Pulau Bali tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya, keramahan penduduknya, dan seni budayanya saja tetapi pulau Bali juga menyimpan begitu banyak daya tarik lainnya sehingga banyak wisatawan mancanegara ingin mengunjungi pulau Bali bahkan beberapa diantaranya ingin tinggal menetap. Banyak kegiatan yang berskala nasional bahkan internasional dilangsungkan di Bali, termasuk film drama Amerika Serikat Eat, Pray, Love yang diperankan oleh Julia Roberts mengambil tempat di Bali. Dalam kisah tersebut, Elizabeth Gilbert yang diperankan oleh Julia Roberts memutuskan bercerai dengan suaminya Steven yang diperankan oleh Billy Crudup. Gilbert merasa begitu frustasi hingga akhirnya memilih untuk pergi ke luar negeri dan akhirnya menemukan tiga hal yang berkesan, yaitu kuliner di Italia, ibadah di India, dan cinta sejati di Bali. Pulau Bali mulai dianggap sebagai tempat yang tepat untuk menemukan cinta atau sebagai tempat untuk mengikrarkan sebuah hubungan dalam ikatan yang suci berbagai agama dan kepercayaan. Banyak pasangan mulai datang ke Bali untuk pernikahan, lalu bagaimanakah dengan masyarakat lokal? Benarkah pulau Bali adalah pulau cinta? Apakah semua kisah cinta masyarakat Bali berakhir manis? Tentunya hal ini tidak bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak”, apalagi ketika berkaitan dengan kasta di Bali.

Kasta adalah sistem pengelompokkan masyarakat berdasarkan garis keturunan. Adapun pengelompokkannya terbagi menjadi empat yang disebut dengan “Catur Kasta”, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Kasta brahmana adalah kasta golongan masyarakat yang berkecimpung di bidang kerohanian dan mengajarkan ilmu pengetahuan, kasta ksatria adalah kasta golongan masyarakat yang memiliki keahlian di dalam bidang kepemimpinan untuk mengatur suatu kelompok atau bahkan negara. Pada jaman dahulu kasta ksatria adalah orang-orang yang bekerja di dalam istana untuk melindungi raja dan keturunannya,  kasta waisya adalah kasta golongan masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian, perkebunan, berternak maupun berdagang. Keunggulan dari kasta waisya ini adalah mereka bisa menguasai dan mengatur berbagai hal di bidang perekonomian, dan kasta sudra adalah kasta golongan masyarakat biasa dan terkadang bertugas untuk melayani kasta lainnya. Pemahaman “Catur Kasta” ini sangatlah berbeda dengan “Catur Warna”, ketika catur kasta dikaitkan dengan penggolongan masyarakat berdasarkan garis keturunan maka catur warna adalah penggolongan masyarakat berdasarkan tugas atau fungsinya. Saat ini,  masyarakat masih mengaburkan pemahaman tentang kedua sistem penggolongan masyarakat tersebut sehingga memunculkan perdebatan. 

undefined

Perdebatan akan semakin tajam ketika penggolongan masyarakat di Bali tersebut dikaitkan dengan perkawinan, terutama perkawinan beda kasta. Perkawinan beda kasta tersebut tidak hanya tentang penyatuan dua individu yang berlawanan jenis untuk meneruskan garis keturunan saja, tetapi memiliki dampak tentang hak dan kewajiban masing-masing individu tersebut ke depannya, baik yang berstatus “purusha” maupun “predana”. Dalam Pasal 1 UU Perkawinan 1974 menyebutkan: “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada umumnya Undang-Undang Perkawinan secara prinsip mengandung asas-asas yang dapat membawa pada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga.Adapun asas-asas itu sebagai berikut: (1) tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum Agama yang dianut, dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, (3) Undang-Undang Perkawinan mengandung asas monogami, (4) calon suami harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, (5) Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian, dan (6) hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat diatur dalam Undang-Undang ini.Kalau diperhatikan asas (2), (4), dan (6) tersebut dan dikaitkan dengan upacara perkawinan atau manusa yadya di Bali, tentunya ketiga asas tersebut akan menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Asas kedua, yang menekankan tentang pelaksanaan sesuai dengan hukum Agama yang dianut dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, akan menimbulkan permasalahan ketika adanya perkawinan beda kasta antara pria yang berstatus “purusha” dari kasta sudra dengan wanita yang berstatus “predana” dari kasta brahmana atau ksatria. Perkawinan ini akan menjadi perdebatan terutama di pihak keluarga wanita karena pihak wanita akan “nyerod”dan tidak dianggap lagi sebagai anggota keluarga dari kasta brahmana atau ksatria tersebut dan lebih parahnya lagi tidak diijinkan untuk pulang atau bahkan putus hubungan keluarga karena dianggap memalukan. Sangat menyedihkan dan miris tetapi begitulah yang terjadi dan dialami oleh beberapa masyarakat Bali, walaupun tidak semuanya. Hubungan darah tentunya tidak bisa diputus begitu saja, tetapi bagi beberapa pasangan, dengan kehadiran seorang anak dan tentunya berjalannya waktu dapat memperbaiki hubungan tersebut kelak di kemudian hari. Bukan berarti tidak menghormati keluarga atau leluhur, tetapi terkadang pihak wanita tidak memiliki pilihan lain dan akhirnya memilih untuk kawin lari atau dengan kata lain pergi dari rumah secara diam-diam dan hanya “mepamit” kepada leluhur dengan menghaturkan pejati di “rong tiga” di sanggah kemulan atau merajan.

