Tulisan kedua dari Made Arya Wijaya, Finalis Bagus Klungkung 2014. Karena sifatnya kompetisi (dan di paragraf akhir tulisan ini ada kalimat "Utuh tanpa modifikasi..."), editor cuma membenahi beberapa typo. Yeah! Selamat menikmati.
KulkulBali.co
Beberapa waktu lalu saat seleksi penyisihan 10 besar jegeg bagus klungkung 2014, di pos hospitable, juri menanyakan pertanyaan sederhana ke saya, “what is beauty?”. I was answered it roughly, then i realize that my answer is far far away from what it supposed to be. Hahaha. (alias jawab dengan ngawur).
Beauty atau cantik, merupakan ungkapan untuk keindahan dan keelokan. Bagaimana suatu hal digolongkan cantik, tentu tergantung ke orang yang menilainya. Orang-orang menghargai kecantikan dengan sangat tinggi, apresiasi dilemparkan, juga pujian disematkan.
Objek yang dibilang cantik, tidak hanya paras manusia, bisa saja hewan, bunga, lukisan, sikap, kepribadian, atau ungkapan umum untuk proses.
Bali cantik bukan? Siapa yang menyangkalnya? Tidak ada. Dari segala sisi baik fisik, dan isinya, semua diangap cantik oleh orang-orang. Tapi, tahukah kita apa yang harus dibayar untuk kecantikan tersebut?
Pesta Kesenian Bali (PKB), adalah pesta tahunan yang menjadi agenda unggulan Provinsi Bali. Ajang pamer kebudayaan, dan sekaligus langkah konkrit untuk melestarikan kebudayaan lokal. Caranya dengan mementaskan, memberi ruang dan panggung untuk semua lapis dan jenis kebudayaan agar dapat disaksikan, direkam, diabadikan. Sungguh gagasan yang mulia dan brilian.
PKB, pertama kali digelar tahun 1979 dan digagas pertama kali oleh gubernur bali kala itu Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Berbagai reaksi positif terus melimpah sejak pertama kali gelaran ini dilangsungkan. Dengan esensi awalnya adalah melestarikan kebudayan bali, dan menjadikan PKB sebagai tolak ukur perkembangan kesenian di Bali.
Tapi seiring dengan jalannya waktu, PKB telah berkembang menjadi primadona. Kadang dinantikan, kadang disesalkan.
(sumber : http://www.baliprov.go.id/files/subdomain/disbud/image/logo-pkb.jpg)
Dimulai dari persiapannya, panggung PKB memakan banyak biaya dan drama. Utamanya tahun-tahun terakhir ini, setahu saya beberapa kasus muncul di permukaan. Pembengkakan biaya renovasi "wantilan". Dan juga penggelembungan dana pengadaan tata lampu panggung dan sound system di "kalangan Ardha Candra”. Belum lagi biaya untuk persiapan secara keseluruhan sebelum Art Centre siap dijadikan pusat kegiatan PKB setiap tahunnya. Sebesar itulah yang sudah dan harus dilalui sebelum gong peresmian PKB dipukul Presiden Republik Indonesia.
Kemudian dalam pelaksanaannya, PKB kini disesaki oleh pedagang. Entah untuk menarik biaya menutupi “cost-event” atau untuk sekedar meramaikan. Saya ragu dengan yang terakhir, karena jika pedagang/pameran barang kesenian yang ramai, itu bukan masalah. Tapi pedagang makanan/mainan/pakaian dan sebagainya yang menyesaki Art Centre di hari kegiatannya. Tim kebersihan lingkungan setiap paginya harus bekerja ekstra keras untuk mengembalikan keremajaan tampilan lingkungan disana, karena selain senyum, sampah adalah hal lumrah yang masih ditebar oleh masyarakat kita.
Bagian yang paling penting, yaitu isi dan pagelaran seni yang menjadi daya tarik PKB itu sendiri. Banyak kesenian yang dirangkai dan tampilkan mulai dari pembukaan hingga penutupan PKB. Karnaval atau pawai budaya antar kabupaten, pertunjukan wayang, drama gong, tarian tradisional, tarian kreasi, gebogan, kreasi memasak, parade film pendek, dan belasan jenis kesenian lagi, baik lokal maupun daerah hingga negara lain, serta yang paling populer adalah parade gong kebyar antar kabupaten.
Biaya yang dikeluarkan sangat fantastis. Untuk mempersiapkan sebuah pawai untuk pembukaan PKB bisa memakan banyak seniman dan biaya untuk persiapan dan pelaksanaan. Perlombaan kesenian juga memakan biaya daerah cukup banyak, hingga beberapa kabupaten yang tergolong kabupaten “miskin” akan terlihat jomplang dengan saingannya yang “kaya”. Apakah ini tujuan yang diinginkan?
