"Buah manis dari pohon pemikiran salah seorang finalis Jegeg Bagus Klungkung 2014 atas nama Dwika Dinda Damayanti. Tulisan yang bersifat kompetisi ini menyebabkan tim editorial menjauhkan tangan jahilnya dan hanya membenahi beberapa typo. Ingin tahu seberapa manis tulisan ini? Rasakan sendiri!!! yey!!

kulkulbali.co "

 

Apa yang salah dengan Pulau Dewata ini? Pulau yang terkenal dengan pulaunya para dewa-dewa suci kini terusik oleh penghuninya sendiri.”

Salah satu pulau mungil yang terkenal dengan sejuta pesonanya ini mampu mengikat hati para wisatawan mancanegara. Ayooo siapa? Mm .. siapa lagi kalau bukan Pulau Bali. Pulau yang dikenal dengan berbagai julukan ini memiliki sejuta keindahan alam bagi penikmatnya. Bahkan para wisatawan dari mancanegara berlomba-lomba untuk mengunjungi “The Island of Paradise” atau pulau surga ini. Tentu saja, dari sudut mana pun para pengunjung akan serasa dimanjakan dengan berbagai pesona yang disuguhkan oleh pulau Bali.

Selain pesona alamnya, Bali juga memiliki kekayaan seni yang yang menjadi daya tarik wisatawan asing dan domestik. Mulai seni ukir, patung, wayang, dan tarian-tarian tradisional asli Bali misalnya, merupakan warisan budaya yang menjadi asset pariwisata Bali. Namun sayang, seiring dengan tuntunan zaman, banyak kesenian Bali yang dieksploitasi untuk menjadi pertunjukan yang komersial. Salah satu kesenian Bali yang dieksploitasi secara berlebihan adalah joged Bali. Tarian pergaulan yang sangat populer di Bali ini memiliki pola gerak yang agak bebas dan dinamis. Tarian yang diambil dari tarian Legong akan dibawakan secara improvisatif oleh sang penari. Biasanya dipentaskan pada acara pernikahan, perayaan hari besar Hindu atau hari-hari penting lainnnya. Selain itu, tarian ini juga merupakan tarian berpasangan. Penari perempuan akan mengundang partisipasi dari penonton laki-laki untuk menari bersama atau dalam bahasa daerah setempat disebut “ngibing”. Tarian yang membutuhkan kelincahan gerak tubuh dan mata dari penarinya ini akan sesekali bergoyang ala dangdut bersama penonton pria yang diundang (pengibing).

Seiring dengan perkembangan zaman kini nilai-nilai kebudayaan dan norma-norma agama pun perlahan mulai tergeser. Joged Bali yang dulu diagung-agungkan kini terdepak oleh arus modernisasi. Joged yang dahulu sebagai tarian pergaulan berubah menjadi tarian komersial. Ini membuktikan bahwa mulai adanya pergeseran fungsi dari joged Bali. Bahkan di beberapa tempat pertunjukan joged ini mendapatkan upah atau saweran sebagai tanda kepuasan si pengibing. Hal yang lebih memprihatinkan lagi, seketika paradigma masyarakat Bali berubah akan tarian ini ketika dihebohkan oleh salah satu video. Pasalnya, penari joged ini berperilaku asusila sehingga terkesan melecehkan kebudayaan Bali. Dalam video itu, sang penari yang mengenakan pakaian tarian khas Bali bergaya seronok bak penari porno. Tarian yang lebih erotis dengan menjurus pada pornoaksi ini pun membungkam warga Bali.

Taksu yang sejak dulu dipertahankan oleh pendulu-pendulu pun telah memudar. Kesan sensual dari tarian Bali ini tak pelak menjadi gunjingan dimana-mana. Tanggapan pedas dari masyarakat yang menilai miring bahwa tarian joged Bali merupakan tarian sensual yang “mengenyampingkan” moral. Tarian yang diwariskan kepada generasi penerus bahkan melenceng dari kaidah-kaidahnya sendiri. Goyangan "berandal" yang ditarikan oleh penari menunjukkan detik-detik lunturnya nilai-nilai tradisi yang telah tertanam oleh penghuni pulau Bali sejak dulu.

Hingga kini, fenomena joged pornoaksi ini bagaikan pepatah "akibat nila setitik rusak susu sebelanga". Ini karena perilaku seni pertunjukan joged pornoaksi merusak upaya peningkatan dan pengembangan kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan budaya lokal Bali. Akibatnya, penguatan tata nilai adiluhung dari kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa menjadi semakin terancam dan bahkan cenderung kehilangan nilai-nilai moral. Padahal, jika dikaji lebih mendalam goyangan dalam menarikan joged Bali ini tidak akan pernah dilarang sepanjang dianggap baik dan benar serta tidak melanggar tatanan norma sosial.

