Masa kecil adalah masa-masa penuh cerita. Cerita-cerita yang paling melekat di bilik memori biasanya mengandung sugesti tentang apa yang harus saya lakukan dan apa yang tidak. Pernah di suatu pagi, ibu saya berkata, “Jangan duduk di bantal!”, karena jika saya menduduki bantal tidur maka pantat saya akan bisul. Suatu siang ayah saya pernah berkata, “Jangan memetik sembarangan!”, karena jika saya memetik tumbuhan sembarangan, keesokan paginya saya akan terbangun di tengah kuburan. Masih banyak lagi cerita “jika” lainnya yang masih ajeg hingga kini. Lalu belakangan ini saya mulai mengerti, perkataan-perkataan itu memiliki lebih dari satu lapisan makna. Semakin lapisannya dibuka, maka semakin terkuak makna sebenarnya. Kepercayaan tentang cerita-cerita tersebut kerap disebut sebagai mitos belaka. Apa itu mitos? Lantas, masihkah mitos berlaku di era positivis yang sudah mengedepankan rasionalitas dan perkembangan ilmu pengetahuan seperti saat ini?

***

Mitos dapat diartikan sebagai cerita-cerita tradisional yang setiap kejadiannya identik dengan campur tangan para dewa, kisah-kisah yang berhubungan dengan kekuatan gaib. Mitos adalah cerita yang aneh yang seringkali sulit dipahami maknanya atau diterima kebenarannya karena kisah di dalamnya tidak masuk akal dan sulit untuk ditemui di kehidupan sehari-hari. Meskipun mitos tidak pernah diketahui secara pasti latar cerita dan pengarangnya, mitos tetap mampu mempengaruhi masyarakat sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan masyarakat Bali yang menjunjung tinggi tradisi dan kearifan lokal masing-masing daerahnya. Mitos seakan mampu menjadi peninggalan sejarah yang berbentuk cerita atau bahasa yang selalu dikait-kaitkan dengan hubungan sebab akibat antara perbuatan makhluk mistis, Dewa, ataupun manusia yang memiliki kemampuan supranatural dengan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu, Apakah Mitos Masih Relevan untuk Dipercaya di Era Revolusi Industri 4.0 Ini?

Baiklah, saya akan mulai dengan menjabarkan pemahaman saya tentang mitos yang sering saya dengar sebelumnya. Pertama, menduduki bantal dapat menyebabkan bisul memang terdengar sangat tidak masuk akal, namun siapa sangka hal itu ternyata bisa saja terjadi. Seorang ahli kesehatan dari Barts dan London Nhs, dr. Arthur Tucker mengatakan bahwa bantal adalah tempat yang paling ideal untuk perkembangan kuman, bakteri, kutu debu, dan kotoran lainnya sehingga jika bersentuhan dengan kulit dapat menyebabkan bisul dan jerawat. Jika diinterpretasikan pada makna lapisan yang lebih dalam, mitos ini sangat berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Bali mengenai konsep Tri Angga yang membagi kehidupan fisik ke dalam tiga bagian hierarki, salah satunya adalah dalam bhuana alit atau tubuh manusia. Kepala merupakan bagian paling suci dari tubuh manusia yang disebut Utama Angga. Sedangkan pinggul adalah bagian yang paling kotor atau disebut sebagai Nista Angga. Maka jika bantal yang dikenal sebagai tempat merebahkan kepala diduduki oleh pinggul akan menyalahi konsep dari Tri Angga ini.

Mitos kedua, mengenai memetik bunga yang berujung pada terbangun di kuburan keesokan paginya. Masih terdengar sangat tidak masuk akal, bukan? Namun sesungguhnya mitos ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam memperlakukan lingkungan. Tidak memetik sembarangan berarti tidak menghargai tumbuhan sebagai sesama mahkluk hidup dan juga tidak menghargai pemilik yang menanam tumbuhan tersebut. Tidak memetik pohon sembarangan juga menjadi wujud pengamalan Tri Hita Karana yang dipercayai oleh masyarakat Bali. Berdasarkan kepercayaan lainnya, sejumlah tanaman terutama pohon-pohon besar dipercaya sebagai tempat menghuni para Bhuta Kala. Keberadaan Bhuta Kala bukanlah sebagai unsur kejahatan yang mutlak, bukan sebagai musuh, atau sesuatu yang tidak ada di antara manusia dan Tuhan, melainkan bagian dari rangkaian penciptaan yang lahir dari Sang Pencipta sendiri. Maka kita harus menghargai keberadaannya, salah satunya dengan tidak memetik sembarangan.

Selain mitos-mitos di atas, masih banyak lagi mitos-mitos yang berkembang dan menjadi kepercayaan masyarakat hingga saat ini. Bahkan, mitos di setiap daerah dapat berbeda-beda. Sebagai contoh, masyarakat Desa Munti Gunung di Kabupaten Karangasem mempercayai adanya kutukan Dewi Danu yang menyebabkan mereka sulit menghentikan kebiasaan mengemis. Lalu masyarakat Desa Jatiluwih di Kabupaten Tabanan yang mengenal adanya sejumlah pantangan dalam melakukan proses pertanian, serta mitos-mitos lainnya.

