Tulisan ini adalah karya Made Arya Wijaya, Finalist Jegeg Bagus Klungkung 2014. Karena sifatnya kompetisi (dan di paragraf akhir tulisan ini ada kalimat "Utuh tanpa modifikasi..."), editor cuma membenahi beberapa typo. Yeah! Selamat menikmati.

(kulkulbali) 

 

Pernah dengar “Ajeg Bali”? Ungkapan ini mulai dikenal di awal tahun 2000. Kemudian selalu menjadi slogan untuk merepresentasikan semangat masyarakat Bali, untuk tetap mempertahankan keutuhan  Bali hingga sekarang. Bali yang penuh adat dan budaya, Bali dengan masyarakat yang ramah dan hangat, Bali dengan alam dan spiritnya yang tidak ada duanya. Pertanyaannya sejauh apa dan bagaimana kita mengimplementasikannya?

Pernah suatu kali saya menonton Dharma Wacana (siraman rohani) oleh pembicara terkenal Ida Pedanda Made Gunung, hal menarik yang beliau sampaikan adalah jika ingin benar-benar menjaga keutuhan Bali yang harus dilakukan bukan berkampanye atau membuat lagu, slogan, spanduk, poster dll, tapi sederhana yaitu jangan jual tanah kita. Jangan jual tanah, itu pesan tersirat yang beliau ingin bisikkan melalu televisi kala itu. Entah ada yang benar-benar mengilhaminya, atau dianggap angin lalu bagai mendengar celotehan basi.

Kenapa jangan menjual tanah kita?

undefined

(source : http://llenrock.com/blog/wp-content/uploads/2011/10/landforsale.jpg)

Saya percaya dengan ungkapan dimana tanah dipijak disana langit dijunjung, hal ini semakin terasa benar jika kita sadar hidup di Bali yang menjunjung ajaran Tri Hita Karana. Hubungan yg harmonis antar tiga elemen dunia (Parahyangan, Pawongan, Palemahan), dan percaya akan adanya alam lain selain dunia manusia (niskala). Tanah adalah tempat kita berpijak, selaras dengan pernyataan sebelumnya maka tanah di Bali bukan sekedar kavling yang berfungsi sebagi sawah, tempat tinggal, lahan usaha dll. Tapi tanah adalah bagian dari alam yang menjaga Taksu Bali, roh dan spirit yang akan selalu terkikis jika tanah Bali semakin banyak “diurus” oleh bukan orang Bali itu sendiri, tanpa adat dan budaya kehidupan di Bali. Sayangnya hal ini yang kurang dimengerti oleh masyarakat Bali itu sendiri, entah karena faktor lemahnya pertahanan diri dari godaan uang, pendidikan yang rendah, atau hal buruk lainnya.

Tanah di Bali adalah properti yang mahal. Di tempat strategis seperti Ubud, Kuta, Nusadua, dan daerah wisata lainnya. Harga per are atau m2 bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan konon di daerah Ubud dan sawah wisata di Bali, bisa mencapai 1 miliar rupiah. Sungguh nominal yang mencengangkan. Seandainya jika 1 miliar kita gunakan untuk membeli bakso atau loloh (minuman khas Bali), kita bisa buat kolam renang darinya. Belum lagi karena faktor terdesak ekonomi, orang-orang akan terpaksa menjual tanah warisan leluhurnya misalnya karena biaya ngaben, pendidikan, pengobatan dan lainnya, itu alasan yang logis. Kalau kasus penjudi yang sampai menjual tanah untuk judi, ini yang salah akibat rendahnya pendidikan dan faktor kesadaran. Belum lagi karena tuntutan nafsu, banyak orang membutuhkan banyak uang untuk memenuhi gaya hidup mewah. Sebenarnya kalau untuk hidup saja tidak mahal, gaya hidup yang mahal. Bali yang katanya akan kita jaga, tapi kita gerogoti dan kita lepas secara perlahan, apakah saya orang kesekian yang sadar namun tidak bisa berbuat banyak? Anda?

