Sebagai daerah yang dianugerahi kekayaan kultur dan adat, eksistensi Bali sebagai destinasi pariwisata dunia telah diakui oleh semua pihak. Setiap elemen masyarakat, baik itu pemerintah pusat dan stakeholder terkait menyadari hal ini dengan cara membentuk wadah khusus pelestarian budaya yang sekarang kita kenal dengan istilah Pesta Kesenian Bali yang kini telah menjadi agenda rutin tahunan pemerintah provinsi Bali. Sebagai krama asli bali dan bagian dari yowana Bali, tiap penyelenggaraanya saya pasti menyempatkan berkunjung bersama keluarga. Secara pribadi, saya merasakan ada perubahan dari penyelenggaraan PKB tiap tahunya.

Acara pesta kesenian Bali tahun ini telah menginjak pergelaran yang ke 37. Apabila kita lihat dan bandingkan sampai saat ini, banyak sekali perubahan penyelenggaraan yang dialami oleh PKB itu sendiri. Acara yang diinisiasi oleh mantan gubernur Bali IB Mantra ini sebenanya terisi dengan semangat pelestarian budaya namun seiring berkembangnya jaman, ajang tersebut bergeser kearah libralisasi yang menjadikan daya tarik seni hanya menjadi pelengkap semata

Realitas sosial ini menjadi kenyataan yang dihadapi masyarakat kini. Motif ekonomi dan profit penjualan serta sewa lokasi dagang lebih mendominasi perhelatan PKB. Tidak heran bahwa dalam penyelenggaraan PKB 2 tahun terakhir, ajang ini terkesan hanya menjadi pasar malam tahunan yang digelar di Art Centre.

Ajang PKB terkesan hanya menjadi ajang formalitas dengan libralisasi kultur yang dilakukan oleh pihak pihak pemodal besar. Perubahan pelaksanaan PKB dari awalnya merupakan ajang 2 tahunan menjadi ajang tahunan pun patut dicurigai mengandung motif ekonomi, agar pemerintah tiap tahun dapat ‘setoran uang panas’ dari kogkalingkong stand berjualan di PKB.

Bergesernya esensi Pesta Kesenian menjadi Pasar Malam patut dipikirkan oleh masyarakat. Kesatuan taksu budaya dan alam yang sebenarnya menjadi ruh Bali tidak pernah diimplementasikan nyata dalam tema tema PKB. Sampai saat ini, tema tema PKB yang sebenarnya mengandung makna mendalam hanya berakhir menjadi pajangan spanduk semata. Tidak ada upaya nyata dalam merefleksi makna tersebut kepada masyarakat yang berkunjung ke PKB.

Modernisasi memang patut untuk kita ikuti. Tetapi memang ada kalanya kita wajib memfilter pegaruh modernisasi. libralisasi sektor budaya untuk menjadikanya celah ekonomi secara eksploitatif itu juga tidak baik, karena budaya dan ekonomi yang eksploitatif sangat bertolak belakang. Mengembalikan esensi PKB menjadi ajang pesta kesenian yang sesungguhnya sesegera mungkin harus kita lakukan. Pemuda lah yang wajib mempelopori hal tersebut dengan semangat perubahan yang adaptif dengan tetap memposisikan nilai luhur budaya sebagai dasar utama.

Think Globally, Act Localy!

 

Putu Ayu Nareswari

Jegeg Gianyar 2015