"Tidak ada yang kekal dan abadi didunia ini melainkan hanya perubahan itulah yang kekal dan tak seorangpun yang bisa mengalahkan sang waktu” - Basudewa Krisna

 

            Dalam kutipan tersebut telah diterangkan bahwa tiada yang abadi di dunia. Segala sesuatu di dunia ini dapat berubah bahkan sebuah jaman akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang baru. Tak terkecuali di pulau Bali yang sangat terkenal di seluruh dunia. Bali telah memasuki era yang “kekinian” dengan banyak perubahan sesuai tuntutan dari jaman tersebut. Istilah ini dipakai oleh generasi muda untuk mengartikan keadaan kini atau sekarang yang disebut kekinian. Perubahan yang dialami masyarakat terasa begitu cepat secepat pengalihan fungsi lahan yang terjadi di Bali. Ditambah dengan mata pencarian baru masyarakat Bali yang lebih cenderung bergantung pada sektor pariwisata dan teknologi. Perubahan ini bisa dikatakan cukup drastis yang disebabkan oleh pengaruh global dan pengaruh nasional yang mempengaruhi gaya berbahasa dan busana masyarakat Bali. Namun tidak semua perubahan bisa dianggap negatif maupun positif yang dapat dijadikan sebagai perbandingan antara Bali masa lampau dengan masa sekarang.

            Perubahan yang paling menonjol pada Bali kekinian ini adalah perbandingan Fungsi Lahan di Bali pada era hitam putih dengan Bali dimasa sekarang. Berbicara mengenai lahan yang ada di Bali sudah pasti tidak bisa terlepas dari istilah 'subak'. Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali yang sekarang telah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak 29 Juni 2012. Subak ini merupakan salah satu bukti bahwa dahulunya Bali tergolong dengan pulau agraris yang mayoritas masyarakatnya adalah seorang petani dan hanya menghabiskan waktunya untuk bercocok tanam. Dahulu tanah difungsikan sebagai lahan pertanian atau perkebunan oleh masyarakat Bali. Akan tetapi kita akan dikagetkan setelah melihat data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Bali pada tahun 2013 yang mengatakan luas lahan pertanian berkurang 460 Ha menjadi 81.116 Ha, dibandingkan dengan 2012 seluas 81.625 Ha. Ini berarti dalam kurun waktu beberapa tahun saja alih fungsi lahan itu meningkat hingga saat ini. Alih fungsi lahan terjadi lantaran banyaknya lonjakan penduduk dan meledaknya harga tanah di Bali. Sekali lagi uang telah menggelapkan mata masyarakat untuk menjual Ibu Pertiwi yang seharusnya menjadi warisan bagi anak cucunya nanti. Umumnya lahan yang mengalami alih fungsi ini nantinya akan dijadikan sarana pendukung pariwisata oleh pihak swasta seperti pemukiman hotel dan bangunan modern lainnya. Bayangkan saja bila seluruh masyarakat kompak dan bekerjasama untuk menjual lahannya hanya demi memperoleh uang dengan jumlah besar dalam waktu singkat. Tentu saja akan menjadi ancamana bagi masyarakat itu sendiri khususnya pada status kepemilikan tanah di Bali.

            Perubahan tersebut seketika menjadi sebuah “trend baru” untuk mendapatkan uang, yaitu dengan cara 'ngadep tanah' atau menjual tanah miliknya yang dianggap sebagai jalan pintas kekinian untuk menjadi seorang milyader. Hal ini tidak saja berdampak pada jumlah lahan asli yang dimiliki masyarakat Bali namun berdampak pula pada profesi yang digeluti oleh masyarakat Bali yang dulunya sebagai petani dan sekarang berubah menjadi pegawai yang selalu mengenakan sebuah kemeja berdasi rapi. Bila ada urusan uang/harta tidak ada istilah 'lek' atau malu. Uang pun menjadi salah satu alasan untuk “saling singguk” (bertengkar / sengketa) antar saudara dan masyarakat. Seperti contoh sekarang banyak kasus persengketaan tanah warisan dikalangan masyarakat. Seakan pola pikir masyarakat Bali yang dikenal dengan ramah tamahnya ini telah dirasuki oleh Sad Ripu (enam musuh yang ada pada diri manusia menurut ajaran Agama Hindu). Sampai ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong royong) di banjar atau di Desa sekarang sudah bisa diganti dengan ‘dosa’ ( denda ) dalam bentuk uang. Setelah sadar bahwa uang yang diperoleh dari hasil 'ngadep tanah' akan habis, masyarakat dengan kompak pindah ke sektor pariwisata yang dianggap lebih menguntungkan. Profesi masyarakat yang bisa ditemukan sekarang kebanyakan sebagai pegawai sektor pariwisata seperti contohnya pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dan lain sebagaiannya yang dianggap lebih cendrung menguntungkan.