Mari kita berpaling sejenak dari tanah dan uangnya. Kini kita bahas sisi lain dari orang Bali yang katanya ramah, baik, dan dermawan. Tanpa disadari walau tidak semuanya, karakter kita berubah, Bali ternyata dikoyak oleh orang-orang Bali itu sendiri. Kita mulai tamak dan money oriented semua akan tersadar mungkin saat semua sudah terlambat. Ambil contoh sederhana, bulan lalu saya ikut ambil bagian di proyek tugas akhir teman saya dari IKJ (Institut Kesenian Jakarta) pembuatan film narasi yang kebetulan mengambil tema Subak, dan lokasinya di sebuah desa wisata sawah di Tabanan, dan belum lama ini telah diresmikan sebagai Warisan Budaya Dunia. Indah sekali pemandangan disana, benar-benar warisan leluhur yang tak ternilai, orang dulu memliki pandangan visioner dengan mengelola persawahan disana, beras khusus yang dikembangkan disana adalah beras bali atau dikenal dengan beras merah. Sawahnya rapi, bersih, tertata, terkelola, dan mempesona.

Dimana sisi money oriented-nya? Masyarakat lokal mulai membisniskan semuanya, hingga ke jasa kecilpun juga. Saat proses pembuatan film kemarin, kami sempat mengundang anak-anak sekitar untuk ambil bagian dalam adegan, setelah selesai ternyata uang saku yang kami berikan dianggap kurang cukup, dan beberapa orang dewasa mulai membicarakan kami. Dan kisah pecalang yang katanya sering bertengkar dengan pengelola restoran setempat karena salah paham di penerimaan tamu masuk ke daerah sana. Cerita tentang tidak seragamnya biaya wisata disana, untuk sekedar jalan-jalan di sawah, foto-event, dan semacanya. Tidak jarang karena kurang terjalin rapi, pengelola resmi wisata disana malah sering kecolongan. Cerita ini saya dapat langsung dari orang lokal yang membantu kami selama disana, tapi tebak apa yang terjadi kemudian? Di akhir kegiatan saat kami hendak pamitan pulang dan membayar semua tagihan, orang lokal ini adalah dalangnya, dia menempel semua penginapan, kendaraan, dan extras (pemain tambahan) yang kami gunakan disana. Dikomersialkan istilah gampangnya, setiap pengeluaran dan tagihan yang kami bayar, beberapa persen masuk ke kantongnya, padahal sedari awal dia mengatakan semuanya tulus membantu, apalagi katanya kami adalah mahasiswa yang berkarya (non-profit).

Tanpa mengesampingkan banyaknya masyarakat sana yang masih peduli dan baik hati, oknum-oknum seperti cerita diatas adalah cerminan orang Bali yang saya bisa katakan, terkena efek negatif pariwisata. Kenapa efek negatif? Pemahamannya akan pariwisata sudah terlalu meleset, memanfaatkan turis untuk uang dan uang, tak dihiraukannya kesan yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Dari poin ke-7 Sapta Pesona, Kenangan adalah poin terakhir yang harus diberikan setiap tempat wisata. Walau tak selalu, tapi kali itu, kami tak memperoleh kenangan yang baik. Sayangnya ini tidak hanya terjadi di tempat tadi saja, banyak tempat khususnya di daerah wisata di Bali, sudah meluntur sisi ke-Bali-an masyarakatnya. Hanya untuk foto barang dagangan harus bayar, hanya bertanya sekedar dari apa dan bagaimana proses suatu barang dibuat harus bayar, seakan semuanya serba cepat dan instan, digoda oleh gemerlap pesona receh yang dibayangkan, padahal semua pemahaman mereka tentang making-money masih sedikit meleset, kasihan.

Melompat ke isu lain, kasus villa dan bangunan milik asing beda lagi, adanya awig-awig dan peraturan daerah diakali oleh investor nakal dengan mengatasnamakan dengan nama orang Bali. Jadi tidak hanya mulai dari membeli lahan, hingga membangun dan menjalankan usahanya semua atas nama orang lokal. Pemiliknya bule kaya dari eropa sana, tapi usaha atau propertinya disini atas nama orang lokal. Hanya kemudian dengan diberi “kehormatan” pemegang kunci plus dijadikan tukang kebun dengan gaji kecil, orang Bali seperti diperah.

