Sebagai salah satu destinasi pariwisata dunia, Pulau Bali yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana dan bernafaskan ajaran Agama Hindu selalu mendapatkan penghargaan istimewa di mata internasional. Setelah tanggal 29 Juni 2012 UNESCO menetapkan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia, pada tanggal 3 Desember 2015 hasil seni, cipta, dan karya masyarakatnya pun diakui dunia. Sembilan tari Bali ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak benda oleh UNESCO. Joged Bumbung adalah salah satu tarian Bali yang mendapatkan penghargaan dalam sidang Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan tersebut. Mengapa Joged Bumbung menjadi menarik untuk dibicarakan? Karena tarian sederhana yang fenomenal ini secara tidak langsung mewakili kearifan masyarakat lokal dengan menjadi salah satu warisan budaya dunia. Sebagai warga Bali, kita bertanggungjawab untuk menjadi duta budaya dan pariwisata dengan mendukung pementasan kegiatan kesenian yang mengandung nilai luhur serta tetap memegang teguh nilai-nilai kesenian yang mengedepankan etika, logika serta estetika.
Jika dilihat dari sejarah terbentuknya tari sosial asal Lokapaksa, Seririt, Buleleng ini tari Joged Bumbung adalah tarian sederhana yang tercipta dari kreativitas para petani yang ingin melepas lelah setelah berpeluh di sawah. Diiringi seperangkat gamelan bambu yang didebut rindik, penari menunjukkan kelincahan, kecantikan dan serta keluwesannya dalam berekspresi dan menghibur. Namun seiring perkembangan zaman, inovasi yang diberikan dalam tarian ini terkesan mengarah pada “keerotisan” yang tidak sesuai dengan pakem pakem yang ada dan boleh dikatakan melewati batas kewajaran.
Sungguh miris, bila kontroversi ini terus dibiarkan berkembang begitu saja. Jangan biarkan slogan “ Tidak mesum, Tidak laku” Joged Bumbung erotis tetap membumbung tinggi menutupi keindahan nilai sosial awal mula terciptanya tarian ini. Akarnya adalah menguatkan sekaa kesenian melalui pembinaan dan pelestarian kesenian Joged Bumbung agar kembali sesuai bentuk dan fungsinya. Pun tak hanya dari pihak penyedia hiburan, sebagai penikmat kita juga harus bijak. Dalam sebuah artikel daring, sekaa kesenian yang bersikeras tetap mementaskan gerakan-gerakan porno berdalih itu semua karena permintaan masyarakat. "Saat meminta tarian joged janganlah meminta porno. Kita kan seperti orang jualan, kalau orang pesannya apa, kita harus bias siapkan, yang penting sesuai target. Kalau gak gitu kita gak bias nutup biaya operasional” kata salah satu pimpinan Sekaa Joged Bumbung http://bali.tribunnews.com/
Berkaitan dengan hal ini, Dinas terkait di provinsi Bali seperti Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan stake holder lainnya diharapkan bisa bergerak cepat dalam mengambil upaya-upaya menanggapi kasus ini. Bertindak secara tegas degan menutup situs porno di dunia virtual seperti Youtube dan memperkuat kerjasama dengan majelis pakraman desa dalam menyosialisasikan sekaa joged dan masyarakat Bali dalam pendokumentasian pementasan tarian ini. Tak hanya itu, Pemerintah juga harus semakin gencar menyebarkan video tandingan berupa tari Joged Bumbung yang berpentas sesuai dengan kebudayaan kita. Dunia maya seperti pisau bermata dua, kitalah yang harus lebih bijaksana dalam memilih ruas yang digunakan. Unggah video joged bumbung tanpa perlu menonjolkan sisi sensualitas namun kualitas penari dan gamelan yang layak ditonton dunia. Gencarkan kembali gerakan promosi budaya Bali dengan perspektif kekinian yang menggunakan sosial media dan teknologi sebagai sarana dokumentasi kesenian.
Sebagai masyarakat Bali, kita seharusnya sadar akan pentingnya menjaga dan melindungi budaya yang kita miliki. Kita harus selalu selektif dan membentuk mindset positif dalam diri masing masing. Perlu kita ingat, walaupun tidak dikemas secara vulgar dan erotis, pementasan Joged Bumbung sudah dapat menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara dengan keindahan tarian dan musik iringannya yang kalsik. Namun kembali pada poin kebijaksanaan menyikapi perubahan dewasa ini. Mengutip kata Mahatma Gandhi,"Hindari kemarahan dan lebih baik mencari jalan keluar ketika menghadapi masalah". Kini bukan saatnya lagi mencari siapa yang harus bertanggung jawab. Kalau tidak kita sebagai generasi muda Bali sadar dan mau bertindak, lalu siapa lagi? perubahan itu abadi, cerdas menghadapi perubahan itulah yang hakiki.
image references www.google.com
Komentar