"Darah ini bukan darahku", jawabku atas pertanyaan pertama ibu saat aku Baru sampai di rumah.

Sebercak besar darah di baju tugasku, dari sebercak kecil darah pasien yang membekas di pakaian kami para petugas medis.

Tulisan ini adalah usaha kecilku untuk mengajak pembaca sekalian membuka mata. Sebuah tulisan yang mengungkapkan perasaan kami, petugas medis yang seringkali diberitakan dengan kurang adil.

* * *

Kumulai dari hari pertama aku bertugas sebagai seorang dokter muda di bagian Bedah. Hari yang panjang, dan sangat melelahkan karena aku mendapat tugas di UGD (Unit Gawat Darurat sebuah RSUP yang identik dengan puluhan, bahkan ratusan pasien darurat setiap harinya.

Pasien demi pasien berdatangan dengan berbagai keluhan. Dari sekedar nyeri perut, hingga korban kecelakaan yang sekujur tubuhnya diselimuti darah segar.

Sebagai "anak baru", aku masih kelimpungan. Seringkali aku kebingungan saat mendengar instruksi dari seniorku. Namun aku berusaha sebaik mungkin agar tidak menghambat usaha mereka demi menolong pasien.

Satu momen yang tidak mungkin kulupakan saat itu... Saat seorang korban kecelakaan datang dengan darah bercucuran di kepalanya! 

Ia seorang ibu-ibu, datang dengan menggendong anaknya yang juga terluka. Tidak parah memang, hanya sedikit luka gores di siku dan lututnya. Satu tangan ibu itu memeluk anaknya, satu lagi memegangi kepalanya sendiri yang juga terluka.

Segera kuhampiri sang ibu dengan membawa peralatan yang diperlukan. Saat kuminta ia untuk melepaskan tangannya agar aku dapat melihat lukanya, saat itu pula darah segar menyembur. Tak deras, memang, tapi cukup banyak hingga bajuku mendapat cipratan "tato" darah yang lumayan besar.

Segera kubersihkan lukanya, kubalut agar darah itu tidak merembes selagi aku melapor kepada dokter seniorku sembari menyiapkan alat2 untuk menjahit luka. Setelah diperiksa ulang oleh seniorku, akupun meminta ijin sang ibu, agar bersedia aku jahit lukanya... 

Tapi yang mengejutkan, dia menolak.. 
"Saya gak apa2 kok, saya mau pulang aja," ucapnya.

Berkeras aku meyakinkannya bahwa luka sepanjang 8 cm di kepala bukan luka yang Bisa dibilang "Ga apa2." Namun ibu itu tetap kukuh pada pendiriannya: Dia tidak bersedia dijahit!

Setelah kuajak ngobrol beberapa saat, akhirnya sang ibu mengaku bahwa ia tidak memiliki biaya sama sekali. Bahkan untuk membayar biaya pendaftaran yang tidak lebih dari 20 ribu rupiah saya katanya dia tidak mampu.

Aku terdiam... Sebagai anak baru aku tidak berani mengambil keputusan.

Akupun melaporkan hal ini pada dokter seniorku, yang kemudian berbicara pada perawat senior disana.
Akhirnya, ibu itu tetap mendapat perawatan. Lukanya dijahit, diberi suntikan anti tetanus, dan mendapat resep obat untuk dibawa pulang. Gratis!!! Bahkan si ibu tidak perlu mendaftar.

Saat aku merapikan alat2 jahit luka, dokter residen senior itu menghampiriku dan berkata, "inget ya dik, disini itu kita nolong orang, jangan sampe baru dia gak punya biaya langsung kita usir. Kita disumpah buat nolong orang. Masalah biaya pasti Bisa diomongin."

* * *

Ini cerita lain lagi.

Kakakku adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional d Bali. Dia pernah bercerita, di depan rumah sakit tempatnya bekerja terjadi sebuah kecelakaan motor yang menyebabkan pengendaranya dalam kondisi kritis. Di sana pasien ditangani dengan benar, sesuai protokol untuk membantunya bertahan hidup. Kondisi pasien distabilkan, baru kemudian dirujuk ke rumah sakit pemerintah karena kerabat yang mengantar mengatakan tidak memiliki biaya.

Sekali lagi, perawatan tersebut gratis. Nyawa korban diselamatkan, tanpa biaya pula. 

Sekedar informasi, biaya obat dan alat kesehatan yang digunakan untuk protokol penyelamatan nyawa bisa mencapai jutaan rupiah.

Itulah kami, tenaga medis yang telah disumpah untuk menolong orang yang membutuhkan.
Tanpa memandang status sosial, ras, agama, dan ekonomi.
Kami akan menolong semuanya..
Kami rela terbangun saat pembaca sekalian sedang tertidur nyenyak Karena kami mendapat panggilan darurat.
Kami rela menahan rasa lapar, haus, kantuk yang luar biasa agar pasien kami mendapatkan perawatan layak saat pasien di Unit Gawat Darurat berdatangan layaknya air mengalir.

Berjalan mengelilingi rumah sakit yang sangat luas puluhan kali untuk memastikan semua pasien di ruang rawat inap mendapat perawatan yang tepat untuk hari itu.

Menerima cacian dari keluarga pasien saat kami tidak dapat menyelamatkan kerabat mereka atau hanya karena mereka kurang puas dengan pelayanan kami karena kami harus menomorduakan kerabatnya saat pasien lain membutuhkan tindakan darurat.

Tidak jarang pula, kami menelantarkan keluarga sendiri demi pasien... Nenekku sendiri menghembuskan nafas terakhirnya tanpa dapat kusaksikan karena sedang bertugas.

Kadang dokter diejek, karena orang pintar di televisi dengan ramuan herbalnya mampu menyembuhkan kanker sedangkan dokter tidak.

Kenyataannya, setengah lebih pasien kanker yang datang berobat sudah stadium terminal, dan mengaku awalnya hanya berobat herbal karena tidak percaya Dokter. Padahal dokter spesialis itu mampu mengobati kanker stadium awak dengan lebih pasti. Tentunya dengan keilmuan dan obat yang sudah melalui serangkaian penelitian dan dapat dipertanggung jawabkan secara statistik.

Bukankah dokter telah menyelamatkan jutaan nyawa?
Tapi media seolah membenci mereka, membenci kami, sahabat pembaca sekalian. Sehingga, saat kami menemui kegagalan, akan diekspos besar-besaran.

Dugaan malapraktek, dokter dan rumah sakit menelantarkan pasien yang tidak punya Biaya, dan lain sebagainya. 

Mungkin pembaca sekalian sulit untuk percaya... Dan menganggap ini hanyalah sebuah pembelaan..

Tapi, yah, inilah kenyataan dilapangan.
Kami para tenaga medis tidak semata-mata mencari uang dan keuntungan. Kami ada untuk menolong sesama.

Namun sebagai manusia biasa, sebagaimana kita semua, kami tidaklah sempurna, kegagalan pasti pernah kami rasakan.