kadangkala Bali juga dijuluki dengan sebutan "Pulau Dewata" atau "The Island of Gods". Hal ini dikarenakan pada setiap tempat di Bali terdapat pura. Lalu apa itu "Pura"? Kata pura berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kota atau benteng, artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Pura berfungsi sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur.
Untuk melakukan persembahyangan ke pura tentu saja kita memerlukan persiapan dari sarana persembahyangan hingga pakaian. Pakaian adalah suatu tren tertentu sesuai dengan fenomena yang dihadapi, namun kita sering lupa apa makna pakaian tersebut. Sebagai manusia yang berkebudayaan, pakaian merupakan wujud budaya suatu individu dan bangsa. Pakaian memberikan nilai dan warna bagi budaya. Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi atau Tuhan yang diyakini memberi keteduhan, kedamaian, dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya. Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan pada Sang Hyang Widhi. Berpakaian adat ke pura haruslah bersih, rapi dan sopan.
Namun, apa yang telah terjadi saat ini?
Seperti yang kita lihat bersama, cara berpakaian para remaja hingga kalangan dewasa telah banyak mengalami perubahan. Hal ini seiring dengan arus globalisasi. Etika berpakaian semakin dilupakan. Cara penggunaan kebaya, kamen, dan selendang terkesan tidak etis. Kebaya dengan lengan di atas siku, kamen di atas lutut, selendang di pinggul. Hmm.. sungguh miris melihatnya. Memang, cara berpakaian merupakan kebebasan berekspresi tiap-tiap individu, akan tetapi cara berpakaian seperti ini sungguh tidak lazim dalam ruang lingkup pura. Lain halnya jika pergi ke acara nikahan atau berlenggak-lenggok di atas pentas. Malah cara berpakaian ini sudah menjadi tuntutan profesi.
Sebenarnya apa alasan mereka berpakaian layaknya seorang model? Fashionable kah?
Fashionable boleh saja asal disesuaikan dengan tempat dan waktunya. Mmm.. nangkil ke pura dengan tampilan glamour tentu memerlukan biaya mahal dan tentunya akan menggiring kita menuju gaya hidup yang konsumtif. Dan pada akhirnya pura tidak hanya menjadi tempat untuk memuja Tuhan tetapi juga sebagai ajang peragaan busana (catwalk). Ditambah lagi dengan hasrat narsisme yang tinggi, menghadirkan diri dengan trendi layaknya publik figur yang dijadikan model, ikon, atau idola publik.
Lantas, bagaimanakah peran generasi muda terhadap rusaknya kebudayaan ini?
Sebagai generasi penerus sudah seharusnya untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan kita sendiri bukan malah merusaknya. Remaja yang cerdas sudah seharusnya mengubah pola pikir bahwa pakaian merupakan buah pikiran yang matang untuk dapat memperlihatkan prestis atau harga diri ditengah-tengah orang lain yang membenahi diri dalam mencari jati diri. Remaja juga harus tetap berpegang teguh pada kaidah etis-filosofis (etika-tattwa) yang menjadi sradha dan bhakti umat serta mengesampingkan penampilan estetis (keindahan) yang bergaya selayaknya selebritis.
Semoga artikel yang saya buat ini dapat memberi pencerahan para remaja di Bali untuk tetap mempertahankan norma kesopanan dalam berpakaian adat ke pura. Karena sopan dan bersih yang merupakan salah satu bagian dari Sapta Pesona dapat menarik wisatawan untuk mengunjungi Bali. Dan memang kesopanan inilah yang dikagumi oleh wisatawan pada Pulau Dewata.
Ngiring ajegang Budaya Baline malarapan antuk busana sane manut ring awig-awig.
Komentar