Pinjam meminjam seniman juga marak, jadi seperti menumpang nama, sebuah utusan kabupaten tidak murni seutuhnya. Dan ini dilakukan hampir semua kabupaten. Alasannya benar-benar mendasar, yaitu tidak ingin tampil kurang dari yang lain. Gengsi dinomorsatukan mengalahkan semangat asli parade kesenian itu.
(sumber : http://www.balebengong.net/wp-content/uploads/2009/07/IMG_7966.jpg)
Kebetulan di tahun 2010 kemarin, saya pernah terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan tim Gong Kebyar Dewasa Kabupaten Klungkung. Mulai dari properti, penabuh, penari, benar-benar dipersiapkan. Biaya total puluhan juta digelontorkan untuk menunjang penampilan utusan Klungkung. Semuanya terasa sangat kecil ketika sampai di panggung sebenarnya, ketika tahu bahwa biaya yang dikeluarkan kabupaten lain berlipat-lipat dari kami. Gengsi benar-benar menjadi pamor persaingan di PKB. Banyak hal yang dikorbankan dan dipertaruhkan untuk persaingan ini. Dan hingga kekinian, PKB masih terus memperbarui dirinya dengan semua dinamika dan gejolak setiap tahunnya.
Pesta Kesenian Bali, telah berbenah sedemikian rupa. Berevolusi dari tahun ke tahun, menggelinding bagai bola es yang semakin membesar. PKB menjadi ajang pamer antar kabupaten dalam hal kesenian. Mengesampingkan biaya dan pengorbanan yang dikeluarkan, para stakeholder didalamnya pantas diberi ucapan salut, karena bekerja keras dan mereka juga menikmati prosesnya. Mereka semua tidak pernah berpikir buruk apalagi pamrih akan pengabdian mereka terhadap kesenian, hanya saja mungkin semua efek negatif PKB adalah sisi kelam yang harus muncul demi mengimbangi setiap persona dan pesona kemolekan PKB. Persis bagai dua sisi uang logam.
Bali secara umum telah berkembang menjadi pusat. Pusat dari orang-orang yang memiliki kepentingan. Sisi budaya dan kesenian yang katanya menjadi daya tarik Bali, hingga pulau ini berubah mengikuti orang didalamnya. Jalanan dilapis tiap tahunnya, walau tanpa lubang. Jembatan dan jalan tol dibangun untuk mengimbangi mobilisasi. Bangunan dan gedung diberdirikan yang bertujuan katanya untuk menopang Bali. Kurang lebih seperti itulah gambaran dari pengorbanan Bali, untuk menyambut tamunya.
PKB adalah contoh nyata bagaimana suatu kegiatan tahunan dapat benar-benar menyedot SDM dan APBD untuk membuktikan kalau kesenian Bali masih ada, eksis dan terus berkembang. Bagai tersiksa dan terpaksa, orang-orang di Bali, bahkan alam Bali selalu berbenah untuk tampil cantik. Demi selalu menggoda setiap mata dan rasa untuk kagum akan kecantikan Bali.
Diibaratkan manusia yang ingin tampil cantik, ia akan berjuang untuk makan sekali sehari demi bentuk tubuh. Melakukan perawatan tubuh yang membosankan. Melakukan operasi dan perbaikan yang menyiksa demi perubahan penampilan. Semua dilakukan dengan melalui penyiksaan yang menyakitkan. Bali semoga selalu damai dan ke arah yang baik. Walau berkorban dan kesakitan, jika tujuan yang dicapai sepadan, pasti semua akan terbayar lunas. Bali semakin cantik dan semoga selalu cantik.
Oh iya, dan bila sekarang saya diberikan pertanyaan yang sama “what is beauty?” saya akan jawab dengan tegas, “Beauty is Pain”.
Berkaca dari artikel pertama saya di Bali kekinian dari sudut kecil, saya tegaskan artikel ini adalah opini pribadi saya. Jauh dari ilmiah apalagi ingin menyudutkan pihak atau kalangan tertentu. Dengan rendah hati saya mohon maaf apabila isi artikel ini kurang baik, semoga dapat menjadi sudut pandang baru dari objek yang dipaparkan.
Pada akhirnya saya sampaikan semoga Pesta Kesenian Bali ke-36 tahun 2014 ini, yang mengangkat tema “KERTHA MASA” berjalan baik dan semakin berjaya.
Komentar