Om Swastyastu,

Om Ano Badrah Kratevo Yantu Wiswatah

(Semoga Pikiran Baik Datang dari Segala Penjuru)

 

            Pernikahan sesama jenis (gay) yang termasuk ke dalam LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) telah berlangsung di salah satu hotel berbintang di Ubud, Gianyar, Bali tahun 2015 lalu, membuat masyarakat geram. Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pun angkat bicara mengenai masalah ini dan meminta pihak kepolisian mengusut kasus yang awalnya muncul dari beberapa foto pernikahan sesama jenis yang diunggah di salah satu akun facebook tersebut. MUDP (Majelis Utama Desa Pekraman) Provinsi Bali dan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Provinsi Bali juga sangat terkejut dan menyayangkan adanya pernikahan ini karena secara tidak langsung telah mencoreng nama dan kesucian pulau Bali serta agama Hindu khususnya karena dalam pernikahan tersebut terlihat seorang yang berpakaian seperti pemangku yang tengah menjadi penghulu dalam pernikahan yang berlokasi di pulau Bali. Walaupun saat ini berita tersebut sudah mulai berangsur-angsur tenggelam dan hilang tetapi fenomena ini patut untuk diangkat sebagai sebuah pembahasan untuk generasi muda.

            Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sudah secara tegas menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan penjelasan di atas, tentunya kasus pernikahan sesama jenis tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agama yang ada di Indonesia, termasuk agama Hindu. Agama Hindu memiliki pemahaman tentang konsep rwa-bhineda, yang dapat dituangkan menjadi konsep lanang-wadon atau purusha-pradana (laki-laki dan perempuan). Konsep ini adalah salah satu konsep agama Hindu yang tidak sesuai dengan pernikahan sesama jenis tersebut karena konsep lanang-wadon dapat bertujuan untuk mendapatkan keturunan sebagai salah satu tujuan dari pernikahan. Mendapatkan keturunan secara biologis tentunya tidaklah mungkin didapat dari pernikahan LGBT, lalu apakah yang menjadi motivasi pernikahan LGBT? Apakah cinta atau nafsu? Ini tentunya hanya bisa dijawab oleh LGBT tersebut. Cinta memang adalah kasih sayang secara universal, tidak hanya antara pria dan wanita tetapi juga kepada sahabat, orang tua dan tuhan. Lalu apakah cinta tersebut harus diaplikasikan dengan bentuk pernikahan sesama jenis? Berbicara masalah pernikahan LGBT, tentunya tidak bisa terlepas dari hak asasi manusia sebagai prinsip-prinsip moral atau norma-norma yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional (https://id.m.wikipedia.org). LGBT merasa hal itu sah-sah saja sebagai sebuah wujud kebebasan atas HAM dan yang paling terpenting tidak merugikan pihak lain. Apakah pernikahan ini merugikan atau tidak? Tentunya ini sebuah pelajaran untuk semua.

