Jaman memang sudah berkembang jauh, peradaban sudah semakin mencari bentuknya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat dunia saat ini yang didominasi oleh teknologi informasi. Tak ketinggalan dalam kehidupan sosial, adat dan keagamaan di tanah Bali yang konon masih eksotik. Namun, eksotis perilaku dan budaya masyarakat Bali kini sudah terusik oleh dunia modern bahkan sudah mencari bentuknya sendiri dalam peradaban modern. Di dunia modern saat ini, banyak terjadi perubahan yang menyebabkan terjadinya kontroversi. Salah satu hal yang terjadi di dunia modern ini adalah perkembangan dari bentuk gebogan atau banten tegeh yang dibuat sebagai persembahan kehadapan Ida Betara Betari, Dewa Dewi, manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa sebagai rasa syukur dan simbol ketulusiklasan. Biasanya gebogan ini dibuat dan dipersembahkan ketika ada upacara agama yang besar, seperti halnya hari raya Galungan dan Kuningan. Sebagaimana layaknya dari banten tegeh atau gebogan pada awalnya didominasi oleh jajanan bali seperti jaja begina, jaja uli, gipang, satuh, iwel, tape dirangkai dengan buah-buah lokal seperti pisang, manggis, mundeh, sotong, sentul, semaga, jeruk bali, manas, poh/mangga, bahkan buah-buhan langka seperti batulampe, serta potongan tebu manis, dan lain-lain.

Namun sejalan dengan perkembangan jaman disertai dengan kelangkaan dari buah lokal akibat kalah saing dan kalah rasa dengan buah impor, maka keberadaan dari buah lokal sudah tergeser tempatnya di atas dulang banten gebogan, didominasi oleh buah impor seperti apeldengan berbagai merk, per, san kis, markisa, kiwi, anggur, dll. Demikian juga dengan jajanan lokal sudah tergeser kedudukannya di atas rangkaian gebogan bali, dimana didominasi oleh produk modern seperti roti-roti, bolu, ciki-ciki, coklat, pancake / jajanan modern lainnya. Bahkan kini dilengkapi dengan minuman - minuman soft drink, seperti teh dalam kemasan, minuman bersoda, bahkan bir, dll. Memang dirangkai bagus dan indah, tanpa menghilangkan komponen pokok dari banten tersebut seperti nasi, lauk pauk bali, sampian, tumpeng, tape, bantal, dan kelengkapan lainnya.

Namun hal ini menjadi agak sedikit lucu. Karena rangkaian tersebut mengingatkan kita ketika hari raya umat lain atau tahun baru yang biasa mengirim parsel kepada teman, kerabat dan pejabat. Banten tegeh atau gebogan yang dibuat oleh ibu-ibu Bali saat ini hampir menyerupai parsel. Sehingga tak jarang orang nyeletuk banten yang dibuat itu adalah “Parsel buat Ida Betara”. Namun, di sisi lain, perkembangan ini juga membawa dampak yang menyebabkan hilangnya kebudayaan masyarakat Bali yang adiluhung dikarenakan kehidupan yang begitu modern. Hal tersebut mengakibatkan lunturnya budaya orang Bali.

Kesadaran masyarakat akan perubahan dan perkembangan tersebut, belum sepenuhnya muncul. Dikarenakan banyaknya proses kemodernan yang menghantui masyarakat di Bali. Selain itu, masyarakat tidak boleh terlalu fanatik terhadap kebudayaan modern itu, dan ingat jika kita hidup dari dunia tradisional juga.

Kita sebagai pewaris budaya harus tetap mewariskan budaya yang benar. Seperti halnya gebogan atau banten tegeh tersebut. Walaupun kita mempersembahkan gebogan yang sederhana dan dipersembahkan secara tulus ikhlas, tanpa ada peresapan dari budaya modern, maka, kita akan mendapatkan hasil yang bagus. Daripada kita mempersembahkan gebogan dengan unsur-unsur modern dan ditujukan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan tidak ikhlas, itu akan membuat persembahan kita percuma. Jadi, sebagai masyarakat harus mengerti yang mana harus diwariskan dan yang mana harus diperbaiki. Supaya perkembangan tersebut bisa menjadi tolak ukur yang lebih baik untuk kedepannya.

 

Sumber Referensi :http://kanduksupatra.blogspot.co.id/2015/08/parsel-untuk-ida-betara.html