Tanah diambil, pengelolaan dicurangi, setelah habis baru Bali dikembalikan ke kita. Anak cucu kita hanya akan dapat cerita dongeng tentang indahnya Bali dulu. Kurangnya pendidikan dan pentingnya pengertian tentang mempertahankan Bali menjadi peran penting disini. Masih perlukah kita berdiam diri? Dimana peran pemerintah untuk memproteksi dan mencegah hal ini?

Aturan dan larangan dibuat dengan cepat, tapi pelaksanaan yang kurang tegas, mungkin penyebabnya. Belum lagi perijinan bangunan, usaha franchise, hotel, vila, dll yang terlihat gampang diijinkan. Sebagai leader di Bali, bapak gubernur terlihat tegas dan memiliki pandangan jelas  tentang pengelolaan Bali, tapi apa bawahannya menurut? Tindakan menyuap, dan disuap dimulai dari bawah, bagai piramida semakin ke atas akan semakin tipis penampakannya, namun ada.

Pemerintah yang kami dambakan, memiliki peran penting disini. Bukan hanya sekedar duduk di kantor menunggu jam pulang. Tanpa inovasi, dan nak mule keto.  Semoga perkembangan yang ada sekarang semakin menuju ke perbaikan, setiap masalah pasti ada jalan keluar, dan saya yakin Taksu Bali tidak akan mudah hilang begitu saja. If Life will find it way to live, so do Taksu Bali, it will find the way to exist and became stronger.

Sudah selesai sisi buruknya, kini mari beri ruang untuk sedikit menyinggung para pejuang. Pertama kita lirik dari para musisi Bali yang berjuang untuk ajeg Bali dengan cara meraka sendiri. Membentuk komunitas, menggalang masyarakat melalui fanbase dan mulai merasuki pemikiran, dilakukan cerdas dan tangkas lewat lirik. Pergerakan mereka berani dan nekat. Cara ini sangat ampuh, mengingat kita cenderung akan mendengarkan siapa yang mau kita dengarkan. We believe what we want to believe. Dan para seniman panggung ini, tahu betul caranya. Walau ada kala mereka disandung, dan dibungkam paksa, tapi teman-teman sejawatnya akan muncul dan membalikkan fakta, mengumpulkan lagi lebih banyak masa, menyuarakan apa yang seharusnya dipergerakkan. Seperti kata saya tadi, Life will find it way to live. Semoga apa yang mereka lakukan selalu mendapat dukungan dan jauh dari negatif, dan tidak goyah akan godaan.

undefined

(source : http://bali.panduanwisata.com/files/2012/02/twice-bar-kuta3.jpg)

Selain itu para pemuda dan golongan pelajar yang mulai bangkit dan berjuang dengan mandiri. Mereka membentuk kelompok yang masing-masing bertujuan sama namun bergerak di ranah berbeda. Senang sekali rasanya mengamati pergerakan dan pengabdian yang mereka lakukan. Saya pribadi mungkin bisa digolongkan pasif, namun saya punya cara tersendiri untuk mengertikan Bali. Menulis dan menyebarkan gagasan, memiliki prinsip Ajeg Bali, sudah cukup untuk menjaga semuanya baik saja. Karena bukankah untuk memulai suatu hal, harus dimulai dari diri sendiri dulu? Semua hal yang besar, berawal dari yang kecil. Jika setiap pemuda, setiap orang memiliki hal ini, keutuhan Bali akan bisa dinikmati sampai cucu saya, dan cucu dari cucu saya. Utuh tanpa modifikasi, dan diskriminasi dan semoga bukan jadi cerita narasi oleh para tetua ke anak-anaknya.

Semoga tulisan ini tidak dibaca dengan alis mengkerut dan nada tinggi, karena saya menulisnya dengan santai dan senyum di sudut bibir. Semoga semangat dan spirit kita selalu sama dan menguat, tidak beduli berapa kali jatuh, namun bangkit dan memperjuangkannya kembali.

Suksma.

Made Arya Wijaya. -twitter or my other notes at -tumblr