            Sampai sebuah istilah 'Time Is Money' melekat pada masyarakat Bali. Bila dulunya rutinitas masyarakat Bali hanya bercocok tanam ataupun beternak lalu dilanjutkan dengan bersantai-santai dan berkesenian. Namun sebagian masyarakat Bali pada saat ini mungkin sudah berubah menjadi pribadi yang super sibuk untuk bekerja dan mencari uang. Sehingga sangat sulit untuk beberapa masyarakat Bali agar dapat meluangkan waktunya  mengikuti upacara adat seperti piodalan di Pura dan Merajan/Sanggah. Alasan yang sering terucap adalah “Sing baange libur ajak bos’e, tamu sedeng full” ( Tidak diijinkan libur oleh bos, karena tamu lagi penuh ). Dari kalimat tersebut terkesan tidak ada waktu luang lagi untuk menjalankan konsep 'menyame braye' yang bila diartikan merupakan sebuah konsep silaturahmi antar keluarga maupun saudara. Namun hal itu bisa diminimalisir dengan komunukasi melalui media elektronik yang telah berkembang sekarang. Sehingga komunikasi dengan sanak saudara yang jauh masih bisa dilakukan. Mengenai komunikasi yang ada di Bali pada tempo klasik, komunikasi yang dilakukan masyarakat tergolong bisa dikatakan unik yaitu melalui media 'Kul-Kul' (kentongan) yang umumnya dimiliki oleh setiap Desa ataupun banjar. Kul-kul ini berfungsi sebagai isyarat tanda untuk berkumpul, ataupun sebagai permberi informasi bahwa ada kematian tergantung dari jumlah ketukannya yang memiliki arti berbeda-beda layaknya sebuah Morse. Kulkul ini masih sering digunakan tapi tidak sebanyak jaman dahulu karena pada saat ini komunikasi sudah dipermudah dengan telepon genggam atau bahasa gaulnya Handphone/HP.

            Tidak hanya teknologi sajabahasa dan pakaian pun ikut berkembang sesuai jaman. Dimata beberapa generasi muda sekarang pulau Bali dianggap sebagai pulau yang sudah “go-international” sehinggap menimbulkan sebuah asumsi bahwa bahasa asing wajib untuk dipelajari. Hal positif yang dipikirkan beberapa generasi muda ini ternyata tidak sepenuhnya baik. Karena saking asiknya untuk mempelajari Bahasa Inggris, beberapa generasi muda lupa untuk mempelajari bahasa daerahnya sendiri yaitu bahasa Bali atau bahasa Ibu. Gaya bahasa masyarakat Bali berubah menjadi lebih kekinian, dimana dahulunya kita masih sering mendengar masyarakat di pasar maupun di tempat titik temu lainnya masih menggunakan bahasa Bali murni tanpa “remix” atau di campur dengan bahasa lain yang difungsikan untuk mempermudah komunikasi karena efesiensi dan efektifitas dalam berbahasa Bali. Bahasa Bali yang terkesan ribet khususnya dikalangan beberapa generasi muda, disiasati dengan cara meminimalkan kesalahan dalam pengucapan bahasa Bali Sor, Madia, Singgih (tingkatan dalam bahasa Bali). Sedangkan sekarang sebagian besar masyarakat sudah mulai menggunakan bahasa yang memadukan antara bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa internasional dalam saat berkomunikasi. Hal ini merupakan salah satu cara bagi masyarakat untuk bergauldengan sesamanya maupun dengan orang dari luar daerah. Dibantu dengan penyesuaian pakaian yang digunakan masyarakat sekarang. Bayangkan bila perempuan jaman sekarang masih mengenakan kamben hanya sebatas dibawah dada tentu saja tidak sesuai dengan nilai norma yang berkembang sekarang. Kamben merupakan kain yang menjadi salah satu bagian dari pakaian adat Bali. Perkembangan pakain adat Bali pun mengalami banyak perubahan entah itu dari pakaian adat laki-laki maupun perempuan. Seperti contoh pakaian yang dikenakan saat melakukan persembahyangan di Pura. Dimana pada umumnya perempuan menggunakan kebaya lengan panjang yang sekarang menjadi lengan pendek. Tidak terkecuali pada cara penggunaan kamben yang seharusnya menutupi sampai mata kaki, akan tetapi saat ini lebih cenderung ”kebanjiran” yang terkesan terlalu tinggi dan tidak sopan. Namun bukan berarti budaya di Bali menolak arus global yang akan selalu berkembang. Hanya saja butuh pemahaman lebih lanjut untuk cara berbusana yang baik dan benar.

            Bali terkenal dengan budayanya jangan sampai karena sibuk untuk memenuhi kebutuhan masing-masing kita malah lupa untuk merawat budaya sendiri. Budaya Bali merupakan roh dari pulau tersebut yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Sangat penting bagi masyarakat Bali untuk "mulat sarira" dan merunungkan hal tersebut bersama – sama. Sehingga masyarakat terhindar dari kata “saling singguk” antar sesamanya maupun antar penduduk lain. Selama perubahan tidak mengarah ke arah negatif, perubahan tersebut dapat digunakan untuk menambah kearifan lokal budaya yang dimiliki pulau Bali. Solusi untuk menghadapi ganasnya perkembangan jaman sekarang adalah melalui peran organisasi - organisasi yang ada di Desa seperti sekaa teruna teruni maupun Desa pakraman. Mari saling mengoreksi diri dan tingkatkan Seradha Bhakti. Dengan berpedoman kepada ajaran Tri Hitta Karana.  Mulailah dari hal terkecil yaitu diri sendiri, keluarga, dan dilanjutkan ke masyarakat. Agar terwujud Bali yang tetap ajeg dan ‘shanti’ sampai masa selanjutnya. Dengan cara lebih selektif untuk memilih mana yang seharusnya dirubah menjadi lebih baik dan mana yang memang harus kita pertahankan sebagai identitas diri. Jangan sampai selogan yang sering kita ucapkanyaitu 'Ajeg Bali' menjadi 'Ajeng Bali' alias Makan Bali.

 

Reference :