“Om Swastiastu, apa kabar kawan? Aku Made dari Bali

Pulauku indah, pulau dewata, orang bilang pulau surga…”

Penggalan lagu Made in Bali yang dibawakan Bintang Band ini tiba-tiba melintas dipikiran saya ketika menulis artikel ini. Kenapa? 

            Lirik lagu di atas mengungkapkan ramahnya sapaan orang bali bernama Made yang bangga dengan pulaunya, Pulau Bali. Bagaimana tidak bangga? Bali, memiliki pesona pariwisata yang terbilang complete, dari wisata spiritual, wisata alam, wisata sejarah, budaya dan lainnya tertanam dan selalu siap dipanen di Bali. Tapi selain mengeksplore kekuatan yang dimilikinya, Bali juga harus menjaga kekuatan yang ada. Salah satu kekuatan yang telah ada sejak dulu ya kearifan lokalnya. Dan salah satu kearifan lokal yang tersebar di seluruh bagian di Bali terlihat dari segi nama masyarakat Bali.

            Orang Bali atau bukan, pasti sudah tidak asing lagi dengan nama-nama Made, Ketut, Ida Ayu, Gusti, dll. Ketika mendengar nama-nama itu, pasti akan memiliki pikiran awal bahwa pemilik nama tersebut adalah orang Bali. Nama adalah  sebutan atau label yang diberikan kepada benda, manusia, tempat, produk (misalnya merek produk) dan bahkan gagasan atau konsep, yang biasanya digunakan untuk membedakan satu sama lain. Inilah pembeda atau kekhasan yang dimiliki Bali, sehingga setiap orang Bali yang merantau dan menggunakan nama-nama ini, biasanya akan mudah dikenali. Orang Bali juga biasanya akan lebih respect ketika mendengar suatu berita yang berkaitan dengan nama-nama ini karena berpikiran sebagai sesama rerama (keluarga).

            Namun, kenapa harus Putu? Kenapa tidak Stuart atau David agar terdengar lebih highclass bagi segelintir orang ?    

       undefined

Sumber : http://roombucketdotcom.blogspot.co.id/2013/09/nama-orang-bali.html

Sekilas mengenai nama-nama Bali,

Pastinya ada alasan dibalik lahir dan menyebarnya nama-nama unik tersebut. Orang Bali pada zaman dahulu memiliki pemikiran yang simple dalam pemberian nama. Pemberian nama ini ada yang berdasarkan jenis kelamin, sistem warna, dan urutan kelahiran. nama orang Bali biasanya diawali dengan I atau Ni sebagai penanda ia seorang laki-laki atau perempuan. “I” digunakan untuk laki-laki, dan “Ni” untuk perempuan. Namun biasanya perempuan berkasta menggunakan “I” pada awal dari nama mereka. Orang Bali juga mengenal penamaan berdasarkan sistem kasta. Dimana, nama berdasarkan sistem ini dibawa secara turun temurun terutama dari keluarga ayah. Misalkan, Ida Ayu dan Ida Bagus adalah nama yang digunakan bagi golongan Brahmana.

Selain itu, ada juga penamaan berdasarkan urutan kelahiran, yaitu anak pertama biasa diawali Putu (cucu), atau Gede ( besar/ terbesar), atau Wayan (wayah/ tertua) ; anak kedua biasa diawali Made (madya), atau nengah (tengah), atau Kadek (adek/adik) ; anak ketiga biasa diawali Nyoman atau komang (anom-an/ lebih muda) ; dan anak keempat diawali dengan Ketut (ke-tuut/ yang mengikuti). lalu, untuk anak ke-5 dan seterusnya akan mengulang dari awal lagi dengan urutan yang sama. Namun biasanya akan dilengkapi dengan kata Balik sesudah sebutan awal. Misalkan I Made Balik, ini menandakan bahwa ia adalah anak ke-6

Namun pemberian nama ini bukanlah kaku harus sedemikian rupa. Ini adalah budaya yang bersifat fleksibel. Namun sifatnya yang fleksibel ini kadang sedikit demi sedikit membuatnya tenggelam.

            Ini dia problematikanya

Tenggelamnya kearifan lokal ini biasanya disebabkan oleh orang-orang lokal yang kurang percaya diri menggunakannya. Biasanya karena pengaruh dirinya sendiri atau lingkungan yang sering menganggap Nama Bali ini kuno dan hanya dijadikan lelucon. Saya seorang siswa yang mayoritas teman saya adalah orang Hindu-Bali dengan nama-nama Bali. namun kebanyakan dari mereka masih kurang percaya diri dengan nama-nama tersebut. Mereka malah merasa gengsi ketika dipanggil dengan nama kebanggan Bali ini. Ketika mereka dipanggil dengan nama-nama Bali tersebut, biasanya hanya dijadikan bahan walekan (ejekan). Nama-nama lokal malah mendapat tertawaan konyol.

Ejekan ini jelas berdampak terhadap respect orang Bali kepada nama Balinya sendiri. Lambat laun, bisa menyebabkan musnahnya nama-nama Bali, sehingga tak dikenali oleh anak cucu kita nanti. Saya rasa ejekan apapun itu tak akan berpengaruh jika kecintaan kita terhadap budaya sendiri sudah kuat. Saat ini, generasi muda jauh lebih percaya diri dengan nama yang berbau barat. Lah, kenapa PD dengan budaya luar tapi malu dengan warisan sendiri?

Kearifan lokal ini memanglah budaya yang bersifat fleksibel. Namun, sebagai orang Hindu Bali, sudah selayaknya kita meneruskan budaya ini. Tak sepantasnya kita malu dengan budaya sendiri. Mindset yang salah harus segera diperbaiki sebelum merusak masa depan. Bagi teman-teman yang memiliki nama-nama Bali ini, tak usah malu jadi penerus. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan meneruskan nama-nama ini?

Tapi readers,

Digunakan atau tidak, bangga atau tidak dengan nama Bali, kembali lagi ke individu masing-masing. Setiap orang pasti memiliki pemahaman dan cara pandang yang berbeda. Tergantung bagaimana kita menempatkan seberapa penting budaya ini, dan seberapa nyaman kita menggunakan nama-nama ini. Memang bukan suatu keharusan, tapi ini jati diri Bali. menurut saya gengsi itu diciptakan sendiri, kalau semua terselimuti gengsi, maka sulit bagi kita untuk menunjukkan diri kita sendiri.

 

Sumber referensi : 

http://cakepane.blogspot.co.id/2012/07/nama-orang-bali.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Nama

http://sinar-cakrawala9.blogspot.co.id/2015/05/arti-nama-nak-bali-imbasnya-terhadap.html

Sampul : http://colekpamor.blogspot.co.id/2016/01/asal-usul-dan-makna-nama-orang-bali.html