Keyboard mulai saya tekan....

Mungkin telat bagi saya untuk bercita-cita keliling Indonesia, cita-cita yang secara tidak sengaja tercetus karena dijerumuskan seorang kawan.

Karimun Jawa. akhir 2011.
Awal saya suka mengunjungi Indonesia karena dijerumuskan teman sebut saja Gunardi (memang nama sebenarnya).
Ya, Gunardi ini meracuni saya akan keindahan Pulau Karimun, pulau kecil di ujung utara Pulau Jawa, tepatnya Jepara.
Ingat betul saya, bahwa apa yang diracuni Gunardi ke saya adalah benar adanya. Pantai, matahari, bawah laut, hmm apalagi yang bisa saya dustakan. Memang Indah!

Masyarakat di pulau Karimun masih tergolong masyarakat menengah ke bawah, ingat betul saya bahwa listrik adanya cuma malam, dan itupun tidak lama.

....

Ada sebuah cerita oleh Bang Jambrong (pemandu wisata disana) tentang kehidupan di Pulau Karimun, mas disini pulau-pulau sudah dimiliki perorangan.
Ada pulau penyu, itu pulau (sambil menunjuk salah satu pulau kecil di utara Pulau Karimun), entrance fee nya aja udah mahal, cuma memang sepadan dengan fasilitas disana mas, party sering mas disana, jangan khawatir tentang listrik.
Dalam hati saya berkata, ah sudahlah, bukan urusan saya ini.

Gunung Papandayan, awal 2012.
Kembali oleh saudara Gunardi, saya diracuni untuk mencoba naik gunung. Dia selalu punya cara dan alasan untuk meracuni saya, baiklah, berbekal pengetahuan minim dan rasa penasaran, saya mengiyakan ajakannya untuk mencoba naik gunung.
Berkenalanlah saya dengan Gunung.

"Hai saya  Gede Yudi, salam kenal"

Tak terbersit bahwa saya akan ketagihan oleh aktifitas ini kelak.
Setiap perjalanan saya dengan Gunardi, dia selalu menyarankan saya untuk mencoba angkutan ekonomi di Indonesia, entah itu kereta api, entah itu bus rongsokan, atau mikrolet berbahan bakar asap.
Begitupun cerita saya ke Gunung Papandayan kali ini. Untuk perjalanan ke Garut, kami menumpang bis ekonomi malam di Terminal Kampung Rambutan.

....

Selalu ada cerita menarik setiap situasi dalam kendaraan, pernahkah kita ngerelain kursi kepada orang lain untuk perjalanan kurang lebih 5 jam ke depan? Seorang pria mencontohkan saya hal itu, dan dia Gunardi.
Ini anak udah saraf saya pikir.

Kembali ke Gunung Papandayan, Gunardi mengiming-imingi saya kalo kita naik gunung, yud, kamu bakal dapat pemandangan yang keren! bintangnya terang cuy!
hahahaha pada kenyataannya saya tepar saat sampai di Pondok Salada (Pondok Salada adalah pos mendirikan tenda terakhir sebelum puncak). Semua janji yang Gunardi sampaikan, tidak terealisasi sama sekali.
Gimana tidak capai, jadi gini Gunung Papandayan itu secara vertikal tingginya 2600an meter, dalam perjalanannya saya ketemu sama ladang gersang sisa letusan ditambah dengan kepulan belerang. saya jalan seperti ini terus sampai menemukan vegetasi lagi sebelum Pondok Salada. Dan cilakanya, kami naiknya saat matahari benar-benar di atas kepala! Kalo tidak membawa cukup air minum, berabe sudah.

....
Itulah awal mula saya bertemu dengan Laut dan Gunung.
Para Kekasih yang selalu saya rindukan.

Sering saya bertanya kepada diri sendiri.
Kenapa kamu nyusahin diri naik gunung, atau menghabiskan waktu di pinggir pantai, atau sekedar ke suatu daerah di bagian lain Indonesia?
Pertanyaan yang baru bisa jawab setelah tahun-tahun saya mulai berkenalan dengan kekasih saya tadi.

"Bukan puncak gunung yang pertama, tapi proses ke puncaknya yang utama"
"Sedalam lautan kau selami, tetap rumah di atas pertiwi yang kau nanti"

Seperti saat saya ke Gunung Papandayan misalnya, saya belum langsung menyadari pentingnya kaki, pentingnya jantung, dan keseluruhan badan kita selama perjalanan.
Ini baru saya temukan maknanya saat menyelesaikan perjalanan di Gunung Semeru.

