Jaringan GUSDURian mengecam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) atas dugaan korupsi konstitusi terkait revisi mendadak terhadap Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Langkah DPR ini dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat, sehingga berpotensi menciptakan krisis hukum di masa depan.

Mahkamah Konstitusi pada 20 Agustus 2024 mengabulkan sebagian gugatan Partai Gelora dan Partai Buruh terhadap UU Pilkada. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu, MK menetapkan usia minimal bagi calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun pada saat penetapan calon.

Namun, sehari setelah putusan tersebut, DPR mengadakan rapat secara mendadak untuk membahas revisi UU Pilkada. Revisi ini, menurut Jaringan GUSDURian, mengabaikan putusan MK dan merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki perbedaan substantif. DPR menetapkan bahwa syarat pengajuan calon kepala daerah harus didukung oleh partai yang memiliki minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara di pemilu legislatif. Selain itu, usia minimal calon kepala daerah ditetapkan 30 tahun pada saat pelantikan, bukan pada saat penetapan calon sebagaimana diputuskan MK.

“Kami melihat ini sebagai bentuk korupsi konstitusi yang sangat berbahaya bagi kedaulatan hukum kita. Keputusan MK itu final dan mengikat, dan semua elemen wajib tunduk pada keputusan tersebut,” tegas Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/8).

Lebih lanjut, Jaringan GUSDURian mengkritik langkah DPR yang dianggap akan memunculkan berbagai masalah dalam Pilkada 2024, termasuk potensi munculnya banyak calon tunggal atau kotak kosong di lebih dari 150 daerah. “Pilkada yang seharusnya menjadi sarana untuk memilih pemimpin rakyat justru bisa menjadi arena permainan elite politik yang mengabaikan kepentingan rakyat,” tambah Alissa.

Selain itu, syarat usia pencalonan yang ditetapkan DPR diduga sebagai upaya untuk meloloskan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep, yang merupakan anak bungsu Presiden Joko Widodo. Saat ini, Kaesang berusia 29 tahun dan dengan putusan MK, ia tidak dapat mencalonkan diri karena belum mencapai usia 30 tahun pada saat penetapan calon. Namun, dengan revisi UU Pilkada yang mengacu pada putusan MA, Kaesang dapat mencalonkan diri karena usianya akan mencapai 30 tahun pada saat pelantikan.

Jaringan GUSDURian menyatakan bahwa tindakan ini merupakan pembangkangan terhadap konstitusi. “Tidak menaati putusan MK adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi yang berpotensi menciptakan krisis hukum di masa depan,” ujar Alissa.

Jaringan GUSDURian menyerukan kepada pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan revisi UU Pilkada dan meminta para elite politik untuk mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompoknya. Selain itu, mereka mengajak seluruh tokoh agama, jejaring masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya untuk melakukan konsolidasi nasional guna menjaga tegaknya demokrasi dan konstitusi di Indonesia.

“Kami juga meminta seluruh penggerak dan komunitas GUSDURian yang ada di lebih dari 100 kota untuk menggalang dukungan masyarakat luas sebagai upaya menjaga tegaknya konstitusi,” pungkas Alissa Wahid.