Meskipun sejumlah mitos memiliki makna dan latar belakang kuat yang mendasarinya, namun jangan salah, masih banyak mitos yang berkembang tanpa asal-usul yang jelas dan tidak terbukti secara ilmiah bahkan cenderung menyesatkan. Sebagai contoh, sebagian orang masih percaya bahwa kejatuhan cicak akan mendatangkan kesialan, kaki bayi harus dibedong kencang agar kakinya tidak bengkok atau berbentuk O, pakai payung di dalam rumah berarti pertanda ada seseorang yang meninggal, dan lain sebagainya.

Lalu, mengapa mitos masih bertahan hingga saat ini? Bagi saya, bertahannya mitos di Indonesia disebabkan karena masyarakat Indonesia memiliki budaya komunikasi lisan yang sangat tinggi. Terdapat pola penyebaran informasi yang disampaikan secara turun-temurun. Pada beberapa kasus, mitos yang diturunkan dapat memuat informasi yang dilebih-lebihkan maupun dikurang-kurangkan. Bahkan mitos kerap dianggap sebagai hukum tidak tertulis yang memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan hukum terttulis. Dampaknya, keberadaan mitos dapat menjadi sangat dramatis dan harus dipercayai secara mutlak, maupun sebaliknya. Sebagai contoh, mitos memotong kuku di malam hari yang mulanya berkembang karena masyarakat zaman dahulu tidak memiliki penerangan yang cukup di malam hari sehingga tangannya akan terluka jika memotong kuku, kini berkembang jauh dari cerita aslinya. Potong kuku di malam hari dianggap dapat menyebabkan meninggalnya seseorang. Padahal, zaman sekarang sah-sah saja untuk potong kuku di malam hari.

Intinya, di Era Ini Mitos Masih Relevan Enggak, Sih?

Bagi saya, sah-sah saja jika setiap orang masih mempercayai kekuatan mitos. Namun perlu diingat, mitos bukanlah cerita yang bisa ditelan mentah-mentah. Apalagi jika mitos tersebut baru kalian dengarkan. Alangkah lebih baik, sebelum mempercayainya kalian harus mencari tahu asal-usul dan makna sebenarnya dari mitos tersebut dari berbagai sudut pandang. Jika berdampak baik, maka silahkan diterapkan. Akan menjadi poin penting juga apalabila mitos tersebut dapat membangun kebiasaan masyarakat untuk melestarikan kearifan lokal. Tetapi, jika mitos justru menghambat aktivitas dan tidak didasari bukti ilmiah yang jelas, sebaiknya dilupakan. Pada dasarnya, berpengaruh atau tidaknya mitos untuk membawa perubahan yang lebih baik tergantung dengan cara kalian menyikapinya. Maka, tetap berpikir positif, ya?

Eits, satu lagi! Jangan pernah menyebar mitos sembarangan terlebih ke media sosial, apalagi jika mitos tersebut berpotensi menyesatkan. Jika hal tersebut dilakukan, akan sangat membahayakan generasi mendatang karena jejek digital akan sulit dimusnahkan. Bentuk mitos apapun yang ingin kalian bagikan, jangan lupa sertakan penjelasan logis yang dapat diterima secara kultural maupun ilmiah. Lalu, bila suatu saat kalian mendengar keluarga, teman, serta orang-orang di sekitar keliru memandang mitos, maka mari kita luruskan. Saya yakin, jika mitos yang berkembang mengandung muatan yang positif, maka kehidupan masyarakat dari nadi pedesaan hingga jantung perkotaan akan kian membaik di era ini.    

 

Referensi :

Ananda, K. (2015). Duduk di atas bantal bikin pantat bisulan cuma mitos?. Diakses pada 31 Juli 2019 melalui https://m.merdeka.com/amp/sehat/duduk-di-atas-banta;-bikin-pantat-bisulan-cuma-mitos.html

Iswara, A. (2013). Konsepsi Tri Angga dan Tri Loka. Diakses pada 31 Juli 2019 melalui https://www.academia.edu/9985141/Konsepsi_Tri_Angga_dan_Tri_Loka

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. (2016). Memahami Kehadiran Bhuta Kala. Diakses melalui http://phdi.or.id/artikel/memahami-kehadiran-bhuta-kala

Pratiwi, N. (2018). Pentingnya Pemali dalam Upaya Pelestarian Lingkungan dari Perspektif Kepercayaan Masyarakat di Desa Jatiluwih. Proposal

Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2004. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press

Setiawan, G. (2019). Analisis Strukturalisme Levi-Strauss Terhadap Mitos Kutukan Dewi Danu di Desa Munti Gunung. Proposal