....
Wahai Mahameru! Kokoh berdiri menentang langit, 3676 meter gagahnya!
Cuaca saat itu hujan, saya beserta rombongan sedang perjalanan ke pos Kalimati, camp terakhir sebelum ke Arcopodo dan Puncak Mahameru. Saat keadaan sekitar hujan, hanya pohon besar yang bisa melindungi kami dari terpaan air dan embun, itupun semakin lama semakin tak berguna.
Dalam batin saya, jika terus seperti ini, bijak bagi saya untuk menyerah, turun ke ranu kumbolo dan menikmati segelas teh manis hangat, hmm sayapun makin membatin.
Semakin saya membatin, makin dalam saya berkomunikasi dengan diri sendiri.

"hey kamu jantung, sungguh berterima kasih aku padamu"
"hey kamu kaki, kamu setangguh mahameru, langkahkanlah lebih jauh"

Entah apa yang saya racaukan dalam ributnya suara hutan, saya menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Langkahpun menjadi lebih ringan.

Saat saya sudah turun dari Gunung Semeru, logika saya bertanya dan mencari pembenaran. Berapa sering saya mengobrol dengan diri sendiri.
Secara tidak sadar mungkin seringkali saya melakukannya, tapi jika dilakukan secara sadar untuk menguatkan diri saya sendiri? atau lebih jauh untuk perbaikan diri saya?
Pengalaman ini mengajarkan saya untuk lebih sering melakukannya. Berkomunikasi dengan diri sendiri dan mengucapkan kalimat sederhana yaitu "terima kasih" membuka wawasan akan pentingnya mengerti siapa "saya".
Silahkan Anda coba sendiri.

....
Pulau Tegal, Lampung.
Diawal kisah, saya cerita tentang Pulau Karimun, sekarang kaki saya sampai di Pulau Tegal. Pada kenyataannya, kondisi di Pulau Karimun lebih makmur secara ekonomi daripada di Pulau Tegal.
Listrik masih sama, hanya nyala di malam hari. Namun bedanya, di Pulau Tegal untuk mendapatkan listrik Anda harus membeli solar denga harga di atas harga kewajaran pemerintah. Penduduknya sebagian besar sebagai nelayan dengan kondisi perekonomian yang jauh dari sejahtera.
Rumah penduduk masih beratapkan ayaman daun kelapa dengan sanitasi seadanya. haha saya cukup geli dengan kata seadanya, karena layaknya pulau berpenghuni, saya masih harus gali sendiri untuk buang air besar.
Air bersih beli! cukup 10ribu per dirigen.

"Jika kamu masih punya akal sehat, kamu akan mengerti artinya bersyukur saat melepas zona nyaman"

Pulau Tegal hanyalah satu dari ribuan alasan untuk mensyukuri hidup.
Sering saya terbengong dengan kondisi di luar sana, pernahkah memperhatikan pedagang ulekan batu di depan sebuah mall besar di Jakarta? Kontradiksi dengan zona nyaman, itulah pemicu kesadaran saya untuk mensyukuri hidup.
Hidup saya kecil, dibandingkan dunia, saya mungkin biji pasir dari sebuah gurun. Patutkah saya mengatakan diri lebih di hadapan kalian? Karena urusan harta maupun tahta?
Sepatutnya saya malu jika berbuat demikian, karena pada hakikat dalam setiap perjalanan, saya tidak lebih baik dari kalian.

....
Empati.
Satu kata yang saya maknai dari kawan saya Gunardi di awal cerita tadi.
Keikhlasan memberikan tempat duduk kepada orang lain, disaat kita sendiri membutuhkan? tanpa tumbuhnya jiwa empati, saya yakin Gunardi tidak akan melakukannya.
Saya belajar hal ini di Gunung.
Lagi-lagi alam berbaik hati kepada saya.

Sudah menjadi pakem wajib saat kita melewati atau berpapasan dengan kelompok lain di gunung, kita akan selalu memberikan salam.
"Pagi Om"
"Misi Pak"
"Suit suitt"
haha salam ini khusus jika bertemu dengan bidadari saja.

Dengan menyampaikan salam, saya membuka ruang untuk pembicaraan dengan orang lain. Menghapuskan sekat ke "akuan" dalam diri saya untuk masuk ke ruangan yang berisi kepentingan kelompok.
Empati baru bisa muncul saat saya menhapuskan sekat ke"akuan" itu tadi. Sering kali saya bertemu dengan kejadian diluar perkiraan, misalnya teman mulai kelelahan, kekurangan logistik, atau kelompok lain sedang bermasalah, dan masih banyak kejadian lain. Solusi penyelesaian masalah tersebut hanya bisa diselesaikan dengan empati.
Saya menemukan keikhlasan dalam berbuat.
Tidak mungkin saya akan memakan sisa logistik, jika orang lain lebih membutuhkan, dan begitu sebaliknya, orang lain tidak akan menghabiskan keseluruhan logistik jika kelompoknya masih membutuhkan.

Nampaknya jari mulai lelah mengingat cerita lalu.
Kuyakin nanti, kita akan mulai lagi kegembiraan ini wahai kau jariku.
Sabarlah...
Salam lestari...