The Mother Temple of Besakih, demikian 'orang luar' dan kebanyakan 'orang dalam' menyebut Pura Agung Besakih, Pura terbesar di lereng Gunung Agung, Bali. Saya pribadi, sebelum dan setelah mengetahuinya, lebih senang menggunakan sebutan Pura Agung Besakih saja. Barangkali 'orang dalam' yang lain merasa bahwa istilah dengan Bahasa Inggris itu lebih keren dan beken.

Hari ini, 18 April 2015, pelaksanaan Upacara Bhatara Turun Kabeh masih berlangsung, seiring dengan Peringatan Hari Pusaka Dunia, dengan memohon ampunan kepada-Nya, disertai kerendahan hati, saya mencoba menyampaikan informasi untuk meluruskan istilah 'The Mother Temple' itu.

Kerangka atau konsepsi Kahyangan Jagat di Bali, mengenal adanya konsepsi Rwa Bhinneda, yaitu 'Purusha' dan 'Predhana' (selain itu ada Catur Loka Pala, Sad Winayaka, dan Padma Bhuana). Yang saya tau, dan kebanyakan pula diketahui oleh warga Bali, 'Purusha' diidentikkan dengan laki-laki, dan 'Predhana' diidentikkan dengan perempuan. Pura Agung Besakih dalam konsepsi Rwa Bhinneda disebut sebagai 'Purusha', sedangkan 'Predhana' adalah Pura Ulundanu Batur.

Saya setuju dengan pernyataan Anak Agung Panji Tisna, 'bahasaku adalah rumahku'. Ketika mahir berbahasa Bali, maka Bali adalah rumah anda. Jika mahir berbahasa Inggris, maka Inggris, Australia, Amerika, dan negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris adalah rumah anda. Namun, jangan sekali-sekali menerjemahkan istilah lokal ke bahasa asing secara bulat-bulat. Padahal ada nilai-nilai yang esensinya sangat dalam bagi istilah lokal.

Lantas, pantaskah istilah 'The Mother Temple' diberikan kepada Pura Agung Besakih? Kalau masih ada yang bertahan, lebih lanjut lagi, siapa 'oka-oka' (anak-anak) beliau yang barangkali disebut 'The Son/Daughter of Temple'? siapa 'The Father of Temple'nya?

Semoga informasi ini bermanfaat.

Apresiasi tertinggi kepada Bapak Ir. Made Widnyana Sudibya, IAI., atas 'kuliah' singkatnya.