Dangdut ala Bali

undefined

Dilihat dari salah satu sisi, joged Bali sesungguhnya membawa dampak besar bagi perekonomian. Joged yang berada dibawah naungan sanggar ini memiliki peluang besar untuk meraup keuntungan. Sanggar-sanggar joged pun menginginkan bayaran tinggi atau tawaran pentas yang banyak. Untuk itu sanggar-sanggar yang ingin meraup keuntungan pun berlomba untuk mencetak para penari joged yang disukai masyarakat untuk menunjang pemasukan sanggar. Hal tersebut juga akan memicu penari untuk berbuat lebih. Ini artinya, penari-penari joged akan menarikannya sedikit lebih vulgar atau bisa dikatakan pornoaksi hingga menghilangkan rasa malu demi daulat uang.

Tuntutan ekonomi yang menjadi salah satu alasan gerakan-gerakan erotis pun menjadi senjata ampuh untuk menarik perhatian kaum laki-laki. Penyimpangan-penyimpangan kesengajaan ini terjadi sehingga gerakan tarian mulai tampil tak sesuai dengan gerakan-gerakan (pakem) joged Bali yang sesungguhnya. Dengan hal itu, penari joged yang merasa adanya pemasukan tinggi untuk memenuhi kebutuhan pun terus dilakukan. Tanpa menyadari citra joged Bali yang semakin memburuk dimata masyarakat, terutama para seniman.

Yah, memang tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengembalikan paradigma masyarakat. Joged Bali yang dinilai cacat moral karena rekayasa oleh nafsu dari politik relasi kuasa berbasis keuntungan finansial semata. Tarian yang juga bersifat partisipatif dan balih-balihan (hiburan) kian memberi kesan negatif bagi para penikmatnya. Pasalnya para penari joged sekarang terpacu dengan adanya saweran atau upah, sehingga gerakan-gerakannya pun semakin erotis untuk mengundang kegairahan kaum pria. Padahal gerakan tari joged pada zaman dahulu menggunakan kesan erotis yang sewajarnya. Namun, setelah diwariskan pada zaman modern ini sangatlah berbeda, utamanya pada kesan erotisme yang berlebih.

Di balik semua pakem tari joged Bali, jika dilihat dari aturan tarian bermesraan sesungguhnya semua tari selalu ada bagian paibing-ibingannya. Dimana, itu semua diawali dengan penari joged memilih penonton laki-laki yang diajak menari bersama-sama di atas pentas. Sebagai sebuah kesenian rakyat, tari joged diiringi dengan barungan gamelan yang didominir oleh instrumen-instrumen bambu. Seperti halnya di daerah Tista, Tabanan sejenis tari Joged yang mendekati Legong Kraton yang disebut Leko, dan di Bongan Gede, Karangasem terdapat tari Joged yang dianggap sakral yang dinamakan Joged Bisama.

Kenyataan ini menuntut publik untuk melihat kebudayaan bukan semata-mata komoditas ekonomis berbasis keuntungan finansial semata, melainkan justru harus dilihat sebagai sebuah ekspresi estetis dan warisan adiluhung. Ini semua membuktikan bahwa kesenian Bali masih perlu diperhatikan dengan menjaga apik nilai dan norma yang telah tertanam. Kesadaran dari masing-masing individu sangat diperlukan, karena joged sebenarnya bukanlah tari yang menonjolkan kesan sensual tetapi seni dan hiburan. Selain itu, untuk menepis kesan erotis yang berlebihan pada tarian tradisional itu diperlukan pembinaan dan penekanan kepada para penari. Membatasi gerakan-gerakan agar penampilan tidak menimbulkan kesan sensual namun tetap menyuguhkan unsur keindahan. Tradisi untuk mengembangkan seni joged ini patut diteruskan secara turun-temurun agar kesenian Bali tidak akan kehilangan identitas dan ciri khasnya.

“Mari, Selamatkan citra joged Bali sebagai jati diri kebudayaan Bali”. Kita sebagai generasi penerus bangsa harus merubah kesan joged Bali menjadi “Hapus Kesan Sensual, Joged Bali Bermoral”.Suksma.

 

Sumber : (http://news.liputan6.com/read/296512/video-porno-joged-bumbung- beredar)

(http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-joged.htm)