undefined

Pada saat berlangsungnya upacara perkawinan di rumah kediaman pria, terkadang keluarga dari pihak perempuan tidak akan mau datang untuk ikut memberikan doa restu. Padahal dalam upacara perkawinan Hindu di bali, diperlukan adanya “Tri Upasaksi”, yaitu dewa saksi, manusa saksi, dan bhuta saksi. “Dewa Saksi” yaitu saksi kehadapan dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan upacara perkawinan tersebut, “Manusa Saksi”, yaitu saksi kehadapan manusia, dalam hal ini semua yang hadir dalam upacara tersebut, seperti: pemangku sebagai rohaniawan, perangkat desa, maupun pewarangan, dan “Butha Saksi”, yaitu saksi kepada para “butha kala”, yaitu pada saat upacara “byakala” disertai dengan membakar “ketimpug” sehingga menimbulkan suara ledakan. Berbeda dengan perkawinan antara pria yang berstatus “purusha” dari kasta brahmana atau ksatria dengan wanita yang berstatus “predana” dari kasta sudra, tidak akan terjadi perdebatan yang keras seperti di atas karena perkawinan ini dianggap menaikkan status atau golongan bagi si wanita dengan memberikan nama panggilan, seperti: jero ningrat, jero melati dan lainnya.

Asas keempat, yang menekankan tentang kematangan jiwa dan raga sebelum perkawinan harus benar-benar dipahami dan diterapkan oleh kedua pihak, baik pria maupun wanita. Kematangan jiwa dan raga ini tidak hanya menyangkut masalah kematangan dari segi usia, fisik, jabatan atau penghasilan semata, tetapi juga dalam kematangan mental, yaitu kematangan berpikir dan berbuat karena ke depannya mereka berdua akan menjalani bahtera rumah tangga. Kematangan mental ini dapat dijadikan sebagai pedoman untuk memilih waktu yang tepat untuk menikah sesuai dengan Undang-Undang dan juga memilih pasangan, yang sesuai dengan hati atau perasaan. Hak tersebut termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.Dapat dibayangkan ketika perkawinan didasarkan atas paksaan orang tua atau demi menjaga garis keturunan agar tetap murni dengan cara harus memilih pasangan dari kasta yang sama. Di saat itulah, seorang anak mengalami dilema antara mengikuti pesan dan arahan orang tua untuk memilih pasangan dengan kasta yang sama sehingga dianggap sebagai anak yang berbakti walaupun mengorbankan perasaannya atau justru tetap memilih dan yakin akan pilihannya sendiri dengan cara kawin lari. Di sini saatnya seorang individu dituntut untuk memikirkan matang-matang langkah yang akan diambil sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Penyesalan akan lebih dirasakan oleh seorang anak ketika menyangkut asas berikutnya, yaitu asas keenam, yang menekankan pada hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat. Terutama masalah hak bagi wanita yang akhirnya masuk ke pihak keluarga pria dengan kasta yang lebih tinggi. Masalah akan muncul ketika ada kematian di keluarga wanita tersebut, yaitu orang tuanya. Apakah wanita tersebut diperbolehkan untuk menyembah dan sujud di depan jasad orang tuanya sendiri? Sembah dan sujud terakhir dari seorang anak selain sebagai bentuk wujud bhakti dan ucapan terima kasih, juga merupakan cara untuk mendoakan orang tuanya agar mendapatkan tempat yang layak sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Hal yang menyakitkan adalah ketika larangan tersebut berasal dari keluarga pihak pria, disinilah kembali dilema akan muncul. Hal ini tidak hanya tentang hak dan kewajiban saja tetapi rasa kemanusiaan, hubungan darah, dan ikatan bathin.

Dari uraian diatas , tentunya banyak hal yang menjadi pertimbangan seseorang ketika ingin memasuki jenjang perkawinan atau “grahasta asrama”, terutama bagi perkawinan beda kasta. Bak pepatah yang mengatakan Tak ada gading yang tak retak “, baik itu kasta maupun cinta memiliki ketidaksempurnaanya masing – masing .Perkawinan tidak hanya masalah penyatuan dua individu yang berlainan jenis dengan kesiapan jasmani dan rohani saja, tetapi penyatuan dua buah keluarga dengan latar belakang berbeda. .Namun , kita harus ingat sebuah quotes yang mengatakan“don’t judge people for their choice without understanding their reasons “apapun pilihan seseorang merupakan sesuatu yang harus orang lain hargai tanpa mendiskriminasi pilihan orang tersebut . Hal ini perlu untuk direnungkan dalam menentukan pilihan , agar kelak perkawinan tersebut dapat menemui kebahagiaan dan meneruskan garis keturunan.

 Refrences : 

http://www.kompasiana.com/bariyanto/pulau-bali-sekarang-berjulukan-pulau-cinta_5500b6aca33311e772511bd7

Supratikno Raharjo,Agus Aris Munandar, Sejarah Kebudayaan Bali: Kajian Perkembangan dan Dampak Pariwisata, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1998, hlm. 115.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

http://tifanyputrisahara.blogspot.co.id/2015/08/kasta-dalam-agama-hindu.html

http://www.ssbelajar.net/2013/02/pengertian-stratifikasi-sosial-menurut_2.html

http://mertadepik.blogspot.co.id/2014/11/hak-membentuk-keluarga-dan-melanjutkan.html

http://wmegawati.blogspot.co.id/2013/12/pawiwahan-menurut-hindu-bali.html