            Eksistensi LGBT di Bali bukanlah dari tahun 2015 yang lalu, tapi sudah cukup lama di tengah derasnya dan majunya sektor pariwisata di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Mengapa saat terjadinya pernikahan LGBT tahun 2015 di Bali dan terekam media, semuanya baru seakan-akan marah, kaget, kecewa? Kemanakah pemerintah dan pihak-pihak yang merasa dirugikan dan dilecehkan tersebut ketika banyaknya club malam atau caffee yang menjamur yang khusus memberi ruang gerak kepada LBGT terutama kaum gay tersebut? Lihatlah langsung ke daerah Kuta, tentunya BALI JOE bukanlah tempat yang baru lagi bagi kaum LGBT, bentuk promosinya sudah berskala nasional dan internasional. Ditambah adanya Pemilihan Duta Bali Joe, yaitu Putra Bali Joe yang menjadi sebuah tontonan wajib disana. Selain itu, sudahkah pemerintah tau kalau pulau Bali sudah memiliki wisata LGBT? Paket liburan dan bahkan honeymoon. Tentunya ini yang harus dipikirkan bersama, wajarkah jika masyarakat global berpikir bahwa Bali sangat terbuka dan welcome terhadap LGBT tersebut? Ini menjadi pertanyaan yang harus dijawab bersama. Kenapa banyak pihak seolah-olah menutup mata terhadap banyaknya ruang publik yang diberikan untuk LGBT tersebut? Pemerintah setempat, yaitu Pemkab Badung harusnya sudah mulai memikirkan kebijakan dan aturan yang harus ditegakkan untuk menangani kasus ini. Namun, bukan berarti pemerintah kabupaten lain hanya berdiam diri tetapi harus juga bersama-sama memberikan perhatian terhadap kasus ini agar tidak terulang lagi. Kabupaten Gianyar sebagai daerah tujuan wisata juga diharapkan mulai memiliki kebijakan dan aturan untuk kasus ini. Pemerintah Provinsi Bali dengan beberapa SKPD (satuan kerja perangkat daerah), tokoh-tokoh agama, pihak terkait dan masyarakat harus segera merumuskan sebuah kebijakan dan aturan bersama yang tegas untuk segera diterapkan guna menghindari kasus serupa terulang lagi di pulau Bali karena kasus pernikahan LGBT menjadi tanggung jawab bersama. Penanganan kasus ini tentunya tidaklah cukup dengan membuat kebijakan dan aturan yang tegas dalam bentuk hitam di atas putih (di atas kertas) tetapi harus juga ada langkah nyata, yaitu dalam bentuk pengawasan yang ketat, pemberian sanksi yang tegas, dan evaluasi secara terus menerus. Dilema akan muncul ketika kebijakan dan aturan tersebut menuntut adanya penutupan atas beberapa club malam, spa atau massage, restauran, dan hotel yang memang melayani wisata LGBT di Bali. Apakah semua tempat wisata LGBT tersebut terdata dan sudah mendapat izin serta membayar pajak untuk APBD kabupaten? Kalua iya, kenapa selama ini pemerintah seperti menutup mata tentang adanya wisata LGBT ini? Seperti penulis jelaskan sebelumnya, wisata LGBT tersebut sudah tersebar di dunia maya yang mudah di akses dalam maupun luar negeri seperti youtube dan website lainnya. Hanya pemerintah dan dinas terkait yang mampu menjawabnya. Sesungguhnya kelompok peduli remaja, kelompok gaya dewata dan kelompok lainnya dapat membantu program pemerintah ke depan terhadap kasus tersebut. Mereka bisa digandeng sama halnya seperti program pengentasan penularan virus HIV-AIDS di Bali.

Berbicara masalah pernikahan LGBT ini tentunya tidak akan ada habisnya. Jadikanlah kasus ini sebagai sebuah kesalahan yang sekaligus menjadi sebuah pembelajaran ke depan untuk bersama. Hal yang terpenting saat ini adalah adanya tindakan atau langkah nyata yang harus dilakukan bukan hanya sebuah wacana saja tapi tidak ada realisasinya. Pemerintah tetap merumuskan kebijakan dan aturan sedangkan masyarakat mulai berbenah dari tingkat desa/ kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten dan kota. Mulailah menggunakan satuan pengamanan masyarakat Bali, pecalang untuk media kontrol terhadap situasi dan kondisi di lingkungan sekitar dengan tetap bersinergi dengan kepolisian. Selain itu, penanaman pendidikan berkarakter di lingkungan sekolah dan keluarga juga sangat penting untuk dilakukan. Para tenaga pendidik di sekolah dapat mulai memberikan pemahaman tentang beberapa konsep, seperti: Budi Pekerti yang mencakup pendidikan etika dan sopan santun, konsep Pancasila dan Kewarganegaraan yang mencakup aturan perundang-undangan, konsep Tri Kaya Parisudha, yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik serta konsep Panca Srada yang mencakup keyakinan akan Ida Sang Hyang Widhi, Atman, Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa. Semua pemahaman konsep tersebut harus juga diimbangi dengan pengamalan atau penerapan dalam kehidupan sehari-hari dan dimulai dari hal-hal yang kecil. Peran tenaga pendidik di sekolah dan peran orang tua atau keluarga menjadi kunci sukses utama terhadap penanaman pendidikan berkarakter. Inilah sebabnya pelajaran-pelajaran tersebut hendaknya tetap dipertahankan dari bangku sekolah hingga bangku kuliah, hanya bobot pemahaman dan pendalaman materinya saja disesuaikan. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa diharapkan pula untuk mulai menerapkan nilai-nilai adi luhung para leluhur Bali yang sudah diwariskan dari turun temurun, MULAT SARIRA. Adanya proses evaluasi diri sendiri untuk mulai bercermin dan menemukan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi secara tenang agar nantinya bersama-sama dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Akhir kata, penulis meminta maaf jika ada pihak-pihak yang merasa tersinggung atas tulisan ini dan tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk perhatian dan waktu dari para pembaca. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Om santi, santi, santi Om